Di masa kolonial, Gubernur Jenderal
Daendels pernah mengeluarkan kebijakan penjualan tanah untuk mengatasi defisit
keuangan pemerintahan Belanda karena pengeluaran yang membengkak. Pengeluaran
terbesar dipakai untuk biaya pegawai dan tentara, biaya peperangan dengan
raja-raja di Jawa, hingga pembuatan Jalan Anyer-Panarukan.
Karena itu, sejumlah tanah yang dikuasai Belanda, termasuk Probolinggo,
dijual kepada pihak swasta. Kebijakan ini diambil memperhatikan saran van
Ljsseldijk, seorang pejabat Kumpeni yang pada akhir abad ke-18 mengadakan
peninjauan ke Probolinggo. Namun, karena membutuhkan uang cepat dan uang
logam masih langka, pemerintah Belanda akhirnya menerbitkan surat berharga
dengan jaminan uang perak senilai tanah Probolinggo pada 1810. Surat berharga
inilah yang disebut uang kertas Probolinggo.
Daerah
Probolinggo dijual kepada konglomerat Cina bernama Han Ti Ko senilai 1 juta
Rijksdaalder atau 1 juta ringgit. Pembayarannya dapat dicicil 10 tahun. Setiap
bulan Juni pembeli diharuskan mengangsur sebesar 50.000 ringgit dan pada bulan
Desember sebesar 50.000 ringgit, sehingga lunas dalam 20 kali angsuran. Pembeli
sudah harus mulai mengangsur pada akhir tahun 1811.
Uang ini
berisi tulisan berbahasa Belanda dan Arab Melayu, ditandatangani pejabat
berwenang dan dibubuhi cap ”LN” atau Lodewijk Napoleon. Waktu itu kerajaan
Belanda berada di bawah kekuasaaan kekaisaran Perancis pimpinan Napoleon. Dikutip dari buku Oeang Nusantara karya Uno, disebutkan bahwa uang kertas Probolinggo terdiri atas enam nominal, yakni 100, 200, 300, 400,
500, dan 1000 ringgit atau rijksdaalders. Penanda tangan uang adalah M.W. van
Hoesen dan J.C. Romswinkel.
Sementara itu,
Sang pembeli, Han Ti Ko, menerima hak atas semua hutan jati dan dibebaskan
dari semua penyerahan wajib serta tanaman paksa. Ia juga kemudian
memperoleh gelar Mayor Cina, mendapat izin membawa senjata, dan menjadi
tuan tanah Probolinggo setingkat Bupati. Penduduk setempat
menyebutnya Babah Tumenggung. Babah adalah sebuatan bagi orang Cina kaya
yang menetap di Hindia Belanda. Babah Tumenggung dapat diartikan sebagai
bupati keturunan Cina.***