“Pernahkah kamu membeli barang secara online hanya karena tergoda diskon besar-besaran, lalu menyesal karena barang yang datang tak sesuai gambar?” Saya pernah. Pengalaman itu terjadi awal tahun lalu. Saat itu saya masih mahasiswa hukum tingkat akhir, sibuk dengan skripsi yang menumpuk. Di tengah rasa penat, sebuah iklan diskon besar-besaran lewat begitu saja di layar ponsel saya. Tanpa pikir panjang, saya menekan tombol “beli”. Syarat dan ketentuan yang panjangnya berlembar-lembar hanya saya gulir cepat. Dalam hitungan hari barang pun datang, tetapi kualitasnya jauh dari ekspektasi. Saya mencoba mengajukan komplain, namun jawaban yang datang dingin dan kaku: “Sesuai ketentuan, barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.”
Di titik itu, saya terdiam. Saya tahu benar bahwa setiap perjanjian lahir dari kesepakatan yang seimbang. Ada asas keadilan yang seharusnya melindungi pihak yang lemah. Namun pengalaman pribadi ini justru memperlihatkan kenyataan lain: sebuah klik di layar ponsel ternyata bisa menjadi kontrak yang mengikat, dan tak jarang menempatkan konsumen dalam posisi yang rentan apabila tidak teliti.
Hukum perdata selalu mengajarkan bahwa kontrak terbentuk ketika ada kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Dulu kontrak lahir lewat pena, tanda tangan, dan materai. Kini, kontrak hadir dalam bentuk digital yang nyaris tak kasat mata. Ia berwujud tombol setuju, dalam bentuk terms and conditions yang panjangnya berlembar-lembar, dan notifikasi yang muncul seketika. Ironinya, hampir tak ada konsumen yang membaca seluruhnya, tetapi begitu mereka menekan tombol itu, hukum pun bekerja.
Inilah wajah baru transaksi. Era digital menghadirkan kemudahan, tapi juga celah. Kasus penipuan online, penyalahgunaan data pribadi, barang palsu, hingga jebakan dark pattern yang sengaja dirancang untuk memanipulasi pilihan konsumen, menjadi fenomena sehari-hari.
Lima tahun terakhir, dinamika perlindungan konsumen di Indonesia semakin sarat dengan kisah dari dunia digital. Data Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN) memperlihatkan lonjakan yang mencolok. Pada 2017–2019, aduan terkait transaksi elektronik bahkan belum menyentuh 2 persen dari total laporan. Namun, hanya dalam satu tahun, grafiknya melonjak drastis: pada 2020, porsi aduan e commerce menembus lebih dari 23 persen. Tren ini terus berlanjut, hingga pada 2024 perdagangan melalui sistem elektronik resmi menjadi “primadona” aduan konsumen di BPKN.
Kementerian Perdagangan mencatat hal serupa. Sejak 2022, lebih dari 20 ribu pengaduan konsumen masuk ke meja mereka, dan hampir 93 persennya berkaitan langsung dengan aktivitas belanja online. Angka tersebut sejatinya hanyalah puncak gunung es. Tak sedikit konsumen yang memilih diam, pasrah, atau enggan melapor meski dirugikan.
Di kelas perjanjian, dosen saya pernah berkata, “Kontrak adalah jembatan antara kepentingan dua pihak. Jika jembatan itu rapuh, maka yang jatuh pertama adalah mereka yang posisinya paling lemah.” Kalimat itu terus terngiang di kepala saya, terutama ketika melihat betapa mudahnya konsumen terjerumus dalam jebakan digital.
Di dunia nyata, rapuhnya jembatan kontraktual itu tampak jelas. Persyaratan layanan yang panjang dan berliku jarang terbaca tuntas. Promosi dirancang sedemikian rupa untuk memikat tanpa memberi ruang berpikir kritis. Bahkan, dark pattern—strategi desain yang sengaja dipasang untuk mengarahkan pilihan—masih banyak digunakan. Pada akhirnya, konsumenlah yang paling rentan jatuh ke lubang kerugian.
Hak Konsumen di Era Digital
Era digital memang menawarkan efisiensi dan kemudahan hanya dengan sekali klik. Namun, di balik kemudahan itu tersembunyi ketidakseimbangan kekuatan yang nyata. Pelaku usaha memiliki teknologi, modal, dan algoritma; sementara konsumen hanya berbekal kepercayaan. Ketika kontrak tidak lagi berfungsi sebagai jembatan yang kokoh, melainkan sekadar formalitas sepihak, maka ungkapan dosen saya itu berubah menjadi kenyataan pahit yang dirasakan jutaan orang.
Di sinilah hukum seharusnya hadir. Perlindungan konsumen bukan sekadar norma abstrak dalam pasal undang-undang, melainkan kebutuhan riil di tengah masyarakat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 sebenarnya telah menegaskan hak-hak konsumen: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan; hak untuk didengar pendapat serta keluhannya; hingga hak atas kompensasi jika produk tidak sesuai. Sayangnya, implementasi di ranah digital masih jauh dari ideal.
Dalam transaksi elektronik, posisi konsumen hampir selalu lebih lemah dibanding pelaku usaha yang memegang kendali sistem. Inilah yang dalam hukum disebut sebagai ketidakseimbangan kontraktual. Seorang konsumen hanya bisa menekan tombol “setuju,” tanpa ruang tawar-menawar. Padahal, asas keseimbangan dalam hukum perdata menuntut agar kontrak tidak boleh menindas salah satu pihak.
Dan jika merujuk kembali pada kalimat dosen saya: kontrak memang jembatan antara kepentingan. Tetapi dalam ekosistem digital hari ini, jembatan itu kerap rapuh. Dan pihak yang pertama kali jatuh, nyatanya selalu konsumen.
Peran Bank Indonesia: Menjaga Kepercayaan, Melindungi Konsumen
Di balik tantangan itu, negara tak tinggal diam. Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran, mengambil peran penting dalam melindungi konsumen di era digital. Banyak orang mengenal BI hanya sebatas penerbit uang Rupiah, padahal lebih dari itu, BI menjaga kepercayaan publik terhadap sistem pembayaran yang kita gunakan setiap hari. Inovasi seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah contoh nyata. Dengan QRIS, konsumen bisa bertransaksi di warung kecil hingga pusat perbelanjaan besar hanya lewat ponsel. Namun di balik kemudahannya, BI menetapkan standar keamanan, mekanisme pengawasan, dan prosedur perlindungan agar konsumen tidak dirugikan.
Saya masih ingat, suatu kali saya membayar dengan QRIS di sebuah warung kecil di Kendari. Pedagang tersenyum lega karena uangnya langsung tercatat di rekening tanpa perlu khawatir tentang uang palsu, sementara saya merasa aman karena dana tercatat di sistem perbankan. Hal sederhana ini menunjukkan betapa pentingnya perlindungan konsumen sebagai fondasi kepercayaan. Tanpa perlindungan, ekosistem digital bisa runtuh. Dengan perlindungan, transaksi justru berkembang menjadi tulang punggung ekonomi yang tangguh.
Sebagai lulusan hukum perdata, saya belajar bahwa hukum bukan sekadar teks di lembar undang-undang, melainkan napas yang memberi rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Perlindungan konsumen adalah wujud nyata hadirnya negara di tengah masyarakat. Sayangnya, literasi hukum dan keuangan masyarakat masih lemah, sementara implementasi perlindungan konsumen di lapangan belum selalu berpihak pada konsumen.
Saya sering membayangkan, bagaimana jika literasi hukum dan literasi keuangan lebih kuat tertanam sejak dini? Bayangkan anak-anak muda yang tidak hanya lihai menggunakan e-wallet, tapi juga paham hak-haknya sebagai konsumen digital. Bayangkan UMKM yang bukan hanya melek teknologi, tapi juga tahu kewajibannya menjaga kualitas produk agar tidak merugikan pelanggan.
Inilah tantangan kita: membangun generasi konsumen cerdas dan produsen bertanggung jawab. Melindungi konsumen bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan investasi sosial. Konsumen yang merasa aman akan terus bertransaksi, dan transaksi yang sehat akan menggerakkan roda ekonomi. Sebagaimana TNI menjaga kedaulatan dengan senjata, Bank Indonesia menjaga kedaulatan ekonomi dengan sistem pembayaran yang andal. Rupiah bukan sekadar alat tukar, tapi simbol kepercayaan. Dan kepercayaan itu hanya tumbuh jika konsumen terlindungi.
Kini, setiap kali saya menekan tombol “setuju” di layar ponsel, saya tak lagi menganggapnya sekadar formalitas. Bagi saya, itu adalah pengingat bahwa kontrak lahir bahkan dari satu sentuhan jari. Dan kontrak itu harus adil, harus aman, harus melindungi. Sebab pada akhirnya, klik jempol kita hari ini adalah kontrak masa depan. Ketika konsumen terlindungi, Indonesia tak hanya bertransaksi, namun juga bertumbuh.
Saya menutup catatan ini dengan keyakinan:
Jika konsumen Indonesia terlindungi, maka ekonomi kita bukan hanya tumbuh,
tetapi juga tangguh. Karena pada hakikatnya, ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang adil bagi semua pihak.