No.20/51/DKom
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 28-29 Juni
2018 memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps
menjadi 5,25%, suku bunga Deposit
Facility sebesar 50
bps menjadi 4,50%, dan suku bunga Lending
Facility sebesar 50 bps menjadi 6,00%, berlaku efektif sejak 29 Juni
2018. Keputusan kenaikan suku
bunga tersebut merupakan langkah lanjutan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive, front-loading, dan ahead
of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara dan
ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Kebijakan tersebut tetap ditopang
dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valas dan di pasar
Surat Berharga Negara serta strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan
likuiditas khususnya di pasar uang Rupiah dan pasar swap antarbank. Bank
Indonesia meyakini sejumlah kebijakan
yang ditempuh tersebut dapat
memperkuat stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus
mencermati perkembangan dan prospek perekonomian baik domestik maupun global, untuk memperkuat respons bauran kebijakan yang perlu
ditempuh.
Bank
Indonesia juga menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui relaksasi Loan to Value Ratio (LTV)
guna menjaga momentum pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan dengan tetap memperhatikan aspek
kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Kebijakan diterapkan pada sektor properti dan berlaku 1 Agustus 2018 melalui
beberapa aspek yakni (i) pelonggaran rasio LTV untuk kredit properti dan rasio
FTV untuk pembiayaan properti, (ii) pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau
pembiayaan melalui mekanisme inden, serta (iii) penyesuaian pengaturan tahapan
dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. Kebijakan diharapkan dapat mendukung
kinerja sektor properti yang saat ini masih memiliki potensi akselerasi dan dampak pengganda cukup besar terhadap perekonomian
nasional
(Lampiran 1). Kebijakan makroprudensial ini
memperkuat kebijakan makroprudensial sebelumnya terkait Rasio Intermediasi
Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), yang
bertujuan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan dan memperkuat
manajemen likuiditas perbankan. Kebijakan makroprudensial juga bersinergi
dengan kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) Rata-rata Rupiah sebagai bagian dari
reformulasi kerangka operasional kebijakan moneter, yang juga bertujuan untuk
meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan dan mendorong
fungsi intermediasi perbankan, serta untuk mendukung upaya pendalaman pasar
keuangan. Ketiga
kebijakan tersebut akan berlaku mulai 16 Juli 2018 untuk perbankan konvensional dan mulai 1 Oktober 2018
untuk perbankan syariah (Lampiran 2 dan 3).
Perekonomian global ditandai likuiditas global yang mengetat dan ketidakpastian pasar keuangan tetap tinggi, ditengah kenaikan pertumbuhan ekonomi global 2018 yang diprakirakan terus
berlanjut. Pertumbuhan ekonomi global
2018 diperkirakan tetap mencapai 3,9%, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya
sebesar 3,8%, didorong berlanjutnya akselerasi ekonomi AS, masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Eropa serta tetap
tingginya pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Prospek pemulihan ekonomi global yang
membaik meningkatkan volume perdagangan dunia, yang kemudian berdampak pada harga komoditas
yang tetap kuat. Namun pada saat yang
sama, kondisi
likuiditas global mengetat dan ketidakpastian pasar keuangan global masih
tinggi dipicu oleh prakiraan kenaikan
FFR yang lebih agresif pasca FOMC Juni 2018 dan volatilitas imbal hasil surat utang AS
yang masih
tinggi. Ketidakpastian global yang masih tinggi juga
dipengaruhi kebijakan bank sentral Uni Eropa (ECB) yang menurunkan net pembelian aset, kebijakan bank sentral
Tiongkok (PBoC) yang menurunkan GWM, harga minyak yang naik, serta ketegangan
hubungan dagang AS-Tiongkok yang kembali meningkat.
Ketidakpastian tersebut pada gilirannya memicu penguatan mata uang dolar secara
global dan memicu pembalikan modal
dari negara berkembang sehingga memperlemah mata uang banyak negara, termasuk
Rupiah. Kondisi demikian memerlukan respons kebijakan yang tepat untuk
memelihara imbal hasil pasar
keuangan di negara berkembang agar tetap
menarik bagi investor.
Nilai tukar Rupiah pada Juni 2018 mendapat tekanan terutama sejak pertengahan bulan dipicu
penguatan dolar AS yang terjadi dalam skala global. Nilai tukar Rupiah sempat berada dalam tren
menguat sampai dengan pertengahan Juni 2018, bahkan sempat tercatat Rp13.853 per USD pada 6 Juni 2018 sebagai respons atas
kebijakan pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve
Bank
Indonesia pada akhir Mei 2018. Namun, perubahan
stance kebijakan the Fed pada FOMC pertengahan Juni 2018 yang lebih agresif, respons kebijakan bank sentral lain yang
berubah khususnya bank sentral Uni Eropa dan Tiongkok, serta ketidakpastian
pasar keuangan global yang kembali meningkat, memicu pelemahan hampir seluruh mata uang dunia tidak terkecuali Rupiah. Pada tanggal 28 Juni 2018, Rupiah tercatat Rp14.390 per USD, melemah 3,44% (ptp) dibandingkan dengan level akhir Mei
2018. Sementara dibandingkan dengan akhir Desember 2017, Rupiah melemah 5,72% (ytd), lebih rendah dibandingkan dengan
pelemahan mata uang negara berkembang lainnya seperti Filipina, India, Afrika Selatan, Brazil, dan
Turki. Ke depan, Bank Indonesia terus mewaspadai risiko
ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah
stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya
mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.
Inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran ditopang
oleh stabilnya harga pangan dan ekspektasi yang terjaga. Inflasi IHK pada Mei 2018 mencapai 0,21% (mtm),
meningkat dibandingkan inflasi bulan lalu sebesar 0,10% (mtm) seiring datangnya
bulan Ramadhan. Meskipun meningkat, inflasi IHK pada Mei 2018 secara historis lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata inflasi IHK bulan
Ramadhan empat tahun terakhir. Secara tahunan, inflasi mencapai 3,23%
(yoy), lebih rendah dari inflasi bulan lalu sebesar 3,41% (yoy).Terkendalinya
inflasi IHK didukung oleh stabilnya inflasi inti yang tidak terlepas dari
konsistensi kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi
inflasi, termasuk dalam menjaga pergerakan nilai tukar Rupiah agar sesuai
dengan fundamentalnya. Selain itu, kelompok volatile food mengalami
inflasi, namun lebih rendah dibandingkan dengan pola historis inflasi volatile food bulan Ramadhan. Hal
tersebut didukung terjaganya pasokan dan harga pangan global yang menurun.
Sementara itu, inflasi kelompok administered prices meningkat
bersumber dari tarif angkutan udara. Ke depan, inflasi diprakirakan tetap terkendali dan berada pada sasaran inflasi
2018, yaitu 3,5±1% (yoy). Koordinasi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia
dalam mengendalikan inflasi akan terus diperkuat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2018 tetap
baik
didukung oleh permintaan domestik. Pertumbuhan konsumsi rumah
tangga diperkirakan tetap terjaga didukung
perbaikan pendapatan dari stimulus
fiskal dan inflasi yang terjaga, serta kenaikan keyakinan konsumen menengah atas. Konsumsi yang kuat
tercermin dari penjualan kendaraan bermotor dan penjualan ritel yang membaik.
Sementara itu, investasi diperkirakan tetap kuat terutama didukung oleh
investasi bangunan swasta dan proyek infrastruktur, serta investasi
nonbangunan terkait infrastruktur dan pertambangan. Investasi yang tetap kuat tergambar
pada indikator penjualan semen dan alat berat yang
meningkat. Kuatnya permintaan domestik kemudian mendorong pertumbuhan impor,
khususnya impor barang modal dan bahan baku. Sementara itu, ekspor tetap tumbuh
seiring dengan perbaikan ekonomi global. Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan
pertumbuhan ekonomi 2018 tetap berada pada kisaran 5,1-5,5%.
Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 mencatat
defisit yang menurun didukung perbaikan neraca perdagangan nonmigas. Defisit neraca perdagangan Mei
2018 tercatat 1,52 miliar dolar AS, menurun
dibandingkan dengan defisit neraca perdagangan bulan sebelumnya sebesar 1,63
miliar dolar AS. Perbaikan tersebut didorong oleh penurunan defisit neraca
perdagangan nonmigas yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan defisit
neraca perdagangan migas. Neraca perdagangan nonmigas mencatat penurunan
defisit didukung oleh naiknya ekspor nonmigas, terutama didorong kenaikan
ekspor mesin dan peralatan listrik, bijih, kerak, dan abu logam, besi dan baja,
barang-barang rajutan, dan timah. Sementara itu, impor nonmigas juga mengalami
peningkatan seiring dengan kegiatan produksi dan investasi yang menguat. Secara
kumulatif Januari-Mei 2018, neraca perdagangan nonmigas masih mencatat surplus
yakni 2,20 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa pada Mei 2018 tercatat 122,9
miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 7,4 bulan impor atau 7,2 bulan impor
dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar
kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi
berjalan pada 2018 diprakirakan tetap
berada dalam batas yang aman yaitu tidak melebihi 3,0%
dari PDB.
Kondisi sistem keuangan tetap stabil disertai
intermediasi perbankan yang membaik. Stabilitas
sistem keuangan yang terjaga tercermin pada rasio kecukupan modal (Capital
Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi mencapai 22,1% dan rasio
likuiditas (AL/DPK) yang masih aman yaitu sebesar 20,3% pada April 2018. Di
samping itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah
yaitu sebesar 2,79% (gross) atau 1,28% (net) pada April 2018. Stabilitas sistem
keuangan yang terjaga ini berkontribusi positif pada perbaikan fungsi
intermediasi perbankan. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada April 2018
tercatat 8,1% (yoy), naik dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang
mencapai 7,7% (yoy). Pertumbuhan kredit pada April 2018 tercatat sebesar 8,9%
(yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar
8,5% (yoy) serta diperkirakan akan terus meningkat. Sementara itu, pembiayaan
ekonomi melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue),
obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD)
meningkat 15,8% (yoy) pada April 2018. Dengan perbaikan ekonomi dan kemajuan
konsolidasi korporasi dan perbankan, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan
Kredit dan DPK akan lebih baik pada 2018, masing-masing dalam kisaran
10,0-12,0% (yoy) dan 9,0-11,0% (yoy). Sejumlah langkah perlu ditempuh untuk
mengoptimalkan pertumbuhan kredit melalui kebijakan makroprudensial yang
akomodatif.
Jakarta, 29 Juni 2018
Departemen Komunikasi
Agusman
Direktur Eksekutif