Cerita BI

BI Icon

​Departemen Komunikasi

11/20/2025 7:00 PM
Hits: 787

Suara Konsumen di Era Digital dalam Klik yang Jadi Kontrak

Pernahkah kamu membeli barang secara online hanya karena tergoda diskon  besar-besaran, lalu menyesal karena barang yang datang tak sesuai gambar?” Saya pernah. 

Pengalaman itu terjadi awal tahun lalu. Saat itu saya masih mahasiswa hukum  tingkat akhir, sibuk dengan skripsi yang menumpuk. Di tengah rasa penat, sebuah  iklan diskon besar-besaran lewat begitu saja di layar ponsel saya. Tanpa pikir  panjang, saya menekan tombol “beli”. Syarat dan ketentuan yang panjangnya  berlembar-lembar hanya saya gulir cepat. Dalam hitungan hari barang pun datang,  tetapi kualitasnya jauh dari ekspektasi. Saya mencoba mengajukan komplain,  namun jawaban yang datang dingin dan kaku: “Sesuai ketentuan, barang yang  sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.” 

Di titik itu, saya terdiam. Saya tahu benar bahwa setiap perjanjian lahir dari  kesepakatan yang seimbang. Ada asas keadilan yang seharusnya melindungi pihak  yang lemah. Namun pengalaman pribadi ini justru memperlihatkan kenyataan  lain: sebuah klik di layar ponsel ternyata bisa menjadi kontrak yang mengikat, dan  tak jarang menempatkan konsumen dalam posisi yang rentan apabila tidak teliti. 

Hukum perdata selalu mengajarkan bahwa kontrak terbentuk ketika ada  kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Dulu kontrak lahir  lewat pena, tanda tangan, dan materai. Kini, kontrak hadir dalam bentuk digital  yang nyaris tak kasat mata. Ia berwujud tombol setuju, dalam bentuk terms and  conditions yang panjangnya berlembar-lembar, dan notifikasi yang muncul  seketika. Ironinya, hampir tak ada konsumen yang membaca seluruhnya, tetapi  begitu mereka menekan tombol itu, hukum pun bekerja. 

Inilah wajah baru transaksi. Era digital menghadirkan kemudahan, tapi juga celah.  Kasus penipuan online, penyalahgunaan data pribadi, barang palsu, hingga  jebakan dark pattern yang sengaja dirancang untuk memanipulasi pilihan  konsumen, menjadi fenomena sehari-hari.  

Lima tahun terakhir, dinamika perlindungan konsumen di Indonesia semakin sarat  dengan kisah dari dunia digital. Data Badan Perlindungan Konsumen Nasional 

(BPKN) memperlihatkan lonjakan yang mencolok. Pada 2017–2019, aduan terkait  transaksi elektronik bahkan belum menyentuh 2 persen dari total laporan. Namun,  hanya dalam satu tahun, grafiknya melonjak drastis: pada 2020, porsi aduan e commerce menembus lebih dari 23 persen. Tren ini terus berlanjut, hingga pada  2024 perdagangan melalui sistem elektronik resmi menjadi “primadona” aduan  konsumen di BPKN. 

Kementerian Perdagangan mencatat hal serupa. Sejak 2022, lebih dari 20 ribu  pengaduan konsumen masuk ke meja mereka, dan hampir 93 persennya berkaitan  langsung dengan aktivitas belanja online. Angka tersebut sejatinya hanyalah  puncak gunung es. Tak sedikit konsumen yang memilih diam, pasrah, atau enggan  melapor meski dirugikan.  

Di kelas perjanjian, dosen saya pernah berkata, “Kontrak adalah jembatan antara  kepentingan dua pihak. Jika jembatan itu rapuh, maka yang jatuh pertama adalah  mereka yang posisinya paling lemah.” Kalimat itu terus terngiang di kepala saya,  terutama ketika melihat betapa mudahnya konsumen terjerumus dalam jebakan  digital. 

Di dunia nyata, rapuhnya jembatan kontraktual itu tampak jelas. Persyaratan  layanan yang panjang dan berliku jarang terbaca tuntas. Promosi dirancang  sedemikian rupa untuk memikat tanpa memberi ruang berpikir kritis. Bahkan,  dark pattern—strategi desain yang sengaja dipasang untuk mengarahkan  pilihan—masih banyak digunakan. Pada akhirnya, konsumenlah yang paling  rentan jatuh ke lubang kerugian. 

​Hak Konsumen di Era Digital 

Era digital memang menawarkan efisiensi dan kemudahan hanya dengan sekali  klik. Namun, di balik kemudahan itu tersembunyi ketidakseimbangan kekuatan  yang nyata. Pelaku usaha memiliki teknologi, modal, dan algoritma; sementara  konsumen hanya berbekal kepercayaan. Ketika kontrak tidak lagi berfungsi  sebagai jembatan yang kokoh, melainkan sekadar formalitas sepihak, maka  ungkapan dosen saya itu berubah menjadi kenyataan pahit yang dirasakan jutaan  orang.

Di sinilah hukum seharusnya hadir. Perlindungan konsumen bukan sekadar norma  abstrak dalam pasal undang-undang, melainkan kebutuhan riil di tengah  masyarakat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999  sebenarnya telah menegaskan hak-hak konsumen: hak atas kenyamanan,  keamanan, dan keselamatan; hak untuk didengar pendapat serta keluhannya;  hingga hak atas kompensasi jika produk tidak sesuai. Sayangnya, implementasi di  ranah digital masih jauh dari ideal. 

Dalam transaksi elektronik, posisi konsumen hampir selalu lebih lemah dibanding  pelaku usaha yang memegang kendali sistem. Inilah yang dalam hukum disebut  sebagai ketidakseimbangan kontraktual. Seorang konsumen hanya bisa menekan  tombol “setuju,” tanpa ruang tawar-menawar. Padahal, asas keseimbangan dalam  hukum perdata menuntut agar kontrak tidak boleh menindas salah satu pihak. 

Dan jika merujuk kembali pada kalimat dosen saya: kontrak memang jembatan  antara kepentingan. Tetapi dalam ekosistem digital hari ini, jembatan itu kerap  rapuh. Dan pihak yang pertama kali jatuh, nyatanya selalu konsumen. 

Peran Bank Indonesia: Menjaga Kepercayaan, Melindungi Konsumen 

Di balik tantangan itu, negara tak tinggal diam. Bank Indonesia sebagai otoritas  sistem pembayaran, mengambil peran penting dalam melindungi konsumen di era  digital. Banyak orang mengenal BI hanya sebatas penerbit uang Rupiah, padahal  lebih dari itu, BI menjaga kepercayaan publik terhadap sistem pembayaran yang  kita gunakan setiap hari. Inovasi seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian  Standard) adalah contoh nyata. Dengan QRIS, konsumen bisa bertransaksi di  warung kecil hingga pusat perbelanjaan besar hanya lewat ponsel. Namun di balik  kemudahannya, BI menetapkan standar keamanan, mekanisme pengawasan, dan  prosedur perlindungan agar konsumen tidak dirugikan. 

Saya masih ingat, suatu kali saya membayar dengan QRIS di sebuah warung kecil  di Kendari. Pedagang tersenyum lega karena uangnya langsung tercatat di  rekening tanpa perlu khawatir tentang uang palsu, sementara saya merasa aman  karena dana tercatat di sistem perbankan. Hal sederhana ini menunjukkan betapa  pentingnya perlindungan konsumen sebagai fondasi kepercayaan. Tanpa perlindungan, ekosistem digital bisa runtuh. Dengan perlindungan, transaksi justru  berkembang menjadi tulang punggung ekonomi yang tangguh. 

Sebagai lulusan hukum perdata, saya belajar bahwa hukum bukan sekadar teks di  lembar undang-undang, melainkan napas yang memberi rasa aman dalam  kehidupan sehari-hari. Perlindungan konsumen adalah wujud nyata hadirnya  negara di tengah masyarakat. Sayangnya, literasi hukum dan keuangan  masyarakat masih lemah, sementara implementasi perlindungan konsumen di  lapangan belum selalu berpihak pada konsumen. 

Saya sering membayangkan, bagaimana jika literasi hukum dan literasi keuangan  lebih kuat tertanam sejak dini? Bayangkan anak-anak muda yang tidak hanya lihai  menggunakan e-wallet, tapi juga paham hak-haknya sebagai konsumen digital.  Bayangkan UMKM yang bukan hanya melek teknologi, tapi juga tahu  kewajibannya menjaga kualitas produk agar tidak merugikan pelanggan. 

Inilah tantangan kita: membangun generasi konsumen cerdas dan produsen  bertanggung jawab. Melindungi konsumen bukan sekadar kewajiban hukum,  melainkan investasi sosial. Konsumen yang merasa aman akan terus bertransaksi,  dan transaksi yang sehat akan menggerakkan roda ekonomi. Sebagaimana TNI  menjaga kedaulatan dengan senjata, Bank Indonesia menjaga kedaulatan ekonomi  dengan sistem pembayaran yang andal. Rupiah bukan sekadar alat tukar, tapi  simbol kepercayaan. Dan kepercayaan itu hanya tumbuh jika konsumen  terlindungi. 

Kini, setiap kali saya menekan tombol “setuju” di layar ponsel, saya tak lagi  menganggapnya sekadar formalitas. Bagi saya, itu adalah pengingat bahwa  kontrak lahir bahkan dari satu sentuhan jari. Dan kontrak itu harus adil, harus  aman, harus melindungi. Sebab pada akhirnya, klik jempol kita hari ini adalah  kontrak masa depan. Ketika konsumen terlindungi, Indonesia tak hanya  bertransaksi, namun juga bertumbuh. 

Saya menutup catatan ini dengan keyakinan: 

Jika konsumen Indonesia terlindungi, maka ekonomi kita bukan hanya tumbuh, 

tetapi juga tangguh. Karena pada hakikatnya, ekonomi yang sehat adalah  ekonomi yang adil bagi semua pihak.



Lampiran
Kontak

​​Contact Center Bank Indonesia Bicara: (62 21) 131

e-mail : bicara@bi.go.id
​Jam operasional Senin s.d. Jumat Pkl. 08.00 s.d 16.00 WIB​​
Halaman ini terakhir diperbarui 11/24/2025 9:40 AM
Apakah halaman ini bermanfaat?
Terima Kasih! Apakah Anda ingin memberikan rincian lebih detail?
Tag :

Baca Juga