Bank Indonesia melakukan penilaian risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM) pada sektor Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) Lembaga Selain Bank dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bukan Bank. Penilaian dilakukan berdasarkan pengguna jasa, negara atau wilayah geografis, produk atau jasa, serta jalur atau jaringan transaksi. Penilaian risiko tersebut dituangkan dalam
Sectoral Risk Assessment (SRA) yang mengacu pada
National Risk Assesment (NRA) TPPU, TPPT, dan PPSPM. Tujuan dari penyesuaian SRA antara lain:
-
Mengidentifikasi dan menganalisis faktor ancaman, kerentanan dan dampak pencucian uang, pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal;
-
Mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai risiko pencucian uang, pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal mencakup pemetaan risiko berdasarkan profil pengguna jasa (perorangan dan badan usaha), wilayah, produk dan layanan, serta jalur atau jaringan transaksi (delivery channel);
-
Mengidentifikasi dan menganalisis ancaman pencucian uang, pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal yang baru muncul dan/atau berkembang atau
“emerging threat"; serta
-
Merumuskan langkah-langkah strategi mitigasi risiko pencucian uang, pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.
Publikasi NRA TPPU dapat diunduh
di sini
Publikasi NRA TPPT dan PPSPM dapat diunduh
di sini
Publikasi SRA dapat diunduh
di sini
Sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP), Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan pedoman terkait APU PPT. Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (selanjutnya disebut “PBI APU PPT”).
Ketentuan dalam PBI APU PPT ini berlaku sejak September 2017 dan bagi PJSP Selain Bank serta Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Dalam PBI tersebut, telah diatur kewajiban penerapan APU PPT oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dan PJSP Selain Bank yang meliputi:
-
tugas dan tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan Komisaris;
-
kebijakan dan prosedur tertulis;
-
proses manajemen risiko;
-
manajemen sumber daya manusia; dan
-
sistem pengendalian internal.
Dalam menyusun PBI APU PPT, BI mengadopsi berbagai ketentuan, antara lain:
-
FATF 40 Recommendations;
-
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU);
-
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TPPT).
Selain menerbitkan PBI APU PPT, Bank Indonesia juga menerbitkan PBI lainnya yang mengacu pada PBI APU PPT, antara lain:
Reformasi pengaturan Sistem Pembayaran sebagai bagian dari
Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 turut mengatur kewajiban APU PPT bagi PJP Lembaga Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank, melalui penerbitan beberapa PBI sebagai berikut:
Bank Indonesia juga menerbitkan pedoman teknis turunan dari PBI APU PPT, antara lain:
-
Pedoman Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (Risk Based Approach);
-
Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (Customer Due Diligence) bagi PJSP Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank;
-
Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau korporasi yang identitasnya tercantum dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT);
-
Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau korporasi yang identitasnya tercantum dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.
Dalam rangka mengoptimalkan upaya mitigasi TPPU, TPPT, dan PPSPM, Bank Indonesia telah menyusun Kajian Tipologi Kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM bagi PJP Lembaga Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank. Kajian ini diharapkan dapat meningkatkan awareness dan menjadi panduan bagi PJP Lembaga Selain Bank, KUPVA Bukan Bank, Aparat Penegak Hukum (APH), dan otoritas terkait untuk mengidentifikasi tipologi yang dilakukan oleh pelaku dalam rangka mitigasi praktik pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.
Kajian Tipologi Kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM pada PJP Lembaga Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank Tahun 2021 dapat diunduh
di sini.
Pedoman Teknis APU PPT
Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (Risk Based Approach/RBA)
Sesuai dengan Rekomendasi 1 FATF bahwa Penyelenggara wajib mengidentifikasi dan memahami risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme mencakup aspek wilayah (geography), profil nasabah (customer), produk dan layanan, serta jaringan transaksi (delivery channel). Serta mengacu pada PBI APU PPT, Risk Based Approach (RBA) digunakan untuk meningkatan kualitas pengawasan dalam rangka mencegah disalahgunakannya PJSP Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank sebagai media pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. NRA dan SRA menjadi acuan dalam penerapan APU PPT berbasis risiko (RBA). Penerapan APU PPT berbasis risiko (RBA) meliputi:
-
Pengawasan offsite dan onsite berbasis risiko dengan risk ranking tools pengawasan serta kertas kerja Risk Based Approach (RBA);
-
Penyelenggara menggunakan RBA APU PPT untuk melakukan asesmen risiko dan operasional.
Pedoman Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (RBA) bagi Penyelenggara Transfer Dana dan KUPVA Bukan Bank dapat diunduh
di sini.
Pedoman Penerapan APU PPT Berbasis Risiko (RBA) bagi Penyelenggara Uang Elektronik, Penyelenggara Dompet Elektronik, serta Penyelenggara Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dapat diunduh
di sini.
Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (Customer Due Diligence) bagi PJSP Selain Bank and KUPVA Bukan Bank
Tata cara dan mekanisme penerapan
Customer Due Diligence (CDD) secara umum telah diatur dalam PBI APU PPT. Untuk memudahkan Penyelenggara dalam memenuhi dan melaksanakan CDD sebagaimana diamanatkan dalam PBI APU PPT, Bank Indonesia menerbitkan Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (CDD) bagi PJSP Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian penting dalam pedoman CDD dimaksud adalah sebagai berikut:
-
Pedoman CDD merupakan acuan yang harus diperhatikan oleh Penyelenggara dalam menerapkan proses CDD bagi calon pengguna jasa, pengguna jasa, serta beneficial owner, baik secara konvensional maupun CDD secara elektronik (e-CDD).
-
Penerapan e-CDD sama dengan penerapan CDD konvensional, yaitu CDD Sederhana, CDD Standar, dan Enhanced Due Diligence (EDD), dengan melakukan 4 tahapan, yaitu Identifikasi, Verifikasi, Pemantauan secara berkesinambungan (on going due diligence), serta memahami maksud dan tujuan hubungan usaha.
-
Bagi Penyelenggara yang menerapkan e-CDD, secara prinsip harus tetap memenuhi aturan mengenai penerapan CDD yang telah diatur di PBI APU PPT, termasuk menerapkan e-CDD terhadap Beneficial Owner.
-
Dalam hal Penyelenggara melakukan salah satu proses e-CDD, maka pelaksanaan proses tersebut dilakukan dengan memperhatikan pelaksanaan proses e-CDD yang dicantumkan dalam Pedoman ini.
Pedoman Prinsip Mengenal Pengguna Jasa (CDD) bagi PJSP Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank dapat diunduh
di sini.
Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT)
Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), Pendanaan terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme. Lingkup pendanaan terorisme mencakup perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan dana kepada pihak lain yang diketahuinya akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah.
Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme adalah:
-
Transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme; atau
-
Transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
Ketentuan Hukum terkait DTTOT
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme;
-
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) dan Pemblokiran secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum dalam DTTOT;
-
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank.
Sesuai dengan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) No. 6, Bank Indonesia meneruskan informasi DTTOT dari POLRI kepada penyelenggara dan ditindaklanjuti dengan kewajiban pemblokiran secara serta merta terhadap seluruh dana yang dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang atau Korporasi berdasarkan DTTOT. Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau korporasi yang identitasnya tercantum dalam DTTOT dapat diunduh
di sini.
Selengkapnya Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) dan Pemblokiran secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum dalam DTTOT dapat diunduh
di sini.
Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Proliferasi senjata pemusnah massal adalah penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah.
Ketentuan Hukum terkait Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal
-
Peraturan Bersama Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal dan Pemblokiran secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal;
-
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank.
Sesuai dengan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) No. 7, Bank Indonesia meneruskan informasi proliferasi senjata pemusnah massal dari PPATK kepada penyelenggara dan ditindaklanjuti dengan kewajiban pemblokiran secara serta merta terhadap seluruh dana yang dimiliki atau dikuasai, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh orang atau Korporasi berdasarkan Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.
Pedoman pelaksanaan pemblokiran secara serta merta atas dana milik orang atau korporasi yang identitasnya tercantum dalam Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal dapat diunduh
di sini.
Selengkapnya Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal dapat diunduh
di sini.
BI terus memperluas kerja sama APU PPT dengan otoritas terkait, baik nasional maupun internasional dalam rangka memperkuat implementasi APU PPT.
Kerjasama Nasional dan Internasional terkait APU PPT
-
Kerjasama Nasional
Bank Indonesia senantiasa secara aktif dan berkesinambungan melakukan koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kepolisisan Republik Indonesia (POLRI), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Keuangan dan instansi terkait lainnya untuk mewujudkan rezim APU dan PPT yang lebih optimal.
-
Kerjasama Internasional
Bank Indonesia secara aktif menjalin kerja sama dengan Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Bank of Thailand (BoT), Brunei Darussalam Central Bank (BDCB), Central Bank of United Arab Emirates (CBUAE), Monetary Authority of Singapore (MAS), serta lembaga internasional lainnya. BI terus berupaya memperluas kerja sama APU PPT dengan otoritas luar negeri lainnya.
Keanggotaan dalam Lembaga Internasional terkait APU PPT
-
Keanggotaan dalam APG
Profil APG
Asia/Pacific Group on Money Laundering merupakan organisasi regional (Asia Pasifik) untuk mencegah dan memberantas kegiatan TPPU, TPPT, dan pendanaan proliferasi. Indonesia telah menjadi member APG sejak tahun 2001.
Mutual Evaluation
Setiap negara yang menjadi anggota APG berkomitmen untuk melaksanakan
Mutual Evaluation (ME) guna menilai tingkat kepatuhan dengan Rekomendasi FATF sebagai standar internasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
Hasil Mutual Evaluation APG
Sidang Tahunan Asia/Pacific Group (APG) on Money Laundering ke-21 yang diselenggarakan tanggal 21 – 27 Juli 2018 di Kathmandu, Nepal, telah mengesahkan laporan Mutual Evaluation Report (MER) Indonesia. MER tersebut merupakan hasil review kepatuhan (compliance) dan efektivitas implementasi (effectiveness) Indonesia terhadap rezim Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang didasarkan pada 40 rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
Penilaian kepatuhan atas upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dilakukan secara profesional dan objektif. Adapun tim penilai (assessor team) MER Indonesia beranggotaan perwakilan dari Amerika Serikat, Kanada, Macao-China, China-Taipei, Pakistan, dan Bangladesh dan Sekretariat APG.
Sidang Tahunan APG di Kathmandu, Nepal telah menetapkan, bahwa kepatuhan serta efektivitas implementasi Indonesia terhadap standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, dinilai sangat memadai. Dari 40 rekomendasi FATF terkait dengan kepatuhan legal framework, Indonesia mendapat rating ‘C’ (compliant) atau nilai tertinggi untuk 6 rekomendasi. Kemudian mendapat rating ‘LC’ (Largely Compliant) untuk 29 rekomendasi, serta mendapat rating ‘PC’ (Partially Compliant) untuk 4 rekomendasi. Dari keseluruhan rekomendasi hanya ada satu rekomendasi di mana Indonesia mendapat rating ‘NC’ (Non-Compliant), yakni pada rekomendasi terkait pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. Terkait efektivitas implementasi, Indonesia mendapat rating Substantial untuk 5
Immediate Outcome (IO), kemudian rating Moderate untuk 5 IO, serta rating Low untuk 1 IO terkait pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa efektivitas implementasi APU PPT di Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara APG seperti Australia, Malaysia, dan Singapura.
Lebih lengkap hasil Mutual Evaluation Report (MER) APG atas Indonesia dapat diunduh di sini.
-
Persiapan Menuju Keanggotaan Penuh FATF
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) adalah organisasi inter-governmental yang dibentuk tahun 1989 oleh G-7 dengan tujuan untuk mengembangkan sistem dan infrastruktur untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang dan kemudian dikembangkan untuk memberantas kegiatan pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi/pengembangan senjata pemusnah massal.
FATF menyusun standar yaitu FATF 40 Recommendations dan prosedur (policy making) dan mendorong efektivitas implementasinya melalui perangkat hukum, peraturan dan media lain (recommendations) untuk memberantas kejahatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal yang akan mengancam integritas sistem keuangan. Dalam operasionalisasinya, FATF melakukan monitoring implementasi rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan kepada anggotanya, melakukan review teknik dan media pemberantasannya serta mendorong implementasi rekomendasinya secara global.
Keuntungan menjadi Anggota Penuh FATF
Percepatan untuk menjadi negara yang diakui memiliki integritas sistem keuangan yang tinggi dengan menerapkan standar-standar internasional untuk mencegah kejahatan dalam sektor keuangan.
Menjadi pijakan kuat ke depan bagi perkembangan ekonomi Indonesia di dunia, dimana hal ini dapat meningkatkan peringkat Indonesia di berbagai aspek, termasuk investasi.
Sarana untuk menunjukkan leadership Indonesia sebagai negara besar khususnya di Asia dan emerging market yang tentunya dapat berdampak positif bagi perkembangan ekonomi domestik.
Dapat berperan aktif dan terdepan dalam penetapan standar internasional APU dan PPT yang bermanfaat bagi pengembangan kerangka APU dan PPT domestik dan penyusunan policy response ke depan untuk emerging market.
Efektivitas perumusan stance Indonesia dan Bank Indonesia khususnya dalam pembahasan di fora internasional.
Roadmap Indonesia untuk menjadi Anggota Penuh FATF
Strategi BI dalam mendukung Indonesia menjadi Anggota Penuh FATF
Bank Indonesia mendukung upaya Pemerintah untuk menjadi Anggota Penuh (Full Membership) FATF. Untuk itu, Bank Indonesia menyiapkan 3 strategi, yaitu:
-
Pemenuhan seluruh Rekomendasi FATF terhadap sektor sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing dalam mencegah dan memberantas pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. Penerapan prinsip APU PPT yang efektif diyakini dapat mendukung integritas sistem keuangan di Indonesia, meningkatkan kredibilitas dan reputasi Indonesia, serta memenuhi kepatuhan terhadap standar international APU PPT yang berlaku.
Dalam konteks pengaturan prinsip APU PPT, BI telah menerbitkan ketentuan dan pedoman mengenai penerapan program APU PPT bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Pedagang Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) dan ketentuan Teknologi Finansial. Dalam konteks asesmen risiko, Bank Indonesia juga menyusun Sectoral Risk Assessment (SRA) dan Pedoman Risk Based Approach (RBA) bagi PJSP SB & KUPVA BB serta berkontribusi dalam penyusunan National Risk Assessment (NRA), Regional Risk Assessment (RRA) Korupsi dan SRA Virtual Asset bersama K/L terkait yang dikoordinasi oleh PPATK. Dalam konteks pengawasan sistem pembayaran, pendekatan berbasis risiko diterapkan baik oleh penyelenggara maupun oleh BI sendiri. Hal ini dituangkan juga dalam PBI APU PPT yang baru yang mewajibkan Penyelenggara untuk menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach - RBA) dalam implementasi APU PPT.
-
Peningkatan awareness masyarakat dan kerja sama kelembagaan dalam mencegah dan memberantas pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.Dalam hal peningkatan awareness masyarakat, Bank Indonesia melakukan edukasi kepada masyarakat untuk menggunakan PJSP dan KUPVA BB berizin.
Dalam konteks kerja sama kelembagaan, Bank Indonesia bekerjasama dengan kementerian dan lembaga di Indonesia, antara lain dengan pihak kepolisian untuk menertibkan (KUPVA BB) tidak berizin dan Penyelenggara Transfer Dana Bukan Bank (PTD BB) ilegal di wilayah Indonesia. Penertiban terhadap penyelenggara tidak berizin dan penerapan
Quick Response (QR) Code pada logo KUPVA BB dan PTD BB merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada masyarakat dari kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme.Dalam rangka meningkatkan implementasi program APU dan PPT, Bank Indonesia juga memperkuat kerjasama dan koordinasi secara intensif dengan otoritas terkait seperti PPATK, BNN, dan KPK guna memastikan efektivitas penerapannya. Dalam konteks kerja sama Internasional, Bank Indonesia secara aktif menjalin kerja sama dengan Bank Negara Malaysia, Bangko Sentral ng Pilipinas, Bank of Thailand, serta lembaga internasional lainnya.
-
Peningkatan koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga dalam Komite TPPU dalam untuk persiapan teknis mutual evaluation FATF terhadap Indonesia, terutama dari sektor yang menjadi kewenangan Bank Indonesia.
Himbauan Penguatan APU PPT sebagai Dampak Covid-19
Pada bulan Mei 2020, FATF telah mengeluarkan himbauan terkait tantangan, kebijakan dan tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ancaman TPPU dan TPPT dalam masa pandemi COVID-19 yang tertuang di dalam COVID-19
related Money Laundering and Terrorist Financing - Risk and Policy Responses.
Inti dari himbauan tersebut antara lain:
-
Perlunya koordinasi domestik dan komunikasi yang efektif antara Pemerintah dan Pelaku Industri mengenai dampak dari pandemi COVID-19 terhadap program APU PPT.
-
Mengajak Pelaku Industri untuk melakukan pendekatan berbasis risiko dalam mengenal pengguna jasa/pelanggan.
-
Memberlakukan sistem pembayaran berbasis elektronik dan digital.
Bank Indonesia juga telah menyampaikan himbauan tersebut kepada seluruh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank (PJSP SB) dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) agar tetap waspada dalam masa pandemik COVID-19.
Himbauan dari Bank Indonesia berisi:
-
Awareness Memahami risiko TPPU dan TPPT sebagai dampak dari COVID-19 terhadap usaha Penyelenggara tersebut.
-
Adapt Melakukan asesmen dampak dari COVID-19 terhadap kebijakan APU PPT Penyelenggara sesuai dengan rekomendasi FATF, seperti perluasan pembayaran berbasis digital dan pemberlakuan prinsip mengenal pengguna jasa/pelanggan yang berbasis elektronik.
-
Action Melakukan pendekatan berbasis risiko dalam melakukan kebijakan APU PPT dan melakukan koordinasi dengan aparat terkait serta Pengawas Bank Indonesia.
Himbauan dari FATF berupa COVID-19
related Money Laundering and Terrorist Financing - Risk and Policy Responses dapat diunduh
di sini.
Negara-Negara FATF Beresiko Tinggi
Secara rutin, FATF mempublikasikan informasi negara berisiko tinggi dan tidak kooperatif. Berikut adalah daftarnya menurut FATF Oktober 2023:
1.High-Risk Jurisdictions Subject to a Call for Action
High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action adalah daftar negara/yurisdiksi berisiko tinggi yang memiliki defisiensi strategis yang signifikan pada rezim pencegahan pencucian uang, pendanaan terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM).
Untuk seluruh negara yang teridentifikasi sebagai negara berisiko tinggi, FATF menghimbau semua anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan
Enhanced Due Diligence (EDD), dan dalam keadaan yang sangat serius, menerapkan countermeasures terhadap negara yang diidentifikasi berisiko tinggi untuk melindungi sistem keuangannya dari kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan PPSPM. Daftar ini juga dikenal dengan istilah Blacklist.
Sejak pandemi Covid-19, FATF menunda proses review terhadap Korea Utara dan Iran yang merupakan negara berisiko tinggi. Oleh karena itu, FATF menyatakan bahwa status Korea Utara dan Iran sebagai negara yang perlu dilakukan
countermeasures masih berlaku. Pada Juli 2023, Iran dilaporkan belum memiliki progres atas status
action plan sehingga FATF menegaskan Kembali perlu diterapkannya
countermeasures terhadap yurisdiksi berisiko tinggi yang tercantum dalam pernyataan FATF tanggal 21 Februari 2020.
a. Jurisdictions subject to FATF call on its members and other jurisdictions to apply countermeasures.
Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea - DPRK)
Status: Tidak berubah sejak Februari 2020
FATF mendorong DPRK untuk segera memenuhi defisiensi rezim APU PPT, karena FATF memiliki kekhawatiran yang serius terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh aktivitas terlarang DPRK terkait dengan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM).
Tindakan:
-
FATF menegaskan kembali pada tanggal 25 Februari 2011 kepada para anggotanya dan mendorong semua yurisdiksi untuk menghimbau Penyedia Jasa Keuangan (PJK) agar dapat memberikan perhatian khusus terhadap hubungan bisnis dan transaksi yang dilakukan dengan DPRK, termasuk perusahaan-perusahaan DPRK, PJK, dan pihak-pihak lain yang bertindak atas nama mereka.
-
Selain meningkatkan pengawasan, FATF mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan
countermeasure yang efektif, dan
Targeted Financial Sanction (TFS) sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang berlaku, untuk melindungi sektor keuangan mereka dari risiko pencucian uang, pendanaan terorisme dan PPSPM yang berasal dari DPRK. Yurisdiksi harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menutup cabang, anak perusahaan dan kantor perwakilan bank DPRK yang berada di wilayah mereka dan mengakhiri hubungan koresponden dengan bank DPRK, jika diwajibkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB yang terkait.
Iran
Status: Tidak berubah sejak Februari 2020
Pada Juni 2016, Iran berkomitmen untuk mengatasi defisiensi strategis yang teridentifikasi melalui action plan dengan batas waktu sampai dengan Januari 2018. Namun hingga Februari 2020, FATF menilai bahwa Iran belum menyelesaikan
action plan tersebut.Tindakan :
-
FATF meminta para anggota dan mendorong semua yurisdiksi untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap cabang dan anak perusahaan dari lembaga keuangan yang berbasis di Iran. yaitu memperkenalkan peningkatan mekanisme pelaporan yang relevan atau pelaporan transaksi keuangan yang sistematis dan memerlukan peningkatan persyaratan audit eksternal untuk jasa keuangan sehubungan dengan cabang dan anak perusahaan yang berlokasi di Iran. Hal ini diberlakukan mengingat kegagalan Iran untuk memberlakukan Palermo and Terrorist Financing Conventions yang sejalan dengan Standar FATF.
-
Iran akan tetap menjadi
High Risk Jurisdictions Subject to a Call for Action sesuai pernyataan FATF sampai action plan
tercapai sepenuhnya. FATF memiliki
concern atas risiko pendanaan teroris yang berasal dari Iran dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap sistem keuangan internasional, hingga Iran dapat menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan yang diidentifikasi sehubungan dengan penanggulangan pendanaan terorisme dalam
action plan.
b. Jurisdiction subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply enhanced due diligence measures proportionate to the risks arising from the jurisdiction.
Myanmar
Status: Masih dalam daftar High-Risk Jurisdiction Call for Action hingga
action plan selesai sepenuhnyaPada Februari 2020, Myanmar berkomitmen untuk menindaklanjuti defisiensi strategisnya. Batas waktu penyelesaian
action plan Myanmar berakhir pada September 2021. Pada Juni 2022, FATF mendorong Myanmar secara tegas untuk segera menyelesaikan action plan pada Oktober 2022 atau FATF akan meminta anggotanya dan menghimbau semua yurisdiksi untuk menerapkan
enhanced due diligence.Tindakan:
-
Mempertimbangkan sangat rendahnya kemajuan dan sebagian besar
action plan yang belum ditindaklanjuti, FATF memutuskan diperlukan tindakan lebih lanjut sesuai prosedur menghimbau semua yurisdiksi untuk menerapkan enhanced due diligence terhadap hubungan bisnis dan transaksi dengan Myanmar sesuai dengan risiko yang timbul dari Myanmar.
-
Dalam implementasinya negara harus memastikan bahwa aliran dana untuk bantuan kemanusiaan, aktivitas
Non-Profit Organization (NPO) yang sah, dan pengiriman uang tidak terganggu.
-
Myanmar harus melanjutkan
action plan untuk mengatasi defisiensi rezim APU PPT, antara lain melalui:
-
Peningkatan pemahaman yang lebih baik tentang risiko TPPU;
-
Pemeriksaan
on-site/offsite dilakukan berbasis risiko, dan penyedia jasa hundi terdaftar dan diawasi;
-
Menunjukkan peningkatan keterlibatan Lembaga Intelijen Keuangan (Financial Intelligence Unit/FIU) dalam investigasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan meningkatkan analisis operasional dan diseminasi oleh FIU;
-
Memastikan bahwa pencucian uang diselidiki/dihukum sesuai dengan risikonya;
-
Mendemonstrasikan investigasi kasus TPPU transnasional dengan kerjasama internasional;
-
Peningkatan pembekuan/penyitaan dan penyitaan hasil kejahatan, alat-alat, dan/atau barang lainnya yang nilainya setara; dan
-
Pengelolaan barang sitaan untuk menjaga nilainya sampai dengan disita. FATF terus mendorong Myanmar untuk segera mengatasi defisiensi penerapan program APU PPT. Saat ini Myanmar tetap berada dalam daftar
High-Risk Jurisdiction Call for Action hingga
action plan selesai sepenuhnya.
2.
Jurisdictions under Increased Monitoring
Jurisdictions under Increased Monitoring merupakan yurisdiksi yang berada di bawah pengawasan ketat dan secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk mengatasi defisiensi strategis pada rezim pencucian uang, pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi.
Ketika FATF menempatkan suatu yuridiksi di bawah pengawasan yang lebih ketat, maka negara tersebut telah berkomitmen untuk menyelesaikan dengan efektif dan efisien atas kekurangan strategis yang teridentifikasi, dalam jangka waktu yang disepakati dan tunduk pada peningkatan pengawasan. Negara-negara yang termasuk pada pengawasan ketat ini disebut sebagai daftar
Grey List.
Beberapa negara-negara yang dipantau perkembangannya oleh FATF sejak Oktober 2023 yaitu Albania, Barbados, Burkina Faso, Cayman Islands, Republik Demokratik Kongo, Gibraltar, Haiti, Jamaika, Jordania, Mali, Mozambique, Nigeria, Panama, Filipina, Senegal, Afrika Selatan, Sudan Selatan, Tanzania, Turki, Uni Emirat Arab dan Uganda.Sementara itu, Kamerun, Kroasia, Suriah, dan Vietnam memilih menunda pelaporan sehingga pernyataan FATF sebelumnya terhadap negara tersebut masih tetap sama seperti seperti
statement sebelumnya. FATF saat ini juga telah mengidentifikasi Bulgaria sebagai yurisdiksi yang termasuk ke dalam daftar Jurisdictions with strategic.Negara / yurisdiksi yang masuk ke dalam Jurisdictions under Increased Monitoring per 27 Oktober 2023: Afrika Selatan, Barbados, Bulgaria, Burkina Faso, Filipina, Gibraltar, Haiti, Jamaika, Kamerun, Kroasia, Mali, Mozambique, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Senegal, Sudan Selatan, Suriah, Tanzania, Turki, Uganda, Uni Emirat Arab, Vietnam, Yaman.
Tindak Lanjut:Penyedia Jasa Keuangan disarankan untuk melakukan mitigasi risiko sesuai dengan ketentuan program APU PPT yang berlaku.Sumber:FATF Call for Action - October 2023FATF Increased Monitoring - October 2023
Siaran Pers dan Info Terbaru Terkait
Materi Kampanye