Tahukah Anda kalau uang yang kita pegang saat ini tidak hanya bermakna bagi perekonomian, namun juga mengandung makna kedaulatan serta politik, mengikuti konteks yang ada pada jaman Zaman tersebut. Mungkin, sebagian dari kita saat ini masih belum tercerahkan dengan penggalan kalimat tersebut. Namun, hal ini berbeda cerita apabila kita merasakan secara langsung, sekitar 79 tahun silam atau bahkan lebih, saat negeri ini baru saja berdiri. Perjuangan para pendiri bangsa dan pahlawan tidak hanya melalui pergulatan senjata, namun juga perlawanan secara politik perekonomian, dalam hal ini pengedaran uang Rupiah.
Belanda melalui mata uang gulden-nya, pada awal masa penjajahan sampai hingga ratusan tahun berkuasa di Nusantara, terus menjajah perekonomian bangsa. Setelahnya, bangsa Jepang juga turut mengenalkan mata uangnya yakni Dai Nippon ke Nusantara pada era pendudukannya. Tonggak sejarah proklamasi kemerdekaan tahun 1945 tampaknya tak menyurutkan niat Belanda untuk terus menunggangi kedaulatan Indonesia. Melalui agresi militer Belanda I dan II, Belanda memetaformosiskan mata uang-nya yang baru, yakni NICA untuk diedarkan di Nusantara. Faktor kekayaan alam bumi Indonesia sebagai salah satu sumber utama pendapatan Belanda menjadi alasan Belanda tidak rela melepaskan Indonesia.
Para pendiri bangsa, yang saat itu dimotori oleh Wapres RI Mohammad Hatta dan tokoh bangsa lainnya berupaya keras untuk menangkis dengan segala cara agar uang Rupiah dapat berdaulat di negeri sendiri. Merangkum sejarah, uang Gulden, uang NICA, uang Dai Nippon, sampai dengan uang teritorial mendapatkan perlawanan seimbang dari uang RI saat itu, yakni Oeang Republik Indonesia (ORI). Rupiah atau ORI saat itu dicetak dan diedarkan dengan segala keterbatasan, namun hal ini terabaikan dengan semangat dan tekad kuat dari pendiri bangsa agar Rupiah dapat segera berdaulat. Hal ini dapat dimaknai bahwa kedaulatan rupiah merupakan hasil jerih payah perjuangan, bukan hadir secara cuma-cuma.
Beberapa fakta sejarah tersebut dapat kita temui dalam buku yang berjudul “Rupiah untuk Kedaulatan Negara". Tidak hanya fakta, buku ini juga kaya akan inspirasi bagaimana para pejuang dan pemikir kemerdekaan merumuskan kebijakan ekonomi keuangan nasional yang berdikari, serta anti terhadap kolonialisme. Buku ini secara resmi diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo pada acara Pembukaan Festival Rupiah Berdaulat Indonesia (FERBI) 2024 pada tanggal 16 Agustus 2024. Peluncuran buku ini menjadi spesial, karena selain khusus membahas Rupiah dalam lintas peristiwa sejarah, juga diluncurkan pada momen HUT ke-79 Kemerdekaan RI.
Perspektif akademis turut memperkaya penyusunan buku ini. Prof. Nawiyanto dari Universitas Negeri Jember ditunjuk untuk menulis buku ini, selanjutnya disunting oleh Dr. Gusti Asnan dari Universitas Andalas. Sebagai salah satu karya monumental, buku ini bukan hanya mengungkap sejarah peredaran mata uang di Indonesia, tetapi juga menawarkan refleksi kritis tentang hubungan erat antara uang dan kedaulatan negara. Selain itu, buku ini tidak hanya menyajikan fakta historis yang kronologis tetapi juga membawa kita untuk merenungkan kembali evolusi peran dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola nilai yang terkandung dalam uang termasuk peran uang sebagai sebuah identitas dan simbol kedaulatan negara.
Gubernur Perry Warjiyo dalam peluncurannya menyampaikan agar buku ini dapat mendorong masyarakat semakin Cinta, Bangga, dan Paham Rupiah sebagai salah satu buah kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. “Buku 'Rupiah untuk Kedaulatan Negara' memuat perjalanan Rupiah dan peran Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi serta kedaulatan Rupiah di NKRI. Semoga buku ini dapat menjadi referensi yang berguna bagi masyarakat dan bangsa dalam mendorong rasa Cinta, Bangga, dan Paham terhadap Rupiah," jelas Gubernur.
Jaman terus berevolusi, tantangan terhadap kedaulatan perekonomian Bangsa silih berganti, termasuk juga uang Rupiah. Selain fakta sejarah, buku ini turut menghadirkan bagi para pembaca atas tinjauan eksistensi Rupiah dalam perspektif kontemporer. Mulai dari topik penegakan penggunaan uang Rupiah di NKRI, pengedaran uang di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA), kripto, sampai dengan central bank digital currency (CBDC). Unsur kebaruan dalam buku ini tidak hanya tercermin dari pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan yang tersurat di dalamnya. Sebagai penutup, buku ini tidak hanya menjadi sebuah karya yang mengabadikan ingatan institusional, tetapi juga menjadi kebijaksanaan institusional dari Bank Indonesia yang mewarisi sejarah uang itu sendiri.