Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Januari 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,50%.
Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan
stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk mendukung pemulihan
ekonomi. Bank Indonesia memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah
dan otoritas terkait lainnya dan mendukung berbagai kebijakan lanjutan
untuk membangun optimisme pemulihan ekonomi nasional, melalui pembukaan
sektor-sektor ekonomi produktif dan aman, akselerasi stimulus fiskal,
penyaluran kredit perbankan dari sisi permintaan dan penawaran,
melanjutkan stimulus moneter dan makroprudensial, serta mengakselerasi
digitalisasi ekonomi dan keuangan. Di samping kebijakan tersebut, Bank
Indonesia menempuh pula langkah-langkah sebagai berikut:
- Melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar;
- Melanjutkan penguatan strategi operasi moneter untuk mendukung stance kebijakan moneter akomodatif;
- Melanjutkan percepatan pendalaman pasar keuangan melalui penguatan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR)
sebagai acuan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS guna meningkatkan
kredibilitas pasar valas domestik dan mendukung stabilitas nilai tukar
di Indonesia. Penguatan JISDOR mencakup metodologi, periode pemantauan
transaksi, dan waktu penerbitan sebagaimana terlampir;
- Memperkuat
kebijakan makroprudensial akomodatif untuk mendorong peningkatan
kredit/pembiayaan kepada sektor-sektor prioritas dalam rangka pemulihan
ekonomi nasional;
- Mendorong transparansi suku bunga kredit perbankan dalam rangka mempercepat transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial;
- Memperkuat
koordinasi pengawasan perbankan secara terpadu antara Bank Indonesia,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam
rangka mendukung stabilitas sistem keuangan; serta
- Memperkuat
peran kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah dalam
mendorong pembentukan ekosistem ekonomi dan keuangan digital untuk
mempercepat pemulihan ekonomi melalui:
- Penerapan strategi pencapaian 12 juta merchant QRIS
secara terintegratif dan kolaboratif, serta pengembangan fitur QRIS
transfer, tarik, dan setor dalam rangka meningkatkan akseptasi QRIS di
masyarakat; dan
- Implementasi reformasi regulasi sistem
pembayaran sesuai PBI No.22/23/PBI/2020 melalui restrukturisasi
industri, reklasifikasi perizinan, kepemilikan, inovasi teknologi, data
dan informasi, serta penguatan pengawasan termasuk manajemen risiko
siber.
Ke depan, Bank
Indonesia terus mengarahkan seluruh instrumen kebijakan untuk mendukung
pemulihan ekonomi nasional, dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi
dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah, serta mendukung stabilitas
sistem keuangan. Koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah dan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus diperkuat untuk menjaga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mempercepat pemulihan
ekonomi nasional. Fokus koordinasi kebijakan diarahkan pada mengatasi
permasalahan sisi permintaan dan penawaran dalam penyaluran
kredit/pembiayaan dari perbankan kepada dunia usaha pada sektor-sektor
prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam rangka pemulihan
ekonomi nasional.
Pemulihan perekonomian global diprakirakan berlanjut pada 2021.
Aktivitas ekonomi global diprakirakan terus meningkat, didorong oleh
implementasi vaksinasi Covid-19 di banyak negara serta keberlanjutan
stimulus kebijakan fiskal dan moneter. Pemulihan ekonomi global tersebut
ditopang terutama oleh Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), serta
sejumlah negara maju seperti Eropa dan Jepang, dan negara berkembang
seperti India dan ASEAN. Perkembangan tersebut dikonfirmasi oleh kinerja
sejumlah indikator dini pada Desember 2020 yang terus menunjukkan
perbaikan ekonomi. Purchasing Manager's Index
(PMI) manufaktur dan jasa di AS, Tiongkok, dan India melanjutkan fase
ekspansi. Selain itu, keyakinan konsumen, terutama di Tiongkok dan
kawasan Eropa, juga terus membaik, dan keyakinan bisnis di banyak negara
melanjutkan peningkatan. Perbaikan ekonomi global tersebut mendorong
berlanjutnya kenaikan volume perdagangan dan harga komoditas dunia.
Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan global diprakirakan menurun
seiring dengan ekspektasi perbaikan perekonomian global, termasuk arah
kebijakan fiskal Pemerintah AS yang baru, di tengah kondisi likuiditas
global yang besar dan suku bunga yang tetap rendah. Perkembangan ini
kembali mendorong aliran modal ke negara berkembang dan menopang
penguatan mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi domestik yang membaik hingga akhir 2020, diprakirakan meningkat secara bertahap pada 2021.
Meski sedikit lebih rendah dari perkiraan semula, perkembangan sejumlah
indikator pada Desember 2020 mengindikasikan perbaikan yang terus
berlangsung, seperti aktivitas ekspor dan impor yang meningkat, PMI
manufaktur yang membaik, serta ekspektasi penjualan dan konsumen yang
masih tetap baik. Program vaksin nasional yang telah dimulai pada awal
Januari 2021 dan disiplin yang tetap dibarengi dengan penerapan protokol
Covid-19 diharapkan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi domestik.
Selain itu, lima langkah kebijakan juga akan menopang prospek tersebut,
yakni (i) pembukaan sektor-sektor produktif dan aman secara nasional
maupun di masing-masing daerah, (ii) akselerasi stimulus fiskal, (iii)
penyaluran kredit perbankan dari sisi permintaan dan penawaran, (iv)
berlanjutnya stimulus moneter dan makroprudensial, serta (v) percepatan
digitalisasi ekonomi dan keuangan, khususnya terkait pengembangan UMKM.
Dengan kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan akan
meningkat pada 2021. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat
sinergi dengan Pemerintah dan otoritas terkait dalam menempuh
langkah-langkah kebijakan lanjutan agar berbagai kebijakan yang ditempuh
semakin efektif mendorong pemulihan ekonomi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan tetap baik, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal.
Kinerja positif transaksi berjalan diprakirakan berlanjut pada triwulan
IV 2020, terutama didorong oleh surplus neraca barang yang meningkat.
Neraca perdagangan pada triwulan IV 2020 mencatat surplus sebesar 8,3
miliar dolar AS, meningkat dibandingkan dengan surplus pada triwulan
sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS. Ekspor di bulan Desember 2020
mencatat kenaikan tertinggi sejak 2013 mencapai 16,5 miliar dolar AS
atau tumbuh 14,6% (yoy), sejalan dengan kenaikan harga komoditas dan
permintaan terutama dari Tiongkok, AS, dan ASEAN. Secara keseluruhan
tahun 2020, defisit transaksi berjalan diprakirakan sekitar 0,5% dari
PDB. Sementara itu, aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik
kembali berlanjut, tercermin dari investasi portofolio yang mencatat net inflow sebesar 2,1 miliar dolar AS pada triwulan IV 2020, berbalik arah dari triwulan sebelumnya yang mencatat net outflow
1,7 miliar dolar AS. Memasuki awal tahun 2021, aliran masuk modal asing
ke pasar keuangan domestik ini terus berlanjut dan mencapai 5,1 miliar
dolar AS (per 19 Januari 2021), termasuk penerbitan obligasi global oleh
Pemerintah. Dengan perkembangan ini, posisi cadangan devisa Indonesia
pada akhir Desember 2020 tetap tinggi, yakni 135,9 miliar dolar AS,
setara pembiayaan 10,2 bulan impor atau 9,8 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan
internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi
berjalan diprakirakan sekitar 1,0%-2,0% dari PDB pada tahun 2021,
sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia.
Nilai
tukar Rupiah menguat didukung langkah-langkah stabilisasi Bank
Indonesia dan berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan
domestik. Nilai tukar Rupiah pada 20 Januari 2021 menguat 0,77% secara rerata dan 0,14% secara point to point
dibandingkan dengan level Desember 2020. Penguatan nilai tukar Rupiah
didorong oleh peningkatan aliran masuk modal asing ke pasar keuangan
domestik seiring dengan penurunan ketidakpastian pasar keuangan global
dan persepsi positif investor terhadap prospek perbaikan perekonomian
domestik. Ke depan, Bank Indonesia memandang penguatan nilai tukar
Rupiah berpotensi berlanjut seiring levelnya yang secara fundamental
masih undervalued. Hal ini didukung oleh defisit transaksi
berjalan yang rendah, inflasi yang terjaga, daya tarik aset keuangan
domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun, serta
likuiditas global yang besar. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat
kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya
dan bekerjanya mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi moneter dan
ketersediaan likuiditas di pasar.
Inflasi 2020 tercatat rendah sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang memadai. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada 2020 tercatat sebesar 1,68% (yoy) dan berada di bawah kisaran sasaran 3,0%±1%. Perkembangan
tersebut dipengaruhi oleh inflasi inti yang tercatat rendah sebesar
1,60% (yoy), sejalan dengan pengaruh permintaan domestik yang belum
kuat, konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi
inflasi pada kisaran target, dan dampak nilai tukar terhadap inflasi
yang menurun. Inflasi kelompok administered prices juga
tercatat rendah sebesar 0,25% (yoy), sejalan dengan mobilitas masyarakat
yang masih terbatas dan upaya Pemerintah menurunkan harga energi guna
mendorong daya beli masyarakat. Sementara itu, inflasi kelompok volatile food
terkendali sebesar 3,62% (yoy), didukung oleh permintaan yang belum
kuat dan pasokan yang memadai, meskipun terdapat tekanan musiman pada
akhir tahun. Inflasi pada tahun 2021 diprakirakan tetap terkendali dalam
sasaran 3,0%±1%. Ke depan, Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga
stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun daerah melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI
dan TPID), guna mengendalikan inflasi IHK sesuai kisaran targetnya.
Sejalan
dengan kebijakan moneter dan makroprudensial akomodatif yang ditempuh
Bank Indonesia, kondisi likuiditas tetap longgar, sehingga mendorong
suku bunga terus menurun dan mendukung pembiayaan perekonomian. Pada tahun 2020, Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing)
di perbankan sekitar Rp726,57 triliun, terutama bersumber dari
penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi
moneter sekitar Rp555,77 triliun. Bank Indonesia melanjutkan penambahan
likuiditas pada tahun 2021 dengan melakukan ekspansi operasi moneter
sekitar Rp7,44 triliun (per 19 Januari 2021). Longgarnya kondisi
likuiditas mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak
Ketiga (AL/DPK) yakni 31,67% pada Desember 2020 dan rendahnya rata-rata
suku bunga PUAB overnight, sekitar 3,04% pada Desember 2020.
Longgarnya likuiditas serta penurunan BI7DRR berkontribusi menurunkan
suku bunga deposito dan kredit modal kerja dari 4,74% dan 9,32% pada
November 2020 menjadi 4,53% dan 9,21% pada Desember 2020. Penurunan suku
bunga kredit diprakirakan akan berlanjut dengan longgarnya likuiditas
dan rendahnya suku bunga kebijakan Bank Indonesia. Sementara itu, imbal
hasil SBN 10 tahun meningkat dari 5,86% pada akhir Desember 2020 menjadi
6,27% pada 20 Januari 2021. Dari besaran moneter, pertumbuhan besaran
moneter M1 dan M2 pada Desember 2020 tetap tinggi, yaitu sebesar 18,5%
(yoy) dan 12,4% (yoy). Ke depan, ekspansi moneter Bank Indonesia dan
percepatan realisasi anggaran serta program restrukturisasi kredit
perbankan diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan
bagi pemulihan ekonomi nasional.
Sinergi
ekspansi moneter Bank Indonesia dengan akselerasi stimulus fiskal
Pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional terus diperkuat. Sebagai
pelaksanaan komitmen untuk pendanaan APBN Tahun 2020, pada tahun 2020
Bank Indonesia telah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan dan
pembagian beban dalam APBN 2020 guna program pemulihan ekonomi nasional
sebesar Rp473,42 triliun, yang terdiri dari Rp75,86 triliun dan Rp397,56
triliun atas dasar Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank
Indonesia masing-masing tanggal 16 April 2020 dan 7 Juli 2020. Bank
Indonesia juga telah merealisasikan pembagian beban dengan Pemerintah
atas penerbitan SBN untuk pendanaan Non Public Goods-UMKM sebesar Rp114,81 triliun dan Non Public Goods-Korporasi
sebesar Rp62,22 triliun sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 7 Juli 2020. Pada 2021,
Bank Indonesia melakukan pembelian SBN dari pasar perdana untuk
pembiayaan APBN Tahun 2021 melalui mekanisme sesuai dengan Keputusan
Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April
2020 sebagaimana telah diperpanjang tanggal 11 Desember 2020 hingga 31
Desember 2021. Secara keseluruhan, jumlah pembelian SBN dari pasar
perdana hingga 19 Januari 2021 sebesar Rp13,66 triliun, yang terdiri
dari sebesar Rp9,18 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp4,48
triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).
Ketahanan
sistem keuangan tetap terjaga, meskipun risiko dari berlanjutnya dampak
Covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan November 2020 tetap tinggi yakni 24,13%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL)
tetap rendah yakni 3,18% (bruto) dan 0,99% (neto). Fungsi intermediasi
dari sektor keuangan masih lemah tercermin dari pertumbuhan kredit yang
masih terkontraksi, yaitu sebesar 2,41% (yoy) pada bulan Desember 2020
di tengah likuiditas yang masih tinggi sejalan dengan pertumbuhan DPK
yang tetap tinggi yaitu sebesar 11,11% (yoy). Bank Indonesia memandang
bahwa pertumbuhan kredit yang rendah lebih disebabkan oleh sisi
permintaan dari dunia usaha, di samping karena persepsi risiko dari sisi
penawaran perbankan. Bank Indonesia akan melanjutkan kebijakan
makroprudensial akomodatif, serta memperkuat sinergi dan koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah, KSSK, perbankan dan dunia usaha untuk
menjaga optimisme dan mengatasi permasalahan sisi permintaan dan
penawaran dalam penyaluran kredit/pembiayaan dari perbankan kepada dunia
usaha, dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Transaksi Sistem Pembayaran baik tunai maupun nontunai meningkat sejalan dengan perbaikan ekonomi, disertai dengan percepatan digitalisasi ekonomi dan keuangan. Uang
Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada Desember 2020 mencapai Rp898,9
triliun, tumbuh 13,25% (yoy), seiring dengan aktivitas ekonomi yang
membaik. Nilai transaksi pembayaran menggunakan ATM, Kartu Debet, dan
Kartu Kredit pada Desember 2020 tercatat Rp695,5 triliun, kembali tumbuh
1,36% (yoy), setelah kontraksi pada bulan November 2020 sebesar 1,93%
(yoy). Transaksi ekonomi dan keuangan digital terus tumbuh tinggi
sejalan dengan penggunaan platform e-commerce dan
instrumen digital di masa pandemi, serta kuatnya preferensi dan
akseptasi masyarakat akan transaksi digital. Hal itu terlihat dari nilai
transaksi Uang Elektronik (UE) pada Desember 2020 sebesar Rp22,1
triliun, atau tumbuh 30,44% (yoy). Lebih lanjut, volume transaksi digital banking pada Desember 2020 mencapai 513,7 juta transaksi, atau tumbuh 41,53% (yoy) dan nilai transaksi digital banking sebesar
Rp2.774,5 triliun, tumbuh 13,91% (yoy). Bank Indonesia memprakirakan
tren digitalisasi akan terus berkembang pesat didukung dengan perluasan
ekosistem ekonomi dan keuangan digital yang semakin inklusif. Bank
Indonesia terus mengakselerasi kebijakan digitalisasi sistem pembayaran
untuk pembentukan ekosistem ekonomi dan keuangan digital yang inklusif
dan efisien, serta untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi
nasional. Hal ini dilakukan antara lain melalui perluasan merchant QRIS 12 juta, perluasan fitur QRIS transfer, tarik, dan setor, menetapkan Merchant Discount Rate Uang Elektronik (MDR UE) Chip Based berlaku efektif 1 Maret 2021, dan implementasi Blueprint
Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Untuk memperkuat sinergi dengan
Pemerintah, otoritas terkait, dan industri, Bank Indonesia
menyelenggarakan Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia yang
kegiatannya dimulai sejak Januari 2021 dan puncaknya pada April 2021.