No. 25/283/DKom
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%. Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah
pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024. Sementara itu, kebijakan makroprudensial longgar diperkuat dengan efektivitas implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga terus ditingkatkan untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital, termasuk digitalisasi transaksi keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Penguatan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sebagai berikut:
- Stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi
spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;
- Penguatan strategi operasi moneter untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen moneter yang
pro-market;
- Penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter yang
pro-market untuk pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik
portfolio inflows, dengan mengoptimalkan aset surat berharga dalam valuta asing yang dimiliki Bank Indonesia sebagai underlying (Lampiran 1);
- Penguatan implementasi kebijakan makroprudensial longgar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan:
- efektivitas implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas, termasuk hilirisasi (minerba, pertanian, perkebunan, dan perikanan), perumahan (termasuk perumahan rakyat), pariwisata dan ekonomi kreatif, UMKM, KUR, Mikro, dan hijau yang telah berlaku sejak 1 Oktober 2023;
- mempertahankan (a) Rasio
Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0% dan (b) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94%;
- melanjutkan pelonggaran rasio
Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, dan ruko/rukan) bagi bank yang memenuhi kriteria NPL/NPF tertentu, untuk mendorong pertumbuhan kredit sektor properti dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, berlaku efektif 1 Januari s.d. 31 Desember 2024; dan
- melanjutkan pelonggaran ketentuan uang muka kredit/pembiayaan kendaraan bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru, untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor otomotif dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, berlaku efektif 1 Januari s.d. 31 Desember 2024;
- Pelonggaran likuiditas dengan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 bps dari 6% menjadi 5% untuk Bank Umum Konvensional (BUK), dengan fleksibilitas repo sebesar 5%; dan rasio PLM syariah sebesar 100 bps dari 4,5% menjadi 3,5% untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS), dengan fleksibilitas repo sebesar 3,5%. Penurunan ini juga ditujukan untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan dan mendorong pendalaman pasar keuangan, berlaku mulai 1 Desember 2023;
- Pendalaman kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan fokus pada suku bunga kredit per sektor ekonomi (Lampiran 2);
- Percepatan digitalisasi sistem pembayaran untuk efisiensi transaksi dan perluasan ekosistem Ekonomi Keuangan Digital (EKD) guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, melalui:
- Perluasan kerja sama dan implementasi QRIS Antarnegara, termasuk peluncuran dan implementasi QRIS Antarnegara Indonesia-Singapura;
- Perluasan akseptasi penggunaan Kartu Kredit Indonesia (KKI) Segmen Pemerintah melalui program edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif dengan daya jangkau yang lebih luas; dan
- Pelaksanaan
monitoring dan pencapaian target QRIS 2023 serta kesiapan implementasi kebijakan QRIS TUNTAS dan MDR QRIS untuk usaha mikro.
Untuk menjaga stabilitas makrekonomi dan pertumbuhan ekonomi dari dampak rambatan tingginya ketidakpastian global, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan fiskal Pemerintah terus ditingkatkan. Koordinasi pengendalian inflasi dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) juga diperkuat melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah, demikian pula koordinasi dalam akselerasi digitalisasi sistem pembayaran melalui Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD). Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diperkuat dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha, khususnya pada sektor-sektor prioritas. Bank Indonesia juga memperluas kerja sama dengan bank sentral negara mitra, serta memfasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait. Selain itu, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait untuk melakukan diseminasi
deliverable ASEAN di bawah Keketuaan ASEAN 2023 Indonesia.
Perekonomian global melambat dengan ketidakpastian yang semakin meningkat tinggi.
Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan melemah dan disertai divergensi pertumbuhan antarnegara yang semakin melebar. Pertumbuhan ekonomi pada 2023 diprakirakan sebesar 2,9% dan melambat menjadi 2,8% pada 2024 dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah. Ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik, sedangkan Tiongkok melambat dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti. Meningkatnya ketegangan geopolitik mendorong harga energi dan pangan meningkat sehingga mengakibatkan tetap tingginya inflasi global. Untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk
Federal Funds Rate (FFR), diprakirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer). Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang dengan kenaikan yield obligasi Pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), akibat peningkatan kebutuhan pembiayaan utang Pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia). Berbagai perkembangan tersebut mendorong pembalikan arus modal dari negara
Emerging Market Economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid, yang mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia. Ketidakpastian ekonomi dan keuangan global semakin tinggi karena terjadi bersamaan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, dan karenanya memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik di negara-negara EMEs, termasuk Indonesia.
Perekonomian Indonesia diprakirakan tetap tumbuh baik dan berdaya tahan terhadap dampak rambatan global.
Pada triwulan III 2023,
pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi swasta, termasuk konsumsi generasi muda, yang meningkat sejalan peningkatan konsumsi di sektor jasa dan
keyakinan konsumen yang masih tinggi.
Pertumbuhan investasi tetap baik didorong berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN). Sementara itu,
pertumbuhan riil
ekspor barang menurun seiring pelemahan permintaan dari negara mitra dagang utama, terutama Tiongkok, dan penurunan harga komoditas, sedangkan ekspor jasa tetap
tumbuh
tinggi sejalan dengan kenaikan jumlah wisatawan mancanegara. Secara spasial, pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di Sulampua, Kalimantan, dan Jawa. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi diprakirakan dalam kisaran 4,5-5,3% pada 2023 dan meningkat pada 2024. Berlanjutnya perbaikan ekonomi pada 2024 terutama didorong oleh permintaan domestik sejalan dengan kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), penyelenggaraan pemilu, dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Untuk
mendukung
pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi permintaan, Bank Indonesia
terus meningkatkan stimulus kebijakan
makroprudensial
dan akselerasi digitalisasi sistem pembayaran, dengan sinergitas kebijakan
fiskal Pemerintah
yang semakin erat.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mendukung tetap terjaganya stabilitas eksternal. Surplus neraca perdagangan masih berlanjut pada triwulan III 2023 sebesar 7,8 miliar dolar AS dan menopang prospek transaksi berjalan tetap sehat. Sementara itu, meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global mendorong aliran keluar modal asing (net outflows) dalam bentuk investasi portofolio pada triwulan III 2023 sebesar 2,1 miliar dolar AS. Tekanan terhadap aliran modal asing terus berlanjut pada triwulan IV 2023 yang hingga 17 Oktober 2023 mencatat
net outflows sebesar 0,4 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir September 2023 tercatat sebesar 134,9 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, NPI pada 2023 diprakirakan tetap baik dengan transaksi berjalan dalam kisaran surplus 0,4% sampai dengan defisit 0,4% dari PDB. Pada 2024, NPI diprakirakan tetap terjaga didukung oleh prospek perekonomian domestik yang tetap baik, di tengah tingginya ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global.
Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar Rupiah.
Dibandingkan akhir tahun 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi di level 106,21 atau menguat 2,60% (ytd). Sangat kuatnya dolar AS ini memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia, seperti Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro yang melemah masing-masing 12,44%, 6,61% dan 1,40% (ytd), serta depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing 7,23%, 4,64% dan 1,73% (ytd). Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, nilai tukar Rupiah terdepresiasi 1,03% (ytd), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut. Ke depan, sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian
imported inflation. Di samping intervensi di pasar valuta asing, Bank Indonesia mempercepat upaya pendalaman pasar uang Rupiah dan pasar valuta asing, termasuk optimalisasi SRBI dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri. Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.
Inflasi terkendali dalam kisaran sasaran.
Inflasi IHK September 2023 tercatat 2,28% (yoy), lebih rendah dari inflasi IHK bulan sebelumnya sebesar 3,27% (yoy). Penurunan inflasi ini didukung oleh inflasi inti yang menurun menjadi 2,00% (yoy) dan inflasi kelompok
administered prices
yang juga lebih rendah menjadi 1,99% (yoy). Sementara itu, kelompok
volatile food
mencatat inflasi sebesar 3,62% (yoy), meningkat dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 2,42% (yoy), sejalan dengan kenaikan harga beras dan daging sapi. Inflasi yang terjaga merupakan hasil nyata dari konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam TPIP dan TPID melalui penguatan GNPIP di berbagai daerah. Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati sejumlah risiko yang dapat menimbulkan tekanan terhadap tetap terkendalinya inflasi, termasuk dampak kenaikan harga energi dan pangan global serta tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap
imported inflation.
Untuk itu, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan mempererat sinergi dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024.
Bank Indonesia terus melakukan inovasi untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam memastikan inflasi terkendali dan nilai tukar Rupiah tetap stabil. Dalam kaitan ini, kebijakan suku bunga diperkuat dengan penerbitan instrumen moneter SRBI (kontraksi) yang
pro-market, dalam rangka memperkuat upaya pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik
portfolio inflows, dengan mengoptimalkan aset SBN yang dimiliki Bank Indonesia sebagai
underlying. Pasar menyambut baik penerbitan SRBI yang tecermin pada tingginya penawaran dibandingkan dengan target (oversubscribed). Hingga 17 Oktober 2023, lelang SRBI telah dilakukan sembilan kali dengan
outstanding mencapai Rp113,70 triliun. Perkembangan tersebut juga diikuti dengan transaksi di pasar sekunder. Selain itu, penerbitan SRBI juga mendukung masuknya aliran investasi portofolio asing seperti tecermin pada net beli SRBI oleh investor nonresiden sebesar Rp9,81 triliun. Berbagai perkembangan ini secara umum menunjukkan SRBI dapat menggantikan peran
Reverse Repo
(RR) SBN sebagai instrumen moneter kontraksi dan sekaligus dapat menarik aliran modal masuk untuk memperkuat ketahanan eksternal ekonomi Indonesia dari dampak rambatan global.
Likuiditas perbankan dan perekonomian tetap longgar. Pertumbuhan uang primer (M0) tercatat 5,4% (yoy) didorong oleh ekspansi keuangan Pemerintah di tengah perlambatan aktiva luar negeri bersih. Pada September 2023, operasi keuangan Pemerintah mencatat ekspansi sebesar Rp56,83 triliun sejalan dengan pola musimannya, setelah sebelumnya sampai dengan Agustus 2023 mencatat kontraksi sebesar Rp268,29 triliun. Sementara itu, uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) bulan September 2023 masing-masing tumbuh sebesar 4,1% (yoy) dan 6,0% (yoy). Perkembangan M2 terutama dipengaruhi oleh kredit yang tetap kuat dan operasi keuangan Pemerintah yang mencatat ekspansi. Searah dengan perkembangan di uang primer, operasi keuangan Pemerintah pada September 2023 mencatat ekspansi sebesar Rp35,56 triliun setelah sebelumnya juga mencatat kontraksi sebesar Rp305,03 triliun sampai dengan Agustus 2023. Bank Indonesia terus memastikan kecukupan likuiditas, baik melalui efektivitas kebijakan yang ada maupun dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial lanjutan, untuk mendorong berlanjutnya peningkatan kredit/pembiayaan guna mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Longgarnya likuiditas mendukung
intermediasi perbankan dan tetap terjaganya stabilitas sistem keuangan. Pada September 2023 rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap terjaga tinggi, yaitu 25,83%. Perkembangan likuiditas tersebut berdampak positif terhadap perkembangan suku bunga perbankan, di mana suku bunga deposito perbankan jangka waktu 1 bulan dan suku bunga kredit pada September 2023 masing-masing terjaga pada 4,28% dan 9,36%. Likuiditas perbankan yang tetap memadai juga didukung oleh implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang efektif berlaku pada 1 Oktober 2023, dengan besaran insentif maksimum 4%. Pada awal implementasinya (per 5 Oktober 2023), KLM telah memberikan tambahan likuiditas pada 120 bank sebesar Rp28,79 triliun, dari Rp108,15 triliun menjadi sebesar Rp136,94 triliun. Tambahan likuiditas tersebut diprakirakan akan semakin meningkat ke depan, sejalan dengan peningkatan pertumbuhan kredit pada sektor-sektor prioritas yang menjadi fokus kebijakan. Bank Indonesia terus memastikan kecukupan likuiditas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan meningkatkan penyaluran kredit/pembiayaan guna mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Intermediasi perbankan terus melanjutkan perbaikan.
Kredit perbankan pada September 2023 tumbuh 8,96% (yoy), didukung oleh
appetite bank yang masih longgar dan mulai meningkatnya permintaan pembiayaan sejalan dengan kinerja korporasi yang masih tumbuh baik. Secara sektoral, pertumbuhan kredit terutama ditopang oleh sektor Jasa Dunia Usaha, Perdagangan, dan Jasa Sosial. Pembiayaan syariah juga terus meningkat mencapai 14,69% (yoy) pada September 2023. Di segmen UMKM, pertumbuhan kredit mencapai 8,34% (yoy), antara lain didukung oleh penyaluran KUR yang semakin meningkat.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan dan memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, terutama pada sektor-sektor prioritas, inklusif, dan ekonomi hijau. Dengan memerhatikan perkembangan tersebut, prospek
pertumbuhan kredit pada 2023 diprakirakan tetap di kisaran 9-11% dan meningkat pada 2024.
Ketahanan perbankan terjaga didukung permodalan yang kuat dan
risiko kredit yang rendah. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) tercatat pada level yang tinggi sebesar 27,62% dengan risiko kredit yang terkendali, tecermin dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan
/NPL) sebesar 2,50% (bruto) dan 0,79% (neto) pada Agustus 2023. Ketahanan likuiditas perbankan tetap terjaga ditopang dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 6,54% (yoy) pada September 2023. Hasil
stress-test Bank Indonesia juga menunjukkan ketahanan perbankan yang tetap kuat dalam menghadapi tekanan global. Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi dengan KSSK dalam memitigasi berbagai risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan dan momentum pertumbuhan ekonomi.
Kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap kuat didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal.
Pada triwulan III 2023, nilai transaksi Uang Elektronik (UE) meningkat 10,34% (yoy) sehingga mencapai Rp116,54 triliun, sementara nilai transaksi
digital banking
tercatat Rp15.148,71 triliun atau tumbuh sebesar 12,83% (yoy). Nominal transaksi QRIS tercatat tumbuh 87,90% (yoy) dan mencapai Rp56,92 triliun, dengan jumlah pengguna 41,84 juta dan jumlah
merchant 29,04 juta di mana sebagian besar merupakan UMKM. Bank Indonesia terus mendorong akselerasi digitalisasi sistem pembayaran dan perluasan kerja sama sistem pembayaran antarnegara guna mendorong inklusi ekonomi keuangan dan memperluas ekonomi dan keuangan digital. Sementara itu, nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit mencapai Rp2.041,72 triliun atau turun sebesar 4,94% (yoy). Dari sisi pengelolaan uang Rupiah, jumlah Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada triwulan III 2023 meningkat 6,16% (yoy) sehingga menjadi Rp961,59 triliun. Selain itu, Bank Indonesia juga terus memastikan ketersediaan uang Rupiah dengan kualitas yang terjaga di seluruh wilayah NKRI melalui program pengedaran uang Rupiah ke daerah Terluar, Terdepan, Terpencil (3T) serta kegiatan Kas Keliling, Kas Titipan dan Ekspedisi Rupiah Berdaulat.
Jakarta, 19 Oktober 2023
Kepala Departemen Komunikasi
Erwin Haryono
Direktur Eksekutif