Protokol Manajemen Krisis

Start;Home;Fungsi Utama;Stabilitas Sistem Keuangan;bukan default.aspx

​Peran BI dalam Manajemen Krisis

Pengalaman krisis keuangan yang dialami dunia, termasuk Indonesia, telah mengajarkan otoritas dunia akan pentingnya sebuah Protokol Manajemen Krisis (PMK). Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sistem aturan yang menjelaskan praktek-praktek (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal. Keberadaan PMK dalam sistem keuangan sangat penting dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) untuk membantu otoritas keuangan bereaksi dan mengambil langkah-langkah tepat dan terkoordinasi dengan cepat. 

Keberadaan PMK di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). 

PMK Bank Indonesia mencakup langkah pencegahan dan penanganan Krisis, termasuk proses pengambilan keputusan dan koordinasi dengan Pemerintah, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan/atau institusi terkait. PMK Bank Indonesia mengedepankan prinsip tata kelola yang baik, pengutamaan pencegahan dan percepatan penanganan krisis, serta koordinasi dan komunikasi yang efektif. Dalam prosesnya, protokol dijalankan melalui koordinasi dan pertukaran data serta informasi, pelaksanaan keputusan Rapat Dewan Gubernur, evaluasi terhadap status tekanan dan respons kebijakan serta komunikasi pencegahan dan penanganan krisis. Semua kerangka kebijakan dan protokol koordinasi antarlembaga ini diuji dalam Simulasi Pencegahan dan Penanganan Krisis Nasional (Simkrisnas) yang dilaksanakan dari waktu ke waktu. 

Terkait dengan penanganan Stabilitas Sistem Keuangan, sesuai dengan mandat dalam UU PPSK bahwa Bank Indonesia pada saat kondisi krisis berwenang untuk melakukan: 
  1. membeli Surat Berharga Negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonominan nasional; 
  2. membeli/reverse repo SBN yang dimiliki LPS untuk biaya penanganan permasalahan bank; dan 
  3. memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo (repurchase agreement) SBN yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan

​​Berdasarkan UU PPSK, amanat pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian dipegang oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Kementerian Keuangan (Kepala KSSK), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap anggota KSSK bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. KSSK bertugas melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, melakukan penanganan Krisis Sistem Keuangan, dan melakukan koordinasi penanganan permasalahan bank sistemik baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun kondisi krisis sistem Keuangan. 

Undang-Undang PPSK mengatur penguatan peran dan wewenang KSSK beserta lembaga anggotanya. Penguatan peran dan wewenang dicapai melalui penguatan instrumen pencegahan dan penanganan permasalahan bank seperti rencana pemulihan dan resolusi bank, pengaturan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah, penempatan dana oleh lembaga Penjamin Simpanan, serta penegasan peran Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga resolusi dengan mandat pengurangan risiko (nsk minimizer), serta penguatan koordinasi makroprudensial-mikroprudensial dan makroprudensial-mikroprudensial-resolusi.





Baca Juga