“Dulu Mbahkung itu kawin sama Makmu cuma bawa satu ORI saja. Habis Kemerdekaan itu satu Rupiah ORI sudah besar lho, nduk. Setara setengah gram emas. Setelah 45 kan masih sisa kan ya itu uang gulden Belanda sama Jepang, ya sama Mbahkung dituker ke bank negara di Yogyakarta”
***
Aku masih bisa mengingat betapa antusiasnya mendiang Kakekku bercerita bagaimana dia menikahi mendiang Nenekku dulu. Seperti lazimnya kisah nostalgia yang diceritakan orang-orang tua, mungkin ada beberapa yang terdengar dilebih lebihkan. Tapi aku tak peduli. Mendengarnya bercerita tentang masa mudanya, perjuangannya demi negeri ini Merdeka, membuatku seolah mendengar sebuah narasi film dokumenter yang disajikan langsung oleh sang narasumber di depanku.
Kakekku adalah seorang prajurit.
Dia adalah saksi bagaimana negeri ini memberontak dari penjajah, mengusir beberapa di antaranya, atau mungkin ikut menjagal nyawa, demi sebuah kebanggaan menjadi putra-putri Ibu Pertiwi. Beliau juga pernah ikut terbang ke Kongo saat tergabung dalam Kontingen Garuda II di tahun 1960 silam.
Namanya mungkin tidak seterkenal para Anumerta Lubang Buaya yang disahkan menjadi jalan-jalan protokol kota besar. Bahkan satu-satunya hal yang begitu dibanggakan oleh
Mbahkung—begitu kami para cucu menyebutnya, adalah beliau pernah jadi sopir dari Presiden Soekarno. Tentu bukan sopir utama, karena hanya terjadi saat sang Proklamator datang ke wilayah Malang dan itupun hanya satu kali. Hidup hingga usianya hampir mencapai dekade kesembilan, membuat Mbahkung tentu merasakan betapa negeri ini berubah.
“Dulu kalau Mbahkung kasih Makmu sepuluh ribu Rupiah, sudah bisa buat belanja dan makan satu minggu. Sekarang cuma bisa buat beli nasi goreng satu piring,” keluhnya pada suatu hari. Aku tersenyum mendengarnya. Masalah inflasi memang sangat klasik dan dirasakan lebih dalam oleh mereka yang sudah hidup cukup lama. Kakekku jelas bukan orang yang paham dengan segala ilmu ekonomi.
Dia mungkin akan tetap mengeluh soal tanah yang dulu ditawarkan padanya seharga lima puluh ribu Rupiah per meter di tahun 70-an menjadi lima juta Rupiah per meter saat ini, sekalipun Chatib Basri yang memberi penjelasan. Namun satu hal yang aku tahu.
Almarhum Kakekku itu masih menyimpan kebanggaan yang sama hingga dia meninggal, saat bercerita soal selembar kertas biru seratus Rupiah pertama bergambar Soekarno yang dia miliki. Baginya saat itu, memiliki uang Rupiah di dompet adalah sebuah bukti dia seorang Indonesia sejati.
Rupiah Memindai Indonesia dari Tapal Batas, Kaki Gunung Sampai Pusat Peradaban
‘Konon katanya, Sanskerta adalah salah satu induk bahasa Indonesia. Bahasa kuno itu bahkan terdifusi sampai melahirkan istilah Rupiah. Tanyakan pada para pedagang India daratan yang kala itu singgah di Negeri di Bawah Angin ini.
Kebiasaan mereka menyebut koin perak dengan Rupya, adalah cikal bakal bagaimana mata uang Nusantara terlahir. Mungkin karena itu pula, kekerabatan Zamrud Khatulistiwa dengan India hingga Sri Lanka lewat Rupee, sama kentalnya dengan Maladewa melalui Rufiyaa’
***
Saat aku melakukan ekspedisi ke pedalaman Kalimantan, tepatnya di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah pada Februari 2023 silam, aku belajar cukup banyak tentang makna dan keberadaan Rupiah.
Di kawasan pelosok yang bahkan harus disinggahi lewat sungai karena tak ada jalur darat itu, masyarakat suku Dayak pedalaman sejak dulu terbiasa menukar hasil hutan dengan lauk pauk makanan, pun untuk biaya pendidikan anak di sekolah Inpres yang muridnya bisa dihitung jari itu.
Namun dengan terus digelorakannya
Ekspedisi Rupiah Berdaulat
(ERB) yang digagas oleh Bank Indonesia (BI) hingga pelosok negeri, denyut Rupiah berdetak dari pedalaman hutan hujan tropis pulau Borneo.
“Dulu kalau mau ke bank di sini cukup jauh. Buat ambil dan nyimpan uang butuh perjalanan berjam-jam sampai ganti hari. Lebih cepat langsung tukar jagung dengan ayam, atau ulin dengan beras kalau yang kerja jauh belum pulang bawa uang,” cerita Bungas, salah satu perwakilan orang Dayak yang menemani ekspedisiku. Tentu apa yang dijelaskan olehnya terdengar tak masuk akal bagi masyarakat Jawa sepertiku.
Di negeri ini, terutama di pulau Jawa, transaksi hanya bisa dikatakan sah jika menggunakan uang bernama Rupiah. Bahkan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, Rupiah bisa berpindah dengan mudah dari penjual ke pembeli lewat perantara kode yang dipindai menggunakan ponsel. QRIS namanya. Alasan utama kenapa aku sudah jarang membawa uang tunai.
Jika di awal kemunculannya QRIS hanya bisa dipakai untuk transaksi di tempat-tempat bergengsi atau pembelian produk di pusat perbelanjaan besar, sekarang bahkan untuk membeli satu porsi telur gulung seharga lima ribu Rupiah di parkiran Blok M Square saja, aku bisa menggunakan QRIS. Begitu juga dengan membeli segelas es teh manis jumbo seharga tiga ribu Rupiah di pinggir jalan Kota Malang, QRIS menerima transaksi itu.
Tak cuma di kota-kota besar, Rupiah menjalar lewat internet sudah mencapai lokasi-lokasi wisata di Indonesia Timur sana. Ketika aku berkunjung ke Taman Nasional Komodo atau berjalan terus ke timur hingga mencapai Kampung Adat Bena di kaki Gunung Inerie, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, membeli oleh-oleh wisata seperti patung komodo atau kain tenun Bena, semua bisa dibayar menggunakan QRIS.
Harga diri Rupiah memang mencengkeram begitu kuat saat dia dipindai lewat kode kode QR. Bahkan kalau kalian pergi ke Thailand, Malaysia, dan Singapura ada banyak sekali transaksi belanja yang bisa dibayar menggunakan Rupiah lewat perantara QRIS antar negara. Ya, jika dulu Rupiah harus ditukarkan terlebih dulu dengan mata uang negara yang bersangkutan, QRIS antar negara kini mempermudah seluruh prosesnya karena Rupiah yang adalah identitas Indonesia, akan dikonversikan secara langsung.
Seiring dengan usia Indonesia yang terus bertambah, Rupiah juga ikut berevolusi lebih dari sekadar alat pembayaran sah. Mata uang sebaya Pertiwi ini sudah menyatukan penjuru negeri dari Sabang sampai Merauke, maupun ujung utara Miangas hingga Rote.
Ya, Rupiah adalah simbol kedaulatan sekaligus kehadiran negara di sebuah wilayah.
Doni P Joewono selaku Deputi Gubernur BI kepada
Kompas
pernah berkata bahwa BI sama halnya seperti TNI, berperan menjaga kedaulatan negara.
“Kalau TNI menjaga kedaulatan Indonesia menggunakan senjata, kami BI menjaga hal yang sama menggunakan mata uang Rupiah dengan memastikan Rupiah terdistribusi dalam kondisi layak edar ke seluruh penjuru negeri. Karena itu lewat Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2024, BI tiba di lima wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) bagian timur dan utara Kalimantan yakni Pulau Sebatik, Derawan, Maratua, Bunyu dan Kampung Talisayan. Uang itu berbicara banyak. Di lembaran kertas atau keping Rupiah, ada tokoh pahlawan, budaya, flora dan fauna. Rupiah adalah ambassador pariwisata,”
***
Berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia, Rupiah memang berdenyut lebih keras.
Dengan semakin diperbanyaknya sentra-sentra produksi bahan kebutuhan pokok yang terwujud lewat pembangunan merata di wilayah tapal batas, Rupiah jelas akan makin banyak dipakai. Rupiah semakin mengokohkan kedaulatan Indonesia.
Hal serupa pun terjadi di Timor Leste.
Di Dili, ibukota negara Timor Leste, bank-bank Indonesia bahkan masih berdiri kokoh membuktikan kalau Rupiah masih berlaku di wilayah yang pernah jadi bagian Merah Putih tersebut. Warga-warga Nusa Tenggara Timur yang harus melakukan perjalanan lintas negara ke Timor Leste tak cuma masih disatukan oleh bahasa Tetun, tapi juga Rupiah.
Sekali lagi Rupiah telah menjelma jauh seiring pertambahan usianya. Bukan cuma alat pembayaran sah, tapi juga amunisi menjaga Indonesia.
Mengabadikan Budaya, Melangitkan Mimpi Bersama Rupiah
‘Bagi Anjani Sekar Arum, Rupiah memiliki makna sama seperti kebanyakan orang di negeri ini. Perwujudan dari kesejahteraan. Namun lebih lanjut untuknya yang hidup dari serat-serat kesenian, Rupiah telah membantunya terus mengabadikan budaya lewat lembar demi lembar kain batik Bantengan yang dia
lukis di kaki Gunung Arjuno, Kota Batu. Rupiah yang dia terima, dialirkan kembali ke jiwa-jiwa muda yang tertarik membatik. Sebuah siklus tak pernah padam tentang mimpi yang harus dilangitkan. Pembuktian betapa kayanya Nusantara ini’
***
Aku mengenal Anjani di akhir tahun 2020.
Saat itu dia membuat kain batik sambil dibantu oleh seorang keponakan yang kebetulan seumuran adik kandungku. Batik-batik bermotif bantengan, kesenian tradisional khas Kota Batu itu masih dijual dalam bentuk lembaran.
Namun ketika aku bertemu kembali dengannya di tahun 2023, setelah pandemi Covid-19, rumah mungil yang menjadi galeri tempatnya membatik itu sudah semakin luas. Ada pondok-pondok kecil di belakang galeri yang ternyata menjadi lokasi anak-anak muda—kebanyakan usia sekolah, untuk belajar membuat batik bermotif kepala banteng.
Galerinya sekarang bahkan memuat banyak produk yang semakin beragam, tak cuma lembaran kain batik. Batik bantengan itu sudah diolah menjadi tas,
outer, busana, atau sejumlah
item fashion
lain. Anjani telah benar-benar berhasil mempertahankan bisnisnya menjadi unit UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang sangat menjanjikan.
Tak heran kalau akhirnya BI menjadikan Batik Bantengan Anjani sebagai bagian dari KKI (Karya Kreatif Indonesia) yang lahir sebagai kepanjangan tangan instruksi Presiden untuk Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. Memberi suntikan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), KKI yang mewadahi pelaku sektor ekonomi kreatif seperti Anjani bertujuan untuk membuat produk lokal semakin kuat, maju, dan berkualitas supaya masyarakat bangga memakai produk- produk dalam negeri.
“Menjadi bagian KKI itu artinya kami pengusaha kecil juga semakin meningkatkan skill
berbisnis. Kami membuat produk tak hanya bisa dijual saja. Tapi juga punya nilai dan kebanggaan sebagai produk ekonomi kreatif yang bisa melestarikan budaya Indonesia. Gampangnya, Rupiah yang didapat tak hanya berputar beli bahan baku dan buat saya hidup, tapi juga mewujudkan mimpi saya mewariskan kemampuan membatik dan budaya seni Bantengan ke generasi yang lebih muda,” cerita Anjani panjang lebar kala itu.
Aku tersenyum mendengarnya. Anjani mungkin salah satu yang sudah merasakan betapa Rupiah hadir padanya, lebih dari sekadar alat pembayaran.
Menemukan Rupiah sebagai alat pemersatu bangsa, membuat perasaannya mengalir sama seperti mereka-mereka yang menerima Rupiah lewat perantara QRIS di berbagai lokasi negara ini. Bahkan lebih jauh, mungkin juga serupa dengan apa yang dialami orang-orang di kawasan perbatasan negara, hingga mereka yang bertransaksi di luar negeri.
Rupiah adalah sebuah kebanggaan.
Rupiah adalah simbol kedaulatan bangsa.
Mungkin masih berlaku ucapan mendiang Kakekku sampai saat ini, “Kalau masih ada uang Rupiah di dompetmu, itu tandanya kamu masih sah jadi orang Indonesia. Karena kamu masih membawa pahlawan-pahlawan itu saat beli bensin atau sepiring nasi goreng.”
Karya
Amelya Juwitasari
Juara 1 BI Digital Content Competition 2024
Kategori Featured Article