Cerita BI

BI Icon

Departemen Komunikasi

11/13/2025 2:00 PM
Hits: 93

Catatan Perjalanan Seorang Sahabat

​​“Kalau bukan kita yang hati-hati, siapa lagi? Musuh terbesar dalam dunia digital itu  bukan komputer, tapi manusia yang ceroboh!” celetuk sahabat aku, Nurul Yulia  Sari atau kerap disapa Nurul, sambil menyalakan wiper mobil di tengah hujan deras  sore itu. 

Saya terkekeh mendengarnya, tetapi sekaligus merenung. Betul juga ucapan  sahabat saya itu. Hari itu kami sedang dalam perjalanan menuju sebuah sekolah  menengah di Kabupaten Solok Selatan untuk memberikan edukasi sederhana  tentang literasi keuangan digital kepada para siswa. Sejak beberapa bulan terakhir,  saya dan Nurul memang kerap diminta oleh komunitas maupun lembaga untuk  berbagi pengalaman di sekolah maupun perguruan tinggi tentang bagaimana  mengelola keuangan dan menghindari jebakan kejahatan siber yang makin marak. 

Perjalanan sejauh 170 kilometer itu terasa cukup jauh, apalagi jalanan yang berliku  ditambah licin karena hujan. Namun semangat kami tetap menyala, sebab di ujung  perjalanan nanti ada puluhan remaja yang menunggu cerita-cerita kami. Kami  percaya, mereka adalah generasi yang kelak akan lebih sering bersentuhan dengan  dunia digital ketimbang uang kertas. Maka, bekal pengetahuan tentang keamanan  siber menjadi sangat penting. 

Titik Lemah yang Sering Terabaikan 

“Mas, coba bayangkan, masa ada orang sampai transfer 50 juta gara-gara ditelepon  orang tak dikenal dan disuruh ikuti instruksinya?” tanya Nurul sambil menatap  jalanan. 

Saya mengangguk, teringat beberapa kisah nyata yang sempat viral di media sosial.  Seringkali kasus penipuan digital bukan disebabkan kecanggihan teknologi pelaku,  melainkan kelengahan korban. Mereka dengan sukarela memberikan data pribadi,  membuka file mencurigakan, atau menggunakan kata sandi yang sangat mudah  ditebak.

Menurut laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2023, lebih dari 80%  serangan siber di Indonesia bermula dari human error. Angka ini membuktikan  bahwa pelaku tak perlu menjadi hacker ulung. Cukup memancing rasa ingin tahu  atau rasa takut korban, maka data pribadi bisa dengan mudah bocor. 

Itulah sebabnya, di setiap sesi edukasi kami selalu menekankan bahwa kesadaran  diri jauh lebih penting. Password yang kuat, penggunaan otentikasi dua faktor, serta  kebiasaan tidak sembarangan klik tautan atau mengunduh file adalah tameng  pertama. 

Memahami Produk Keuangan, Tidak Sekadar Menggunakan Setibanya di sekolah, kami disambut hangat oleh kepala sekolah. Setelah sedikit  berbincang, kami pun masuk ke aula sederhana tempat siswa-siswa telah  berkumpul. 

“Anak-anak, siapa di sini yang sudah punya dompet digital?” tanya saya. 

Sekitar 80% siswa mengangkat tangan. Ada yang memakai OVO, GoPay, Dana,  hingga ShopeePay. Fenomena ini sudah bisa ditebak. Generasi muda lebih cepat  beradaptasi dengan teknologi keuangan. Namun, apakah mereka benar-benar  memahami produk yang mereka gunakan? 

Saya kemudian melanjutkan, “Kalau kalian top up saldo, tahu tidak ada biaya  tambahan berapa? Kalau transfer ke bank, berapa biayanya? Atau, kalau saldo  kalian di-hack, siapa yang bertanggung jawab?” 

Suasana aula hening. Beberapa anak mulai saling pandang. Nurul tersenyum lalu  menambahkan, “Itu dia masalahnya. Banyak orang paham cara menggunakan, tapi  tidak paham risiko, biaya, maupun fitur produk keuangan itu sendiri.” 

Dalam literasi keuangan, memahami produk adalah langkah penting. Kita harus  tahu manfaat, risiko, biaya, dan cara penggunaan. Misalnya, manfaat dompet digital 

adalah mempermudah transaksi. Risikonya? Jika ponsel hilang dan tidak diberi  password, saldo bisa dikuras. Biayanya? Ada biaya administrasi tertentu. Fitur fiturnya? Ada cashback, transfer, hingga paylater. 

Semua itu harus dipahami sejak awal. Tanpa pemahaman yang utuh, kita ibarat  mengendarai mobil tanpa tahu cara mengerem. 

Mengenali Modus Fraud dan Scam 

“Mas, ceritakan lagi soal social engineering itu,” bisik Nurul sambil menyodorkan  mic ke saya. Saya pun mulai membuka cerita tentang berbagai modus kejahatan  digital yang sering terjadi. Social engineering adalah seni memanipulasi orang agar  memberikan informasi rahasia. Contoh klasiknya adalah telepon dari “pihak bank”  yang meminta OTP. 

Selain itu ada phishing, yakni penipuan lewat tautan palsu yang tampak seperti situs  resmi. Ada juga malware, program berbahaya yang masuk lewat aplikasi bajakan  atau file mencurigakan. Saya memperlihatkan slide berisi tangkapan layar situs  palsu yang meniru login internet banking dan meminta mereka mencari  perbedaanya. Sontak para siswa bergumam, “Mirip banget aslinya!”. Dan setelah  sekian lama, baru ada siswa yang menemukan perbedaanya. Yup, selain linknya  yang berbeda 1 huruf, juga beberapa tombol yang tidak aktif setelah dicoba. 

Nurul lalu menimpali, “Nah, kalau kalian tidak hati-hati, bisa jadi uang tabungan  kalian raib hanya dalam hitungan menit.”. Kami sengaja menyampaikan dengan  gaya bercerita agar mereka mudah mencerna. Sebab, menurut kami, literasi  keuangan tidak cukup hanya lewat teori. Harus ada contoh nyata yang membuat  orang merasa “wah, ini bisa terjadi padaku juga.” 

Peran Regulator dan Otoritas 

Usai sesi pertama, kami rehat sejenak. Sambil meneguk segelas teh hangat, Nurul kembali berkomentar, “Mas, sebenarnya anak-anak itu perlu tahu juga siapa yang  mengawasi semua ini.”

Betul sekali. Banyak orang mengira jika ada masalah dengan dompet digital atau  rekening bank, mereka tidak tahu harus lapor ke mana. Maka, di sesi kedua kami  menjelaskan tentang peran regulator dan otoritas, diantaranya adalah Bank  Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Bank Indonesia bertugas menjaga stabilitas sistem pembayaran, termasuk mengatur  dan mengawasi penyelenggara dompet digital. Sementara OJK berperan  mengawasi lembaga keuangan seperti bank, asuransi, dan multifinance. 

Kami juga menekankan bahwa selain BI dan OJK, ada BSSN yang mengurusi  keamanan siber dan instansi lainnya terkait dengan pengawasan produk yang  membidanginya. Masyarakat harus tahu bahwa negara sebenarnya hadir melalui  lembaga-lembaga ini. Namun, tentu saja, lembaga tersebut tidak bisa melindungi  setiap individu satu per satu. Kesadaran pribadi tetap menjadi benteng utama. 

Jika Terlanjur Menjadi Korban 

Seorang siswa tiba-tiba bertanya, “Pak, kalau kita sudah jadi korban, harus  bagaimana?” Saya dan Nurul berpandangan, lalu saya menjawab, “Pertama, jangan  panik. Segera lapor ke penyelenggara jasa, misalnya bank atau dompet digital yang  kalian pakai. Biasanya ada call center resmi. Kedua, kalau tidak terselesaikan,  laporkan ke regulator, misalnya ke BI atau OJK. Jangan malah diam atau cuma  curhat di media sosial.” 

Nurul menambahkan, “Ada juga situs resmi aduan seperti kanal pengaduan BI dan  OJK atau misalnya www.lapor.go.id milik SP4N. Ingat, semakin cepat dilaporkan,  semakin besar peluang uang kalian bisa diselamatkan.” 

Kami menjelaskan pula bahwa dalam beberapa kasus, kerugian memang tidak bisa  diganti sepenuhnya. Namun setidaknya laporan tersebut menjadi data penting bagi  otoritas untuk menindak pelaku dan memperbaiki sistem pengawasan. 

Refleksi di Perjalanan Pulang

Sore menjelang malam, kami pun meninggalkan sekolah itu dengan hati lega. Di  perjalanan pulang, jalanan masih basah oleh hujan. Nurul tampak tersenyum puas. “Mas, tahu gak, tadi aku lihat anak-anak itu mulai was-was pas kita cerita soal  phishing. Itu bagus, artinya mereka sudah mulai sadar,” ujarnya. 

Saya hanya mengangguk sambil menatap jalanan. Dalam hati saya sadar,  perjuangan melawan kejahatan siber memang tidak mudah. Serangan akan selalu  ada, dengan modus yang semakin canggih. Namun, selama ada kesadaran dari  masyarakat, peluang untuk bertahan akan selalu terbuka. 

Kami berdua kemudian berbicara tentang mimpi lebih besar: suatu saat nanti,  literasi keuangan digital bukan hanya jadi materi tambahan, melainkan bagian  kurikulum resmi di sekolah. Sebab, di era digital, kemampuan mengelola uang  sekaligus melindunginya dari ancaman siber sama pentingnya dengan kemampuan  membaca dan berhitung. 

Penutup 

Dalam dunia yang serba digital ini, uang dan data pribadi adalah aset yang sangat  berharga. Sayangnya, justru kelengahan manusialah yang paling sering  dimanfaatkan penjahat. Oleh karena itu, setiap individu perlu membekali diri  dengan empat hal penting: 

1. Waspada terhadap human error. Jangan mudah membagikan data  pribadi, gunakan password kuat, aktifkan otentikasi dua faktor. 2. Pahami produk keuangan. Kenali manfaat, risiko, biaya, dan fitur  sebelum menggunakannya. 

3. Kenali modus penipuan digital. Mulai dari social engineering, phishing,  hingga malware. 

4. Ketahui peran regulator. BI, OJK, dan BSSN adalah otoritas yang bisa  dijadikan tempat aduan jika terjadi masalah. 

Dan yang paling penting, jika terlanjur menjadi korban, jangan diam. Segera lapor  ke penyelenggara jasa, dan jika tidak terselesaikan, lanjutkan ke regulator.

Di akhir perjalanan itu, Nurul kembali mengucapkan kalimat pemacu semangatnya: 

“Selama kita masih mau belajar dan berbagi, selalu ada harapan. Karena satu  orang yang sadar bisa menyelamatkan ratusan orang lain dari jerat penipuan.” 

Saya tersenyum mendengarnya, sambil berharap suatu saat nanti semakin banyak  pejuang literasi digital yang lahir dari generasi muda bangsa ini.



Lampiran
Kontak

Contact Center Bank Indonesia Bicara: (62 21) 131
e-mail : bicara@bi.go.id​
​​​​Jam operasional Senin s.d. Jumat Pkl. 08.00 s.d 16.00 WIB

Halaman ini terakhir diperbarui 11/13/2025 5:00 PM
Apakah halaman ini bermanfaat?
Terima Kasih! Apakah Anda ingin memberikan rincian lebih detail?
Tag :

Baca Juga