No. 22/30/DKom
Rapat Dewan
Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13-14 April 2020 memutuskan
untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,50%,
suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75%, dan suku bunga Lending
Facility sebesar 5,25%. Keputusan
ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas eksternal di tengah
ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi,
meskipun Bank Indonesia tetap melihat adanya
ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya
mendorong pertumbuhan ekonomi.
1. Untuk stabilisasi dan penguatan
nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia meningkatkan intensitas kebijakan triple
intervention baik melalui spot, Domestic
Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar
sekunder.
2. Untuk mendukung upaya pemulihan
ekonomi nasional dari dampak COVID-19, Bank Indonesia akan meningkatkan
pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing)
sebagai berikut:
a.
Ekspansi operasi moneter melalui
penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying
SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.
b. Menurunkan Giro Wajib Minimum
(GWM) Rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan 50
bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah, mulai berlaku 1 Mei 2020.
c. Tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio
Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun
Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai
berlaku 1 Mei 2020.
3.
Untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan dan sehubungan dengan
penurunan GWM Rupiah tersebut, Bank Indonesia menaikkan Rasio Penyangga
Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional
dan sebesar 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah, mulai berlaku 1
Mei 2020. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang
akan diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana.
4. Untuk semakin memperluas penggunaan
transaksi pembayaran secara nontunai dalam memitigasi dampak COVID-19, Bank
Indonesia meningkatkan berbagai instrumen kebijakan sistem pembayaran berikut:
a. Mendukung program Pemerintah dalam percepatan penyaluran
program-program bantuan sosial secara nontunai kepada masyarakat bersama
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) melalui akselerasi elektronifikasi
penyaluran program-program sosial pemerintah baik Program Keluarga Harapan
(PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Prakerja, dan Kartu Indonesia
Pintar (KIP).
b. Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat bersama PJSP
agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran non-tunai baik melalui digital
banking, uang elektronik, dan perluasan akseptasi QRIS.
c. Melonggarkan kebijakan kartu kredit terkait dengan
penurunan batas maksimum suku bunga, nilai pembayaran minimum, dan besaran
denda keterlambatan pembayaran serta mendukung kebijakan penerbit kartu kredit
untuk memperpanjang jangka waktu pembayaran bagi nasabah.
Penjelasan selanjutnya terkait kebijakan penurunan GWM, peningkatan
rasio PLM, dan pelonggaran kebijakan kartu kredit, sebagaimana lampiran siaran
pers.
Bauran kebijakan Bank Indonesia tersebut merupakan bagian dari sinergi
kebijakan yang terkoordinasi sangat erat dengan Pemerintah maupun melalui
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) serta otoritas terkait untuk menjaga
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta dalam upaya pemulihan ekonomi
nasional dari dampak COVID-19. Bank Indonesia akan terus mencermati dinamika
perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran COVID-19 dan dampaknya
terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu, serta mengambil
langkah-langkah kebijakan lanjutan yang diperlukan secara terkoordinasi yang
erat dengan Pemerintah dan KSSK untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan, serta pemulihan ekonomi nasional.
Pandemi COVID-19 yang semakin meluas ke seluruh dunia berdampak pada
meningkatnya risiko resesi perekonomian global pada 2020, sementara pengaruhnya
terhadap kepanikan pasar keuangan dunia berangsur-angsur mulai menurun. Risiko resesi ekonomi global pada 2020 dipengaruhi
oleh penurunan permintaan serta terganggunya proses produksi antara lain akibat
terbatasnya mobilitas manusia sejalan dengan kebijakan mengurangi risiko
penyebaran COVID-19. Sejalan dengan risiko ini, pertumbuhan ekonomi negara maju
seperti Amerika Serikat dan banyak negara di kawasan Eropa diprakirakan
mengalami kontraksi pada tahun 2020, meskipun berbagai kebijakan
ultra-akomodatif dari kebijakan fiskal dan moneter telah ditempuh. Prospek
pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diprakirakan juga menurun. Risiko
resesi ekonomi dunia terutama terjadi pada Triwulan-II dan Triwulan-III
2020, sesuai dengan pola pandemi COVID-19, dan diperkirakan akan kembali
membaik mulai Triwulan-IV 2020. Pada tahun 2021, pertumbuhan ekonomi dunia akan
meningkat tinggi didorong dampak positif kebijakan yang ditempuh di banyak
negara, selain karena faktor base effect. Sementara itu, kepanikan pasar
keuangan dunia yang sempat meningkat tinggi pada Maret 2020, mulai berkurang
pada April 2020 didukung sentimen positif atas berbagai respons kebijakan yang
ditempuh di banyak negara. Risiko pasar keuangan dunia yang berkurang seperti
tercermin pada penurunan volatility index (VIX) dari 85,4 pada 18 Maret 2020 menjadi 41,2 pada 14
April 2020.
Penurunan
ekonomi global dan penyebaran COVID-19 di dalam negeri berdampak
pada pertumbuhan ekonomi domestik yang diprakirakan akan menurun. Ekspor 2020 diprakirakan menurun akibat melambatnya
permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga
komoditas global. Sementara itu, pembatasan sosial dalam rangka pencegahan
penyebaran COVID-19 berdampak pada pendapatan masyarakat dan penurunan produksi
sehingga menurunkan prospek permintaan domestik, baik
konsumsi rumah tangga maupun investasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
melambat diprakirakan terutama terjadi pada Triwulan-II dan Triwulan III-2020
sejalan dengan prospek kontraksi ekonomi global dan juga dampak ekonomi dari
upaya pencegahan peyebaran COVID-19. Perekonomian nasional diprakirakan kembali
membaik mulai Triwulan IV-2020 dan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun
2020 diprakirakan dapat menuju 2,3% dan akan meningkat lebih tinggi pada tahun
2021. Selain dipengaruhi prospek perbaikan ekonomi global, pemulihan ekonomi
nasional juga didorong berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah, Bank
Indonesia, dan otoritas terkait.
Defisit
transaksi berjalan diprakirakan akan rendah. Meskipun ekspor akan menurun sejalan dengan penurunan
permintaan dan harga komoditas dunia, neraca perdagangan diprakirakan membaik
dipengaruhi oleh penurunan impor yang lebih tinggi akibat menurunnya permintaan
domestik dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor. Defisit
neraca jasa juga diprakirakan lebih rendah, didorong oleh penurunan devisa
untuk biaya transportasi impor serta penurunan devisa pariwisata yang tidak
setinggi yang diprakirakan. Defisit neraca pendapatan primer pun menurun
sejalan dengan berkurangnya penurunan kepemilikan asing pada instrumen keuangan
domestik. Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan di Triwulan I-2020
diperkirakan akan lebih rendah dari 1,5% PDB. Sementara itu, aliran modal asing
diprakirakan akan berangsur-angsur kembali masuk ke Indonesia sejalan dengan
meredanya kepanikan pasar keuangan global dan membaiknya ekonomi
domestik. Secara keseluruhan prospek NPI 2020 yang tetap baik dapat memperkuat
ketahanan sektor eksternal Indonesia. Posisi cadangan devisa pada akhir Maret
2020 sebesar 121,0 miliar dolar AS, atau setara dengan pembiayaan 7,2 bulan
impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, dan
diprakirakan akan meningkat pada akhir April 2020. Bank Indonesia berpandangan
posisi cadangan devisa tersebut lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor
dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi
nilai tukar Rupiah.
Nilai
tukar Rupiah kembali menguat mulai minggu kedua April 2020 seiring meredanya
kepanikan pasar keuangan global. Pada 13 April 2020, nilai tukar Rupiah menguat 4,35% secara
point to point dibandingkan dengan level pada akhir Maret 2020. Namun,
Rupiah masih mencatat depresiasi sekitar 11,18% dibandingkan dengan level akhir 2019. Apresiasi Rupiah
pada April 2020 didorong kembali meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar
keuangan domestik pasca ditempuhnya berbagai kebijakan di banyak negara
untuk memitigasi dampak penyebaran COVID-19, termasuk Indonesia. Perkembangan Rupiah yang kembali menguat juga didukung oleh
berlanjutnya pasokan valas dari pelaku domestik sehingga dapat terus menopang
stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia memandang bahwa level nilai tukar
Rupiah dewasa ini memadai untuk mendukung penyesuaian perekonomian, yang secara
fundamental tercatat “undervalued”, dan diprakirakan bergerak stabil dan
cenderung menguat ke arah Rp15.000 per dolar AS di akhir tahun 2020. Ke depan,
Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai
dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar. Dalam kaitan ini, Bank
Indonesia akan terus meningkatkan intensitas intervensi di pasar DNDF, pasar spot,
dan pembelian SBN dari pasar sekunder. Untuk mendukung efektivitas kebijakan
nilai tukar, Bank Indonesia terus mengoptimalkan operasi moneter guna
memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar
uang maupun pasar valas.
Inflasi tetap rendah dan mendukung stabilitas perekonomian. Inflasi IHK pada Maret 2020 tercatat 0,10% (mtm), lebih rendah dari inflasi
bulan sebelumnya sebesar 0,28% (mtm). Inflasi yang rendah dipengaruhi oleh
melemahnya permintaan serta mencukupinya pasokan barang, termasuk pangan, dan
tetap lancarnya rantai distribusi. Berdasarkan komponennya, inflasi yang rendah
dipengaruhi inflasi inti yang terkendali serta perkembangan harga kelompok volatile
food dan administered prices yang mencatat deflasi. Inflasi inti, di
luar harga emas, yang terkendali dipengaruhi konsistensi kebijakan Bank
Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi tetap terjaga serta pengaruh
pelemahan nilai tukar terhadap inflasi yang rendah. Kenaikan harga emas
terutama dipengaruhi kenaikan harga emas global sejalan peningkatan permintaan
sebagai aset yang dianggap aman di periode ketidakpastian pasar keuangan
global. Sementara itu, deflasi kelompok volatile food terutama
dipengaruhi oleh koreksi harga pada beberapa komoditas seperti aneka cabai,
ikan segar, bawang putih, dan minyak goreng. Adapun, deflasi kelompok administered
prices terutama didorong oleh berlanjutnya koreksi tarif angkutan udara.
Dengan perkembangan tersebut, secara tahunan inflasi IHK Maret 2020 tercatat
tetap terkendali sebesar 2,96% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
inflasi Februari 2020 sebesar 2,98% (yoy). Ke depan,
Bank Indonesia terus konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat
koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah,
untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dan stabil dalam sasarannya sebesar
3,0%±1% pada 2020 dan 2021.
Transmisi
pelonggaran kebijakan moneter tetap berjalan baik didukung kecukupan likuiditas
perbankan yang memadai. Transmisi
suku bunga ke pasar uang berjalan cukup baik, tercermin pada penurunan suku
bunga PUAB O/N sebesar 150 bps menjadi 4,34% dan suku bunga JIBOR tenor 1
minggu sebesar 166 bps menjadi 4,58% sejak akhir Juni 2019, sebelum penurunan
BI7DRR pada Juli 2019. Transmisi penurunan suku bunga perbankan juga berlanjut
pada Februari 2020, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. Dengan
perkembangan ini maka rerata tertimbang suku bunga deposito sejak akhir Juni
2019 sampai Februari 2020 turun 67 bps menjadi 6,16% sementara suku bunga
Kredit Modal Kerja turun 35 bps menjadi 10,07%. Transmisi jalur suku bunga yang
baik didukung respons Bank Indonesia menjaga kecukupan likuiditas perbankan.
Sejauh ini pada 2020, Bank Indonesia telah melakukan injeksi likuiditas ke
pasar uang dan perbankan hampir Rp300 triliun. Injeksi likuiditas dilakukan
melalui berbagai kebijakan, seperti (i) pembelian SBN dari pasar sekunder
sebesar Rp166 triliun, (ii) penyediaan likuiditas kepada perbankan lebih
dari Rp56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying
SBN yang dimiliki perbankan, (iii) penurunan kembali Giro Wajib Minimum (GWM)
Rupiah sebesar 50 bps yang berlaku efektif 1 April 2020, yang menambah
likuiditas sekitar Rp22 triliun, setelah sebelumnya telah dilakukan penurunan
GWM pada 2019 dan awal 2020 yang menambah likuiditas sekitar Rp53 triliun, dan
(iv) penurunkan GWM valas sebesar 4% untuk menambah likuiditas valas perbankan
sekitar USD 3,2 miliar. Respons kebijakan ini kemudian dapat menjaga kecukupan
likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai, tercermin pada rerata
harian volume PUAB Maret 2020 yang tetap tinggi sebesar Rp12,8 triliun serta
rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 22,81%
pada Februari 2020. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memastikan kecukupan
likuiditas dan meningkatkan efisiensi di pasar uang, sehingga dapat memperkuat
transmisi bauran kebijakan yang akomodatif. Bank Indonesia meyakini peningkatan
stimulus fiskal Pemerintah dewasa ini akan makin memperkuat efektivitas
transmisi kebijakan injeksi likuiditas yang ditempuh Bank Indonesia kepada
sektor riil.
Stabilitas sistem keuangan tetap
terjaga, meskipun potensi risiko dari makin meluasnya dampak penyebaran virus
COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan perlu terus
diantisipasi. Stabilitas sistem keuangan
terjaga tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR)
perbankan Februari 2020 yang tinggi yakni 22,27%, dan rasio kredit bermasalah (Non
Performing Loan/NPL) yang tetap rendah yakni 2,79% (gross) dan 1,04%
(net). Melemahnya perekonomian domestik dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi
sebagai dampak penyebaran COVID-19, menyebabkan lemahnya permintaan kredit dan
meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Ke depan,
kebijakan makroprudensial Bank Indonesia akan difokuskan pada upaya menjaga
stabilitas sistem keuangan dengan mengantisipasi potensi peningkatan risiko
pada sektor keuangan yang terpengaruh dampak penyebaran COVID-19. Koordinasi
dengan otoritas keuangan dan kementerian/lembaga terkait juga senantiasa
ditingkatkan, baik dalam rangka perumusan bauran kebijakan, maupun dalam rangka
mitigasi peningkatan risiko di sistem keuangan.
Kelancaran
Sistem Pembayaran, baik tunai maupun nontunai, tetap terjaga. Posisi Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD)
per Maret 2020 tumbuh 7,53% (yoy), lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan
bulan sebelumnya sebagai antisipasi peningkatan kebutuhan uang tunai di periode
penanggulanan COVID-19. Sementara itu, transaksi nontunai menggunakan ATM,
Kartu Debit, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik pada Februari 2020 terlihat
menurun sejalan penurunan aktivitas ekonomi. Namun demikian, pembayaran
masyarakat menggunakan transaksi digital pada Maret 2020 diprakirakan meningkat
sejalan kenaikan kebutuhan transaksi ekonomi dan keuangan digital (EKD) di
periode pembatasan mobilitas masyarakat. Bank Indonesia mengapresiasi berbagai
upaya pelaku EKD untuk mendorong penggunaan pembayaran nontunai, termasuk
mendukung program pemerintah dalam menyalurkan dana bantuan sosial melalui pembayaran
nontunai. Upaya yang ditempuh pelaku EKD ini tidak hanya mendukung akitivitas
ekonomi sehari-hari tetapi juga meningkatkan efisiensi perekonomian. Ke depan,
Bank Indonesia bersama PJSP akan terus memperkuat transformasi digital
untuk ekonomi Indonesia melalui penerapan Blueprint Sistem Pembayaran
Indonesia 2025, termasuk peningkatan akseptasi QRIS secara meluas di merchant
UMKM dan pasar tradisional, lembaga pendidikan, lembaga sosial dan tempat
ibadah.
Jakarta, 14 April
2020
DEPARTEMEN KOMUNIKASI
Onny
Widjanarko
Direktur Eksekutif