Cerita BI

BI Icon

​Departemen Komunikasi​​

11/14/2022 12:00 AM
Hits: 27579

Pahlawan di Uang Pertama Terbitan Bank Indonesia

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya", demikian ungkapan bijak Bung Karno saat berpidato pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1961. Secara historis, Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun bermula dari pertempuran pejuang Indonesia melawan tentara Sekutu dan Belanda pada 10 November 1945 di Surabaya. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia menulis pertempuran Surabaya adalah perang paling sengit di masa revolusi. Pihak Sekutu sendiri menyebut pertempuran itu laksana inferno (neraka) yang amat merepotkan. 

 Hari Pahlawan tentu saja pengingat, bahwa bangsa dan negara ini lahir dan bertahan karena pengorbanan ribuan atau jutaan pahlawan yang tak bisa dituliskan satu persatu. Jasa-jasanya selalu menggugah patriotisme dan nasionalisme generasi berikutnya. Namanya tak hanya menghiasi lembaran sejarah, tetapi juga di lembaran uang rupiah. 

Di setiap uang rupiah, selain sebagai alat pembayaran, tersemat makna dan narasi kebangsaan. Gambar-gambar yang disajikan mulai dari sosok pahlawan, kebudayaan, hingga flora dan fauna tidak saja merupakan hasil karya seni rupa adiluhung dan estetis, tetapi juga merepresentasikan berbagai simbol dan identitas keindonesiaan. Hal itu pula yang telah menghiasi berbagai uang rupiah terbitan Bank Indonesia. 

Pada terbitan pertamanya, Bank Indonesia menampilkan uang bergambar pahlawan dalam Seri Kebudayaan tahun 1952. Bagi Indonesia sebagai negara yang kala itu masih belia dan kerap menghadapi berbagai kegentingan, kemunculan sosok pahlawan dalam uang menjadi hal yang amat penting. Sebab, di sana tersimpan spirit untuk memperkuat tenun kebangsaan dan persatuan. Lewat sosok pahlawan, ada keteladan yang menjadi daya rekat anak bangsa. 

Lantas, siapakah sosok pahlawan yang ditampilkan dalam uang terbitan pertama Bank Indonesia? Pahlawan tersebut adalah Kartini dan Diponegoro. Siapa yang tak kenal Kartini. Pahlawan yang lahir pada 21 April 1879 ini dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan di Indonesia. Di masanya, Kartini muncul dengan semangat baru: semangat kebebasan, kesetaraan, modernisasi, dan anti-feodalisme. Pikiran-pikirannya yang ia tuliskan lewat surat-surat, mencoba mengimajinasikan dan mendefinisikan apa yang kemudian menjadi Indonesia. 

Kumpulan surat Kartini lalu diterbitkan di Belanda dalam bentuk buku dengan judul Door Duisternis Tot Licht dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku inilah yang menjadi bacaan wajib aktivis pergerakan kala itu sekaligus turut membuka keasadaran nasional di kalangan pelajar pribumi. Kartini memnag tidak berada di garis depan mengangkat senjata seperti Cut Nyak Dien dan Laksamana Malahayati melawan penjajah. Ia hanya pembuka jalan, pencetus cara berpikir baru. 

Kartini muncul di uang kertas pecahan Rp5 pada 1952 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia setelah ditetapkan sebagai bank Sentral. Saat itu, Bank Indonesia sedang mempersiapkan kelahirannya setelah menasionalisasi De Javasche Bank sejak 1951. Lantaran undang-undang tentang Bank Indonesia baru lahir pada 1953, maka uang kertas emisi 1952 tersebut baru resmi diedarkan pada 2 Juli 1953. 

Di bagian utama uang tersebut terdapat gambar R.A. Kartini dengan ukiran stilisasi dua burung dan motif kelok paku yang mengelilingi bagian tengah sehingga menyerupai bingkai. Sedangkan, di bagian belakang terdapat gambar pohon kalpataru atau pohon kehidupan yang diapit oleh stilisasi dua ekor ular serta ornamen dekoratif perpaduan garis-garis yang membentuk seperti kipas terkembang. Masa penggunaannya sekitar sembilan tahun karena ditarik oleh Bank Indonesia pada 1961. Gambar Kartini kembali muncul di bagian depan uang kertas nominal Rp10.000 tahun emisi 1985. 

Tak hanya Kartini, nama Diponegoro juga tak asing lagi di benak Nusantara. Putra dari Sultan Hamengkubowono III ini lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Dialah yang memimpin perang terbesar melawan Belanda di tanah Jawa. Itulah perang hebat yang kemudian dikenal sebagai Perang Jawa (1825-1830). Perang ini mendapat dukungan penuh berbagai kalangan: dari priyayi hingga kiyai, dari kerabat hingga rakyat. Sejak itu, Diponegoro dianggap musuh terbesar kolonial Belanda yang sulit ditaklukkan sepanjang abad ke-19.

Perang Diponegoro memang sudah berakhir seiring wafatnya Sang Pangeran pada 1855. Namun justru itu awal bagi lahirnya para penantang kolonial di tahun 1900-an. Kisah patriotisme Sang Pangeran jadi bahan bakar para pemuda pribumi dalam mengobarkan perlawanan. Potret atau lukisan Diponegoro dipajang di tempat-tempat pertemuan aktivis pergerakan, juga dijadikan poster dalam kongres Muhammadiyah ke-20 tahun 1931. 'Babad Diponegoro' yang ditulis tangan oleh Sang Pangeran bahkan kini diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia pada 2013. 

Pangeran Diponegoro diabadikan dalam uang rupiah terbitan pertama Bank Indonesia pada uang kertas Rp100 Seri Kebudayaan tahun 1952. Pada bagian depan, terdapat gambar Diponegoro serta ukiran burung Garuda sebagai hewan mitologi Hindu yang menjadi kendaraan Dewa Whisnu. Di bagian belakang terdapat corak stilisasi burung Garuda yang saling berhadapan. Di tahun yang sama, dikeluarkan koin Diponegoro nominal 50 sen. Nominal 50 sen dikeluarkan lagi pada 1954, 1955, dan 1957. Bank Indoensia kembali menerbitkan uang kertas emisi Diponegoro nominal Rp1.000 di tahun 1975.


Lampiran
Kontak

​​Contact Center Bank Indonesia Bicara: (62 21) 131
e-mail : bicara@bi.go.id
Jam operasional Senin s.d. Jumat Pkl. 08.00 s.d 16.00 WIB​​

Halaman ini terakhir diperbarui 11/14/2022 6:22 PM
Apakah halaman ini bermanfaat?
Terima Kasih! Apakah Anda ingin memberikan rincian lebih detail?
Tag :

Baca Juga