Mencermati kondisi perekonomian Indonesia khususnya
sebagai dampak penyebaran COVID-19, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo,
pada Rabu (29/4) menyampaikan 5 (lima) hal terkait perkembangan terkini dan
kebijakan yang
ditempuh Bank Indonesia, sebagai berikut:
1. Inflasi
terkendali dan rendah.
Berdasarkan Survei
Pemantauan Harga (SPH) yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama 46 Kantor
Perwakilan Bank Indonesia sampai dengan minggu keempat April 2020, menunjukan
bahwa harga-harga di pasar terkendali dan rendah. Inflasi bulan April 2020
diprakirakan sekitar 0,18% (mtm) atau 2,78% (yoy). Prakiraan
inflasi
April 2020 tersebut lebih rendah dari bulan maret 2020 sebesar
2,96%
(yoy) dan bulan Februari 2020 sebesar 2,98% (yoy). Hal ini mengkonfirmasi bahwa
sampai dengan akhir tahun 2020, inflasi akan terkendali dan rendah di kisasan sasaran 3±1%.
Penyumbang inflasi pada periode laporan antara lain berasal dari
komoditas bawang merah (0,12%), emas perhiasan (0,09%), jeruk (0,05%), gula
pasir (0,02%). Sementara itu, komoditas utama yang menyumbang deflasi yaitu
cabai merah (-0,11%), daging ayam ras (-0,08%). Hal ini menunjukan komitmen
dari pemerintah untuk menjaga pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok dapat
terpenuhi secara baik.
Inflasi pada saat
Ramadhan dan Idul Fitri diprakirakan akan lebih rendah dari historis,
dipengaruhi oleh permintaan yang diprakirakan akan
lebih rendah, dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 yang menyebabkan aktivitas
manusia yang lebih rendah terkait
pembatasan mobilitas, PSBB dan lain sebagainya.
2.
Nilai tukar Rupiah bergerak stabil dan cenderung menguat
mengarah ke Rp15.000 pada akhir tahun
Pada selasa (28/4), rupiah ditutup
pada level Rp15.380, melemah Rp70 dari hari sebelumnya Rp15.310 (27/4).
Pergerakan nilai tukar dipengaruhi oleh faktor teknikal, yaitu kebutuhan valuta asing dari korporasi yang relatif tinggi
sesuai pola historikalnya serta langkah pemerintah di berbagai daerah dalam
penerapan PSBB yang oleh sejumlah pelaku pasar dipersepsikan akan
berdampak menurunkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, lembaga rating Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun
2020 sekitar 2,8% (yoy), lebih
rendah dari tahun sebelumnya, meskipun masih lebih tinggi dari perkiraan Bank Indonesia yaitu sekitar
2,3% (yoy).
Sementara itu, beberapa faktor positif yang memengaruhi pergerakan nilai
tukar, yaitu jumlah penawaran untuk lelang SBN yang tinggi, sebesar Rp44,4
triliun. Hal tersebut menunjukan minat investor asing dalam dan luar negeri
untuk membeli SBN yang tinggi. Selain itu, penguatan futures saham di Amerika Serikat dan Eropa juga
merupakan faktor positif yang memengaruhi pergerakan nilai tukar.
Secara keseluruhan, nilai tukar rupiah bergerak stabil dan
cenderung menguat mengarah ke Rp15.000 pada akhir tahun, didukung oleh 4 faktor
:
a. Secara fundamental, nilai tukar Rupiah masih undervalued didukung oleh defisit
transaksi berjalan Triwulan I akan lebih rendah dari 1,5% PDB dan secara
keseluruhan pada tahun 2020 akan lebih rendah dari 2% PDB. Penurunan defisit
transaksi berjalan tersebut
berarti bahwa kekurangan devisa akan lebih
rendah sehingga mendukung penguatan nilai tukar rupiah ke arah fundamentalnya.
b.
Bank
Indonesia akan selalu berada di pasar dan melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
c.
Arus modal
asing diprakirakan akan masuk ke Indonesia. Secara historis periode 2011 – 2019 di Indonesia, outflow relatif kecil dalam periode yang
pendek dan diikuti dengan inflow yang
besar dalam peiode yang panjang. Data menunjukkan rata-rata outflow
sebesar Rp29,2 triliun dengan durasinya sekitar 3-4 bulan dan diikuti inflow sebesar Rp229,1 triliun dengan durasi sekitar 21 bulan.
d.
Premi risiko
diprakirakan akan menurun setelah pandemi COVID-19 berakhir.
3. Keikustertaan BI dalam
pembeliaan SBN di pasar Perdana
Pada
pelaksanaan lelang SBN kemarin (28/4), pemerintah mengindikasikan target lelang
Rp20 triliun dengan target maksimal Rp40 triliun. Sesuai dengan kesepakatan dalam
Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia dan Kemenkeu, pembelian SBN di pasar Perdana
oleh Bank Indonesia sebagai non
competitive bid sebesar maksimal
25% dari target maksimal atau sekitar Rp10 triliun, namun agar Bank Indonesia
mendahulukan pelaku pasar, sehingga hanya melakukan bid sebesar Rp7,5 triliun. Jumlah yang dimenangkan dalam
pelaksanaan lelang SBN dari bid
sebesar Rp44,4 triliun adalah Rp16,6 trilun dengan rincian Rp2,3 trilun untuk
Bank Indonesia, dan sisanya sekitar Rp14,3 triliun dimenangkan oleh pasar.
Sesuai
dengan nota kesepahaman, dalam hal target pelaksanaan lelang SBN tidak
terpenuhi, Pemerintah dapat melaksanakan lelang tambahan (green shoe) dengan menggunakan harga kemarin (28/4) yaitu rata-rata
tertimbang untuk yield SBN 10 tahun
sekitar 8,08% dengan target lelang Rp23,38 triliun. Dalam pelaksanaan lelang
tambahan, Bank Indonesia juga dapat melakukan bid dengan jumlah sekitar Rp7,5 triliun. Dalam hal pelaksanaan
lelang tambahan juga tidak dapat memenuhi target, pemerintah menggunakan private placement yang dapat berasal
dari Bank ataupun Bank Indonesia dengan besaran jumlah sesuai kesepakatan.
Harga yang digunakan dalam private
placement akan mengacu pada terkini yang dikeluarkan oleh PHEI (Penilai Harga
Efek Indonesia).Dengan makanisme tersebut, kebutuhan pembiayaan defisit fiskal akan dapat dipenuhi.
4. Implementasi kebijakan Quantitative Easing sebesar Rp503,8
triliun
Sesuai dengan keputusan pada RDG bulan April 2020 lalu, bentuk pelonggaran
kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain berupa quantitative easing. Sampai dengan saat ini, quantitative easing yang telah
dilakukan oleh Bank Indonesia sebesar Rp503,8 triliun, terdiri dari :
a. Periode
Januari – April 2020 sebesar Rp386 triliun yang bersumber dari pembelian SBN di
pasar sekunder dari investor asing sebesar Rp166,2 triliun, term repo perbankan sebesar Rp137,1
triliun, penurunan Giro Wajib Minimun (GWM) rupiah di bulan Januari dan April 2020 sebesar Rp53
triliiun dan swap valuta asing sebesar Rp29,7 triliun.
b. Periode Mei 2020 sebesar Rp117,8 triliun yang
bersumber dari penurunan GWM rupiah sebesar Rp102 triliun serta tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio
Intermediasi Makroprudensial (RIM) sebesar Rp15,8 Triliun.
Kebijakan
quantitative easing akan dapat
memberikan dampak yang efektif ke sektor riil dengan dukungan dari stimulus
fiskal, antara lain melalui implementasi jaring pengaman sosial, insentif
industri termasuk subsidi KUR dan program bantuan sosial lainnya serta dukungan
rektrukturisasi kredit.
5. Gerakan Bank Indonesia Peduli COVID-19
Sebagai
bentuk solidaritas dan kepedulian Bank Indonesia (BI) terhadap masyarakat
terdampak COVID-19 dan dukungan dalam penanganan pandemi COVID-19, BI
melaksanakan “Gerakan BI Peduli COVID-19”. Gerakan tersebut dilaksanakan antara
lain melalui inisiatif anggota Dewan Gubernur dan pegawai (kecuali
pegawai level Staf ke bawah) yang menyisihkan sejumlah tertentu dari
Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran dan gaji selama 6 (enam) bulan, terhitung
sejak Mei hingga Oktober 2020. Selain itu,
Gerakan BI Peduli COVID-19 tersebut juga termasuk penyaluran bantuan sosial BI
dalam Program Dedikasi untuk Negeri dan pengumpulan donasi pegawai secara
sukarela yang telah dilaksanakan sejak Maret 2020.
Gerakan
BI Peduli COVID-19 ini secara keseluruhan diperkirakan akan menghimpun dana
sejumlah Rp101,4 miliar yang akan disalurkan melalui Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19, rumah sakit, dan masyarakat. Dana tersebut antara lain
akan digunakan untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD), masker, ventilator,
pengukur suhu tubuh, vitamin, dan sembako.
Bank Indonesia akan terus memperkuat
koordinasi ini dengan Pemerintah dan OJK untuk memonitor secara cermat dinamika
penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke
waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh
untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang
pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan.
Kepala Departemen
Komunikasi
Onny Widjanarko
Direktur Eksekutif
Informasi tentang Bank Indonesia