Saya terkekeh mendengarnya, tetapi sekaligus merenung. Betul juga ucapan sahabat saya itu. Hari itu kami sedang dalam perjalanan menuju sebuah sekolah menengah di Kabupaten Solok Selatan untuk memberikan edukasi sederhana tentang literasi keuangan digital kepada para siswa. Sejak beberapa bulan terakhir, saya dan Nurul memang kerap diminta oleh komunitas maupun lembaga untuk berbagi pengalaman di sekolah maupun perguruan tinggi tentang bagaimana mengelola keuangan dan menghindari jebakan kejahatan siber yang makin marak.
Perjalanan sejauh 170 kilometer itu terasa cukup jauh, apalagi jalanan yang berliku ditambah licin karena hujan. Namun semangat kami tetap menyala, sebab di ujung perjalanan nanti ada puluhan remaja yang menunggu cerita-cerita kami. Kami percaya, mereka adalah generasi yang kelak akan lebih sering bersentuhan dengan dunia digital ketimbang uang kertas. Maka, bekal pengetahuan tentang keamanan siber menjadi sangat penting.
Titik Lemah yang Sering Terabaikan
“Mas, coba bayangkan, masa ada orang sampai transfer 50 juta gara-gara ditelepon orang tak dikenal dan disuruh ikuti instruksinya?” tanya Nurul sambil menatap jalanan.
Saya mengangguk, teringat beberapa kisah nyata yang sempat viral di media sosial. Seringkali kasus penipuan digital bukan disebabkan kecanggihan teknologi pelaku, melainkan kelengahan korban. Mereka dengan sukarela memberikan data pribadi, membuka file mencurigakan, atau menggunakan kata sandi yang sangat mudah ditebak.
Menurut laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2023, lebih dari 80% serangan siber di Indonesia bermula dari human error. Angka ini membuktikan bahwa pelaku tak perlu menjadi hacker ulung. Cukup memancing rasa ingin tahu atau rasa takut korban, maka data pribadi bisa dengan mudah bocor.
Itulah sebabnya, di setiap sesi edukasi kami selalu menekankan bahwa kesadaran diri jauh lebih penting. Password yang kuat, penggunaan otentikasi dua faktor, serta kebiasaan tidak sembarangan klik tautan atau mengunduh file adalah tameng pertama.
Memahami Produk Keuangan, Tidak Sekadar Menggunakan Setibanya di sekolah, kami disambut hangat oleh kepala sekolah. Setelah sedikit berbincang, kami pun masuk ke aula sederhana tempat siswa-siswa telah berkumpul.
“Anak-anak, siapa di sini yang sudah punya dompet digital?” tanya saya.
Sekitar 80% siswa mengangkat tangan. Ada yang memakai OVO, GoPay, Dana, hingga ShopeePay. Fenomena ini sudah bisa ditebak. Generasi muda lebih cepat beradaptasi dengan teknologi keuangan. Namun, apakah mereka benar-benar memahami produk yang mereka gunakan?
Saya kemudian melanjutkan, “Kalau kalian top up saldo, tahu tidak ada biaya tambahan berapa? Kalau transfer ke bank, berapa biayanya? Atau, kalau saldo kalian di-hack, siapa yang bertanggung jawab?”
Suasana aula hening. Beberapa anak mulai saling pandang. Nurul tersenyum lalu menambahkan, “Itu dia masalahnya. Banyak orang paham cara menggunakan, tapi tidak paham risiko, biaya, maupun fitur produk keuangan itu sendiri.”
Dalam literasi keuangan, memahami produk adalah langkah penting. Kita harus tahu manfaat, risiko, biaya, dan cara penggunaan. Misalnya, manfaat dompet digital
adalah mempermudah transaksi. Risikonya? Jika ponsel hilang dan tidak diberi password, saldo bisa dikuras. Biayanya? Ada biaya administrasi tertentu. Fitur fiturnya? Ada cashback, transfer, hingga paylater.
Semua itu harus dipahami sejak awal. Tanpa pemahaman yang utuh, kita ibarat mengendarai mobil tanpa tahu cara mengerem.
Mengenali Modus Fraud dan Scam
“Mas, ceritakan lagi soal social engineering itu,” bisik Nurul sambil menyodorkan mic ke saya. Saya pun mulai membuka cerita tentang berbagai modus kejahatan digital yang sering terjadi. Social engineering adalah seni memanipulasi orang agar memberikan informasi rahasia. Contoh klasiknya adalah telepon dari “pihak bank” yang meminta OTP.
Selain itu ada phishing, yakni penipuan lewat tautan palsu yang tampak seperti situs resmi. Ada juga malware, program berbahaya yang masuk lewat aplikasi bajakan atau file mencurigakan. Saya memperlihatkan slide berisi tangkapan layar situs palsu yang meniru login internet banking dan meminta mereka mencari perbedaanya. Sontak para siswa bergumam, “Mirip banget aslinya!”. Dan setelah sekian lama, baru ada siswa yang menemukan perbedaanya. Yup, selain linknya yang berbeda 1 huruf, juga beberapa tombol yang tidak aktif setelah dicoba.
Nurul lalu menimpali, “Nah, kalau kalian tidak hati-hati, bisa jadi uang tabungan kalian raib hanya dalam hitungan menit.”. Kami sengaja menyampaikan dengan gaya bercerita agar mereka mudah mencerna. Sebab, menurut kami, literasi keuangan tidak cukup hanya lewat teori. Harus ada contoh nyata yang membuat orang merasa “wah, ini bisa terjadi padaku juga.”
Peran Regulator dan Otoritas
Usai sesi pertama, kami rehat sejenak. Sambil meneguk segelas teh hangat, Nurul kembali berkomentar, “Mas, sebenarnya anak-anak itu perlu tahu juga siapa yang mengawasi semua ini.”
Betul sekali. Banyak orang mengira jika ada masalah dengan dompet digital atau rekening bank, mereka tidak tahu harus lapor ke mana. Maka, di sesi kedua kami menjelaskan tentang peran regulator dan otoritas, diantaranya adalah Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank Indonesia bertugas menjaga stabilitas sistem pembayaran, termasuk mengatur dan mengawasi penyelenggara dompet digital. Sementara OJK berperan mengawasi lembaga keuangan seperti bank, asuransi, dan multifinance.
Kami juga menekankan bahwa selain BI dan OJK, ada BSSN yang mengurusi keamanan siber dan instansi lainnya terkait dengan pengawasan produk yang membidanginya. Masyarakat harus tahu bahwa negara sebenarnya hadir melalui lembaga-lembaga ini. Namun, tentu saja, lembaga tersebut tidak bisa melindungi setiap individu satu per satu. Kesadaran pribadi tetap menjadi benteng utama.
Jika Terlanjur Menjadi Korban
Seorang siswa tiba-tiba bertanya, “Pak, kalau kita sudah jadi korban, harus bagaimana?” Saya dan Nurul berpandangan, lalu saya menjawab, “Pertama, jangan panik. Segera lapor ke penyelenggara jasa, misalnya bank atau dompet digital yang kalian pakai. Biasanya ada call center resmi. Kedua, kalau tidak terselesaikan, laporkan ke regulator, misalnya ke BI atau OJK. Jangan malah diam atau cuma curhat di media sosial.”
Nurul menambahkan, “Ada juga situs resmi aduan seperti kanal pengaduan BI dan OJK atau misalnya www.lapor.go.id milik SP4N. Ingat, semakin cepat dilaporkan, semakin besar peluang uang kalian bisa diselamatkan.”
Kami menjelaskan pula bahwa dalam beberapa kasus, kerugian memang tidak bisa diganti sepenuhnya. Namun setidaknya laporan tersebut menjadi data penting bagi otoritas untuk menindak pelaku dan memperbaiki sistem pengawasan.
Refleksi di Perjalanan Pulang
Sore menjelang malam, kami pun meninggalkan sekolah itu dengan hati lega. Di perjalanan pulang, jalanan masih basah oleh hujan. Nurul tampak tersenyum puas. “Mas, tahu gak, tadi aku lihat anak-anak itu mulai was-was pas kita cerita soal phishing. Itu bagus, artinya mereka sudah mulai sadar,” ujarnya.
Saya hanya mengangguk sambil menatap jalanan. Dalam hati saya sadar, perjuangan melawan kejahatan siber memang tidak mudah. Serangan akan selalu ada, dengan modus yang semakin canggih. Namun, selama ada kesadaran dari masyarakat, peluang untuk bertahan akan selalu terbuka.
Kami berdua kemudian berbicara tentang mimpi lebih besar: suatu saat nanti, literasi keuangan digital bukan hanya jadi materi tambahan, melainkan bagian kurikulum resmi di sekolah. Sebab, di era digital, kemampuan mengelola uang sekaligus melindunginya dari ancaman siber sama pentingnya dengan kemampuan membaca dan berhitung.
Penutup
Dalam dunia yang serba digital ini, uang dan data pribadi adalah aset yang sangat berharga. Sayangnya, justru kelengahan manusialah yang paling sering dimanfaatkan penjahat. Oleh karena itu, setiap individu perlu membekali diri dengan empat hal penting:
1. Waspada terhadap human error. Jangan mudah membagikan data pribadi, gunakan password kuat, aktifkan otentikasi dua faktor. 2. Pahami produk keuangan. Kenali manfaat, risiko, biaya, dan fitur sebelum menggunakannya.
3. Kenali modus penipuan digital. Mulai dari social engineering, phishing, hingga malware.
4. Ketahui peran regulator. BI, OJK, dan BSSN adalah otoritas yang bisa dijadikan tempat aduan jika terjadi masalah.
Dan yang paling penting, jika terlanjur menjadi korban, jangan diam. Segera lapor ke penyelenggara jasa, dan jika tidak terselesaikan, lanjutkan ke regulator.
Di akhir perjalanan itu, Nurul kembali mengucapkan kalimat pemacu semangatnya:
“Selama kita masih mau belajar dan berbagi, selalu ada harapan. Karena satu orang yang sadar bisa menyelamatkan ratusan orang lain dari jerat penipuan.”
Saya tersenyum mendengarnya, sambil berharap suatu saat nanti semakin banyak pejuang literasi digital yang lahir dari generasi muda bangsa ini.