Cerita BI

BI Icon

​​​Departemen Komunikasi

1/2/2025 8:00 AM
Hits: 2431

Paham Rupiah - Bijak Belanja Sebagai Investasi

Mari lihat keranjang belanja di aplikasi e-Commerce kita masing-masing. Apa masih ada barang yang belum di check-out? Jika masih ada, sebanyak apa barang-barang yang ingin sekali kita beli? Sudahkah ada tanda “99+" di gambar keranjang itu?

Kita semua yang memiliki aplikasi e-Commerce biasanya memiliki wishlist di keranjang belanja masing-masing. Yang entah kapan benar-benar dibeli. Pertanyaannya, apa kita butuh semua barang itu? Jangan-jangan kita sudah punya barang serupa. Fungsinya sama, bentuknya sama, mungkin hanya berbeda jenama saja.

Memahami sifat dasar manusia yang memang tidak akan pernah merasa puas, selalu ingin dan ingin lagi. Banyak dari kita yang sukar sekali rasanya menahan hasrat ingin berbelanja. Akhirnya bablas hingga saldo rekening menipis meski masih di pertengahan bulan.

Sekarang mari tanya diri kita masing-masing, apa benar produk di keranjang wishlist itu dibutuhkan semua? Apa rugi kalau tidak di check-out? Atau justru

sebaliknya, tak ada masalah apa pun jika tidak jadi belanja. Atau malah kalau dibeli jadi bikin pusing sendiri.

Memang susah menahan hasrat untuk belanja, apalagi kalau sedang “ada uang". Bahkan bagi sebagian orang, kalaupun tidak ada uang, ada “fasilitas" paylater yang kini membuat siapa pun bisa membeli apa pun bukan hanya ketika ada uangnya, tapi ada fasilitasnya.

Kini, mari lihat barang-barang yang sudah kita miliki. Perhatikan pakaian yang kita kenakan, gawai yang kita gunakan, perabotan rumah, isi kulkas, apa pun itu. Mana yang lebih banyak? Produk lokal atau impor?

Sepertinya lebih banyak barang impor, karena memang sudah mudah diakses. Contoh untuk pakaian saja. Kalau ingin barang-barang murah, bisa thrifting produk impor atau beli baju murah produksi Tiongkok. Kalau sudah punya uang lebih, mungkin beli barang-barang branded dari Eropa atau Amerika. Efek Belanja Berlebihan dan Konsumsi Impor Berlebih.

Pernahkah kita berpikir, satu tindakan kecil kita bisa berpengaruh sangat besar?

Ketika kita membeli suatu barang berlebih-lebihan, dan banyak orang melakukan hal sama, pasokan barang tersebut akan menipis. Karena diiringi permintaan barang yang semakin meningkat, terjadilah kelangkaan barang.

Akibatnya, perusahaan mau tak mau meningkatkan produksi yang juga meningkatkan biaya. Atau melihat hal ini sebagai momentum untuk meningkatkan harga. Ujung-ujungnya sama, harga jadi naik. Dan ada efek domino yang bukan hanya berpengaruh terhadap barang tersebut, melainkan barang lainnya.

Kilas balik pada tahun 2022, ketika kita menghadapi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Penyebab utamanya adalah lonjakan permintaan yang drastis, baik untuk konsumsi harian ataupun aksi panic buying masyarakat. Imbasnya, pasokan minyak goreng menipis.

Fenomena ini menyebabkan harga minyak goreng meroket. Tak cukup sampai di situ, kondisi ini juga memengaruhi harga barang lainnya, seperti gorengan, makanan olahan, dan produk lain berbahan dasar minyak sawit. Efek dominonya, kenaikan harga minyak goreng turut membebani anggaran rumah tangga masyarakat dan pelaku usaha kecil yang bergantung pada komoditas ini.

Selain itu, ketika kita doyan membeli produk-produk impor. Baik itu barang murah dari Tiongkok, Vietnam, dan Thailand atau barang branded dari Eropa dan Amerika. Normalnya, ketika kita belanja barang dari luar negeri, kita harus menggunakan mata uang negara tersebut untuk transaksi. Dalam kasus ini, yang sebenarnya terjadi adalah kita “menjual" rupiah dan “membeli" mata uang asing.

Sama seperti pasar barang, ketika kita kebanyakan “membeli" mata uang asing, permintaannya meningkat, pasokannya menipis. Yang terjadi selanjutnya adalah nilai mata uang asing menjadi tinggi. Inilah yang terjadi ketika ada berita di media massa dengan headline “Rupiah Melemah". Imbasnya, akan ada kesan yang sama dengan kasus sebelumnya. Harga jadi naik.

Fenomena inilah yang sering disebut sebagai inflasi. Akan tetapi, bukan hanya harga barang yang naik, yang juga sebenarnya terjadi adalah nilai dari uang itu sendiri yang turun. Percaya atau tidak, semua hal itu ada andil dari kita masingmasing.

Coba renungkan, nilai uang semakin lama selalu menurun. Bukan nilai nominalnya, tapi nilai gunanya. Contoh, pada tahun 2000 uang lima ratus rupiah bisa digunakan untuk membeli lima butir permen. Kini, mungkin hanya satu butir.

Itulah bukti sederhana penurunan nilai dari uang. Kampanye “Cinta, Bangga, dan Paham Rupiah". 


Per Juli 2022 lalu, Bank Indonesia meluncurkan kampanye “Cinta, Bangga, dan Paham Rupiah". Yang tujuannya adalah memberikan edukasi mendalam kepada kita sebagai masyarakat akan pentingnya mencintai rupiah, bangga terhadap rupiah, dan paham akan fungsi serta penggunaan rupiah.

Sekilas pesan kampanye “Cinta Rupiah" terlihat aneh dan tak penting. Karena, toh pada dasarnya, seluruh rakyat Indonesia pasti cinta sama yang namanya rupiah, atau dalam hal ini uang. Akan tetapi, “Cinta Rupiah" tidak hanya sebatas cinta pada uangnya. Tapi bagaimana kita mengenali dan merawat rupiah itu sendiri.

Begitupun dengan konsep “Bangga Rupiah", inti utamanya bukanlah bangga memiliki uangnya. Namun bangga dengan nilai-nilai lain yang terkandung dalam sebuah rupiah. Bagaimana rupiah menjadi sebuah simbol identitas negara, lambang kedaulatan bangsa, dan sarana untuk menghargai sejarah nasional.

Nah, untuk kampanye “Paham Rupiah", rasanya belum banyak dari kita yang benar-benar menguasai, apalagi mempraktikkannya. Paham rupiah sendiri adalah kampanye yang digagas oleh Bank Indonesia agar masyarakat lebih mengerti fungsi serta peran rupiah. Kampanye ini diluncurkan dengan pesan utama:

“Belanja Bijak". Pesan Penting: Belanja Bijak.


Kasus-kasus yang kita bahas sebelumnya merupakan alasan penting kampanye “Paham Rupiah" ini digagas. Terutama untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat bahwa inflasi sebenarnya berakar dari tindakan kita sendiri.

Akan lebih baik bagi kita ketika mampu lebih bijak dalam berbelanja. Paling tidak dalam dua hal: belanja sesuai kebutuhan dan memprioritaskan belanja produk dalam negeri.

Pertama, belanja sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebih-lebihan. Selagi belum diperlukan, tidak perlu dibeli. Tidak usah belanja jika sudah punya barang serupa dan masih berfungsi dengan baik. Bayangkan, jika kita menerapkan prinsip ini. Berapa rupiah yang bisa disimpan? Berapa space di rumah, lemari, kulkas, atau apa pun itu yang bisa dihemat. Kita sendiri yang merasakan manfaatnya.

Ketika sudah menerapkan prinsip ini, seharusnya kita mengeluarkan uang lebih sedikit dari biasanya. Otomatis akan ada sisa uang lebih banyak dari sebelumnya. Uang tersebut bisa digunakan untuk ditabung atau berinvestasi demi masa depan yang lebih baik. Sekali lagi, kita juga yang merasakan manfaatnya.

Dengan belanja seperlunya, pasokan barang di pasaran bisa dijaga. Risiko kelangkaan barang dapat dicegah. Inflasi tidak akan terjadi secara barbar. Harga barang di pasaran tetap terkendali dan nilai rupiah tidak anjlok. Lagi dan lagi, kita sendiri yang merasakan manfaatnya.

“Belanja Bijak" juga berarti memprioritaskan belanja produk dalam negeri. Ketika membelanjakan uang kita mayoritas untuk produk-produk lokal, kita bisa mengurangi jumlah barang impor. Kita tidak perlu “membeli" mata uang asing berlebihan. Dan nilai tukar rupiah bisa dijaga. Lonjakan harga, depresiasi1, atau inflasi berlebih bisa dicegah.

Ketika memprioritaskan belanja produk dalam negeri, produsen lokal secara otomatis meningkatkan kapasitas produksi, nilai (bukan harga) barang dan kualitasnya. Pada tahap ini, langkah selanjutnya adalah peningkatan jumlah ekspor barang. 

Sehingga daripada “membeli" mata uang asing berlebihan, kini kita “menjual" rupiah dalam jumlah yang lebih banyak. Saat ini terjadi, maka kita bisa membayangkan pemberitaan di media massa akan sering dihiasi headline: “Rupiah Menguat".

Ketika rupiah menguat, posisi kita dalam perdagangan internasional juga semakin kuat. Negara-negara maju sudah mengalami hal ini. Dan bukan tidak mungkin, Indonesia bisa mencapai hal yang sama. Dan ini semua bisa diawali dari tindakan “Belanja Bijak" yang dimulai dari kita sendiri.

Bukan berarti kita tidak membeli produk impor sama sekali. Karena di beberapa sektor, kita masih bergantung pada produk impor. Namun, yang kita harus lakukan adalah memprioritaskan produk dalam negeri dibandingkan impor, apalagi jika kita punya barang serupa.

Jika harus membeli produk jenama luar negeri, kita juga perlu mengupayakan membeli produk yang minimal produksinya di Indonesia. Efek negatifnya tidak akan sekuat produk impor langsung. Karena biaya produksinya lebih rendah, tenaga kerja lokal terpakai sehingga perekonomian nasional ikut bergerak. Bukan Pengorbanan, Tapi Investasi.


Rempong ya? Pada awalnya memang merepotkan rasanya jika harus selalu menerapkan prinsip “Belanja Bijak". Bagaimana mungkin membelanjakan uang sendiri, yang seharusnya terserah kita sendiri mau diapakan, justru dihalang-halangi dan dibatasi penggunaannya. Akan tetapi, baiknya kita rela berkorban demi masa depan yang lebih baik.

Tapi sadarlah, bukanlah pengorbanan namanya jika dari awal kita sendiri juga yang merasakan manfaatnya. Bagaimana tidak? ketika kita lebih bijak berbelanja sesuai dengan kampanye “Paham Rupiah", kita bisa berhemat. Menahan pengeluaran, mencegah inflasi, resesi2 hingga krisis dan menggerakkan perekonomian negara. Bukan hanya sekali atau dua kali. Manfaatnya bisa dirasakan berkali lipat dan lebih luas cakupannya. Pada dasarnya, ini semua bukan pengorbanan, tapi investasi. 

Sekarang, mari cek kembali keranjang belanja e-Commerce kita masingmasing. Atau lihat kembali barang-barang yang kita miliki. Apa sudah sesuai dengan pesan “Belanja Bijak" dalam kampanye “Cinta, Bangga, dan Paham Rupiah"? kalau belum mari berinvestasi dari sekarang dengan lebih bijak dalam berbelanja.

 

Catatan kaki :

  1. Menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus (2009) "Depresiasi adalah penurunan nilai tukar mata uang negara terhadap mata uang asing, yang terjadi akibat mekanisme pasar seperti perubahan permintaan dan penawaran." Atau dengan kata lain depresiasi adalah kondisi dimana mata uang suatu negara nilai gunanya menurun dibandingkan sebelumnya. 
  2. Resesi menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus (2009) adalah penurunan aktivitas ekonomi yang berlangsung selama dua kuartal berturut-turut atau lebih. Sederhananya ini adalah kondisi dimana keadaan ekonomi masyarakat menurun. Baik itu dari sisi daya beli, produktivitas, pendapatan dan lain sebagainya.​
Karya 
Afif Assariy
Juara 3 BI Digital Content Compet​ition 2024
Kategori Featured Article

Lampiran
Kontak

Contact Center Bank Indonesia Bicara: (62 21) 131

e-mail : bicara@bi.go.id

Jam operasional Senin s.d. Jumat Pkl. 08.00 s.d 16.00 WIB

Halaman ini terakhir diperbarui 1/8/2025 2:59 PM
Apakah halaman ini bermanfaat?
Terima Kasih! Apakah Anda ingin memberikan rincian lebih detail?
Tag :

Baca Juga