Bank
Indonesia (BI) menerbitkan 5 (lima) ketentuan sebagai tindak
lanjut penguatan bauran kebijakan untuk menghadapi pandemi COVID-19, baik dalam
menjaga stabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan, maupun
untuk mendukung pemulihan ekonomi. Ketentuan yang diterbitkan adalah sebagai berikut:
1. Tindak
Lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020
BI menerbitkan ketentuan
terkait pemberian Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) bagi Bank Umum Konvensional dan
pemberian Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek bagi
Bank Umum Syariah (PLJPS). Ketentuan yang diterbitkan terdiri dari:
Penerbitan 2 (dua) ketentuan tersebut merupakan
tindaklanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu
No.1 Tahun 2020).
Sesuai dengan pasal 16 huruf a Perppu No. 1 Tahun 2020,
sebagai langkah antisipatif dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas
sistem keuangan, BI diberikan kewenangan
untuk memberikan pinjaman likuditas jangak pendek atau pembiayaan likuiditas
jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau Bank selain Bank
Sistemik. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan penilaian dari Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Sehubungan dengan hal itu, penyesuaian
pengaturan dalam PBI yang diterbitkan, meliputi persyaratan untuk memperoleh
PLJP/PLJPS, pengaturan agunan, dan dokumen permohonan.
2. Tindak
lanjut Keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan April 2020
Sebagai tindak lanjut
keputusan RDG Bulanan 13-14 April
2020, BI menerbitkan
2 (dua) ketentuan
sebagai berikut :
Ketentuan tersebut mengatur tentang penyesuaian kebijakan pengaturan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan
menurunkan GWM dalam Rupiah bagi Bank Umum Konvensional (BUK) sebesar 200
bps, dari 5,5% menjadi 3,5%, serta bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS) sebesar 50 bps, dari 4,0% menjadi 3,5%, dengan GWM rata-rata
masing-masing tetap sebesar 3,0%. Kebijakan penurunan GWM rupiah tersebut
merupakan bagian kebijakan quantitative
easing Bank
Indonesia sebagai upaya mendukung
pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19.
Ketentuan tersebut
mengatur tentang perubahan RIM dan PLM, yang meliputi:
· Penyesuaian
Parameter Disinsentif Bawah dan Parameter Disinsentif Atas yang digunakan dalam
pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah menjadi sebesar 0 (nol) untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun yaitu sejak 1 Mei 2020 sampai dengan 30 April 2021.
· Penyesuaian Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200
bps menjadi 6% dari DPK
untuk
Bank Umum Konvensional dan sebesar 50 bps menjadi
4,5% dari DPK untuk Bank Umum Syariah.
· Kenaikan Rasio PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang
diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana.
·
Dalam kondisi
tertentu, surat berharga/surat berharga syariah dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank
Indonesia dalam operasi pasar terbuka. Penggunaan surat berharga tersebut dalam transaksi repo ditetapkan paling banyak 6% (enam
persen) dan
4,5% (empat koma lima persen) dari DPK dalam rupiah, masing-masing untuk Bank Umum
Konvensional dan Bank
Umum Syariah.
3.
Penyesuaian Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Bank Indonesia sebagai Dampak Pandemi COVID-19
Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/7/PBI/2020
tentang Penyesuaian Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Bank Indonesia sebagai
Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), termasuk penerapan kebijakan Pemerintah mengenai
pembatasan sosial berskala besar. Ketentuan ini mulai berlaku 30 April 2020.
Ketentuan dimaksud mengakomodir pemenuhan berbagai
kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berada di bawah pengaturan
dan pengawasan BI di sektor
moneter, stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran di tengah penerapan kebijakan percepatan
penanganan COVID-19 oleh Pemerintah. Ketentuan tersebut mengatur area penyesuaian yang meliputi proses perizinan,
penyampaian pelaporan, korespondensi dan/atau pertemuan BI, sanksi-sanksi administratif kepada Eksportir Non-Sumber Daya
Alam berupa penangguhan atas pelayanan ekspor, layanan kas Bank Indonesia,
biaya Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), penyelenggaraan kartu kredit, dan pemenuhan kewajiban
implementasi beberapa ketentuan BI.
Selain penerbitan ketentuan dalam menghadapi dampak
COVID-19, BI juga memperpanjang waktu penyampaian tanggapan Consultative Paper (CP) Standar Open API dan Interlink Bank
dengan Fintech Bagi PJSP. Sebelumnya, BI memberikan kesempatan bagi industri dan publik untuk
memberikan masukan dan tanggapan atas CP mengenai Standar Open API dalam rangka Open Banking dan Interlink Bank dengan Fintech
bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) sampai dengan 30 April 2020
(Info Terbaru Bank Indonesia (01/04) tentang BI Dorong Peran Industri dalam
Mengembangkan Open Banking di
Indonesia). Namun, dengan memerhatikan
perkembangan COVID-19, dan mempertimbangkan pentingnya tanggapan dari industri
terhadap CP tersebut, BI
memperpanjang tenggat waktu penyampaian tanggapan terhadap CP hingga 30 Mei 2020. Penyampaian tanggapan atau
masukan disampaikan melalui email : Working Group
Standar Open API (WG1_BSPI@bi.go.id) atau surat yang ditujukan ke Departemen Kebijakan
Makroprudensial, Menara Syafruddin Prawiranegara, Lantai 4, Jl. MH Thamrin No.
2, Jakarta 10350.
BI akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), dan otoritas terkait senantiasa memantau perkembangan
pandemi COVID-19 guna menempuh langkah-langkah kebijakan yang diperlukan untuk
memitigasi dan mengurangi dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Kepala
Departemen Komunikasi
Onny
Widjanarko
Direktur Eksekutif
Informasi tentang Bank Indonesia
Telp. 021-131, Email : bicara@bi.go.id
Bank
sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas
jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan
dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau secara
keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun
finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.