Setelah panitia
nasionalisasi De Javasche Bank (DJB)
terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 118
tanggal 2 Juli 1951, kemudian diputuskan agar pemerintah
RI tidak melakukan nasionalisasi secara sepihak atau pengambilalihan paksa
terhadap DJB. Sebab tindakan
tersebut akan berdampak buruk, antara lain reaksi keras dari berbagai lembaga
perbankan dan non-perbankan dunia yang sangat merugikan kepentingan Indonesia.
Sejalan dengan
pemikiran tersebut, akhirnya panitia memutuskan untuk melakukan pengambilalihan
kepemilikan dengan cara indonesianisasi saham-sahamnya. Maka, pada 3 Agustus
1951 Pemerintah RI mengajukan penawaran untuk membeli saham-saham DJB kepada
para pemiliknya.
Semula, Menteri Keuangan Belanda menolak
terhadap niat pemerintah RI tersebut. Namun pihak RI berhasil meyakinkannya
bahwa tindakan itu merupakan langkah terbaik dan realistis di tengah euforia kemerdekaan Indonesia. Diplomasi oleh dua
delegasi Indonesia yaitu M Saubari selaku
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan dan Khouw Bian Tie selaku anggota dari
Panitia Nasionalisasi DJB berhasil meyakinkan Vereeniging voor de Effectenhandel (perkumpulan
pedagang efek), Amsterdam, bahwa Indonesa akan membayar saham-saham DJB secara
wajar, bahkan dengan harga
pembelian 20% di atas harga normal.
Saham-saham
kepemilikan DJB kemudian dibeli oleh Pemerintah RI dengan kurs 120% dalam
valuta uang Belanda atau valuta lain sesuai tempat tinggal pemilik saham dengan
kurs sebanding, dan kurs 360% untuk pemilik saham berkewarganegaraan Indonesia
(dalam rupiah). Total harga nominal saham dan sertifikat yang dibeli pemerintah
untuk menasionalisasi DJB sebesar 8,95 Juta Gulden. Pemerintah akhirnya
berhasil mengambil alih 99,4% saham DJB. Sisanya 0,6% dianggap hilang karena
tidak jelas pemiliknya. Setelah semuanya beres, tanggal 15 Desember 1951 DJB
resmi dinasionalisasi berdasarkan Undang-Undang No.24 Tahun 1951.
Puncaknya, Presiden RI
mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Bank Indonesia yang diundangkan
melalui Lembaran Negara No. 40 Tahun 1953. Undang-undang itu mulai berlaku
sejak 1 Juli 1953. Dengan berlakunya UU tersebut, nama Bank Indonesia secara resmi
ditetapkan bukan saja sebagai bank sirkulasi, tetapi juga Bank Sentral RI. Sesuai tanggal berlakunya UU,
1 Juli kemudian diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia.