Stabilitas sistem keuangan (SSK) terjaga di tengah peningkatan tekanan eksternal seiring berlanjutnya ketidakpastian global. Indeks Stabilitas Sistem Keuangan sebagai indikator ketahanan sistem keuangan berada pada zona Normal didukung ketahanan perbankan dan Industri Keuangan Nonbank (IKNB), serta terjaganya kinerja korporasi dan Rumah Tangga (RT). Peningkatan tekanan eksternal berdampak terbatas pada sektor keuangan, sebagaimana tecermin pada akselerasi pertumbuhan intermediasi dan permodalan, baik pada industri perbankan maupun IKNB. Pada 2024, bauran kebijakan Bank Indonesia tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas (pro-stability) melalui kebijakan moneter, serta kebijakan makroprudensial akomodatif yang memberikan ruang bagi pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bauran kebijakan Bank Indonesia juga ditempuh melalui kebijakan sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta keuangan inklusif dan hijau, dengan penguatan inovasi, sinergi, dan koordinasi antara Bank Indonesia, Pemerintah, otoritas terkait, dan mitra strategis lainnya.
Ketidakpastian pasar keuangan global dan persistensi suku bunga yang masih tinggi berdampak pada aliran modal asing ke negara berkembang dan berpotensi memengaruhi stabilitas sistem keuangan domestik. Proses penurunan inflasi di negara maju cenderung lebih lambat dengan perbaikan ekonomi yang diprakirakan tertahan. Ketegangan geopolitik yang belum mereda turut mendorong pergeseran sumber pertumbuhan ekonomi global dan divergensi pertumbuhan antarnegara. Kondisi tingginya ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan aliran modal lebih selektif ke negara berkembang sehingga menambah tekanan nilai tukar. Persistensi suku bunga tinggi yang dibarengi dengan peningkatan tekanan nilai tukar berpotensi memengaruhi kerentanan dan risiko di sistem keuangan sebagaimana terindikasi pada risk assessment matrix. Namun, pertumbuhan ekonomi domestik yang masih kuat memberikan dampak positif terhadap kinerja sistem keuangan.
Momentum pertumbuhan ekonomi berlanjut di tengah inflasi yang terjaga dan nilai tukar yang terkendali sehingga mendukung akselerasi intermediasi perbankan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didukung oleh permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga dan investasi, serta peningkatan kinerja ekspor. Inflasi terjaga rendah dalam koridor target, baik inflasi inti maupun inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (administered prices), dengan inflasi Komponen Bergejolak (volatile food) yang turun cukup dalam di sebagian besar wilayah Indonesia. Sementara itu, nilai tukar terkendali dengan volatilitas yang terjaga. Optimisme kondisi makroekonomi turut mendukung kinerja intermediasi perbankan dan terjaganya risiko SSK. Akselerasi intermediasi perbankan didukung oleh risiko kredit yang terjaga rendah, di tengah upaya konsolidasi yang dilakukan bank menyusul penghentian relaksasi kebijakan restrukturisasi Covid-19 pada Maret 2024.
Intermediasi perbankan tumbuh tinggi didukung pertumbuhan DPK dan likuiditas yang memadai. Hingga Juni 2024, kredit perbankan tumbuh mencapai 12,36% (yoy) terutama ditopang oleh kredit produktif, yaitu Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK), khususnya segmen Korporasi. Kredit Konsumsi (KK) juga tumbuh tinggi ditopang oleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan multiguna, meskipun tidak setinggi KI dan KMK. Pertumbuhan kredit terjadi pada seluruh KBMI, terutama di bank besar (KBMI 3 dan 4) yang pangsa kreditnya mencapai 80% dari total perbankan. Sementara itu, pertumbuhan kredit KBMI 1 dan 2 cenderung bervariasi sejalan dengan perbedaan model bisnis kelompok bank di dalamnya, yaitu BPD, KCBA, dan BUSN. Risk appetite bank, yang tecermin pada Indeks Lending Requirement (ILR), masih longgar di seluruh KBMI. Dampak kenaikan suku bunga kebijakan pada suku bunga kredit dan DPK yang relatif terbatas turut mendukung akselerasi pertumbuhan kredit.
Dari sisi permintaan, korporasi di sektor yang padat modal menjadi penopang akselerasi pertumbuhan kredit produktif. Kredit tumbuh tinggi pada mayoritas sektor ekonomi terutama pada sektor padat modal. Pertumbuhan Kredit Modal Kerja (KMK) Korporasi terutama dikontribusikan oleh sektor berorientasi ekspor antara lain sub-sektor perdagangan, khususnya produk-produk premium. Sementara itu, Kredit Investasi (KI) Korporasi dikontribusikan oleh sektor berorientasi domestik. Di tengah appetite kredit bank yang positif, rasio investasi yang relatif berada di bawah rasio kredit mencerminkan masih besarnya potensi peningkatan pembiayaan terutama pada sektor padat modal seperti sektor industri, jasa dunia usaha, pengangkutan, pertambangan, dan listrik, gas, dan air. Sejalan dengan perbankan, intermediasi IKNB juga menunjukan perkembangan yang positif, baik dari perusahaan pembiayaan (PP) maupun fintech lending.
Pertumbuhan DPK dan likuiditas perbankan masih memadai untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan kredit. Hingga Juni 2024, DPK perbankan tumbuh sebesar 8,45% (yoy) dengan berbagai rasio kecukupan likuiditas, seperti rasio AL/DPK, LCR, dan NSFR, yang terjaga di atas threshold. Berdasarkan alat likuid yang dimiliki, bank KBMI 1 dan 2 masih memiliki likuiditas yang jauh di atas level industri, sementara likuiditas KBMI 3 relatif memadai untuk kebutuhan ekspansi kredit. Adapun pada KBMI 4, likuiditas telah kembali pada level prapandemi, sejalan dengan pertumbuhan kredit yang lebih agresif. Perbankan juga mengoptimalkan sumber dana non-DPK, termasuk ULN yang relatif lebih murah, untuk mendukung peningkatan intermediasi. Setelah penerbitan SRBI, perbankan melakukan realokasi portofolio alat likuid untuk memperoleh yield enhancement menggunakan idle funds, sehingga tidak mengurangi alokasi dana untuk kredit. Sementara itu, pembelian SRBI oleh IKNB dan RT masih terbatas sehingga tidak signfikan memengaruhi alokasi DPK IKNB dan perorangan di perbankan.
Kenaikan suku bunga dan tekanan nilai tukar berdampak terbatas pada penurunan kemampuan membayar didukung masih tingginya profitabilitas korporasi di mayoritas sektor ekonomi. Pelemahan nilai tukar berdampak negatif terhadap net profit margin korporasi yang berorientasi impor. Namun, tingkat profitabilitas yang masih tinggi pada korporasi tersebut menjadi buffer sehingga kemampuan membayar kredit korporasi dapat terjaga. Sementara itu, kenaikan suku bunga juga berdampak terbatas pada penurunan kemampuan membayar dan profitabilitas korporasi di mayoritas sektor ekonomi. Ketahanan korporasi didukung oleh likuiditas yang memadai dan strategi korporasi mengurangi utang luar negeri (ULN). Adapun sektor yang terdampak paling signifikan dari pelemahan nilai tukar dan kenaikan suku bunga, yaitu sektor konstruksi, industri tekstil, dan real estate.
Kemampuan membayar RT terjaga dan berkontribusi terhadap relatif stabilnya risiko kredit perbankan dan IKNB. Penghasilan RT berlanjut meningkat dengan tren pemulihan yang berbeda antar kelas penghasilan. Penghasilan RT kelas menengah dan atas berada di atas level prapandemi, sementara penghasilan RT kelas bawah belum kembali pada level prapandemi. Hal ini antara lain disebabkan oleh dominasi tenaga kerja informal (59%) dengan path pemulihan yang belum kembali seperti kondisi prapandemi. Kemampuan membayar RT terjaga dengan Debt Service Ratio (DSR) RT yang meningkat terbatas terutama pada segmen KPR yang dimiliki RT kelas atas, dengan LaR dan NPL RT yang masih relatif rendah.
Rasio permodalan bank dan IKNB yang relatif tinggi mampu menyerap peningkatan risiko kredit dan pasar sehingga kinerja intermediasi dan profitabilitas tetap terjaga. Hasil stress test mengindikasikan kecukupan modal dan likuiditas perbankan yang memadai dapat menyerap potensi kerugian apabila kondisi makroekonomi memburuk. Stress test yang dilakukan terhadap IKNB juga mengindikasikan ketahanan permodalan IKNB yang baik. Risiko interconnectedness IKNB dan perbankan juga terbatas karena eksposur IKNB ke perbankan yang sangat rendah. Secara keseluruhan, sistem keuangan Indonesia berdaya tahan terhadap peningkatan risiko ketidakpastian global. Hal ini terkonfirmasi pada hasil laporan asesmen FSAP 2023 yang menunjukkan resiliensi sistem perbankan Indonesia, kendati diperlukan penguatan ketahanan pada bank kecil dengan pangsa total aset terhadap industri yang tidak signifikan.
Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan terus didorong melalui kebijakan inklusi ekonomi dan keuangan hijau. Penyaluran kredit UMKM maupun pembiayaan UMKM (Syariah) tumbuh positif meskipun terbatas, terutama ditopang oleh segmen Menengah dan Kecil serta penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Strategi perbankan melakukan selective lending pada kredit UMKM terutama segmen usaha mikro merupakan upaya konsolidasi untuk menahan peningkatan risiko kredit. PP dan fintech juga melakukan selective lending yang tercermin pada perlambatan pertumbuhan pembiayaan, terutama pada segmen usaha mikro. Penyaluran kredit UMKM diprakirakan kembali meningkat pada semester II 2024, seiring dengan optimisme perbaikan kinerja UMKM dengan peluang pembiayaan yang masih cukup besar pada segmen ultra mikro. Sementara itu, penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor Hijau (KKB Hijau) dan Kredit Perumahan Hijau (KPR hijau) semakin akseleratif, jauh lebih tinggi dari industri dengan risiko kredit yang sangat rendah pada kedua segmen tersebut.
Dalam rangka memperkuat ketahanan SSK melalui terjaganya momentum pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inovasi kebijakan makroprudensial diarahkan untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi intermediasi dengan tetap menjaga ketahanan sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial longgar terus dilanjutkan untuk mendukung intermediasi sesuai siklus keuangan melalui penguatan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan optimalisasi pinjaman luar negeri bank yang berbasis risiko melalui kebijakan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN). Penguatan KLM yang efektif diimplementasikan per 1 Juni 2024 mencakup perluasan cakupan sektor serta redistribusi besaran insentif dengan tambahan insentif KLM apabila pertumbuhan kredit bank pada sektor prioritas melebihi median industri. Sementara itu, kebijakan RPLN yang diimplementasikan pada 1 Agustus 2024 bertujuan memberikan ruang fleksibilitas dalam pengelolaan pendanaan luar negeri jangka pendek bank yang berbasis risiko dan berlandaskan prinsip kehati-hatian (risk-based), dengan turut mempertimbangkan siklus keuangan dan ekonomi.
Selain KLM, sejumlah kebijakan makroprudensial lainnya masih dipertahankan longgar. Kebijakan makroprudensial longgar yang diterapkan mencakup kebijakan Rasio Loan to Value atau Financing to Value (LTV/FTV), Rasio Countercyclical Capital Buffer (CcyB), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), serta kebijakan pendalaman transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Untuk mendukung ketahanan sistem keuangan, Bank Indonesia mempertahankan kebijakan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), termasuk ruang fleksibilitas repo yang diberikan dalam PLM. Sinergi dan koordinasi kebijakan antara BI dengan Pemerintah, otoritas terkait, maupun mitra strategis lainnya secara konsisten terus diperkuat, termasuk koordinasi kebijakan nasional melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) maupun koordinasi secara bilateral dengan anggota KSSK dalam rangka menjaga SSK.
Prospek intermediasi perbankan tetap kuat didukung ketahanan sistem keuangan dan optimisme pertumbuhan ekonomi sehingga stabilitas sistem keuangan diprakirakan tetap terjaga. Outlook pertumbuhan kredit pada akhir tahun 2024 diprakirakan terjaga dalam sasaran 10- 12% dan terus meningkat pada tahun 2025 dalam kisaran 11-13%. Optimisme pertumbuhan kredit turut didorong oleh ekspektasi penurunan suku bunga global pada semester II, yang diprakirakan berdampak positif pada prospek perekonomian global dan domestik, di tengah inflasi dan nilai tukar yang tetap terjaga. Perbankan juga memiliki kapasitas pembiayaan yang besar, risiko kredit yang rendah, dan permodalan yang kuat untuk menopang kinerja intermediasi. Permintaan kredit terutama dari korporasi berpotensi semakin kuat di tengah optimisme peningkatan aktivitas ekonomi dan suku bunga yang lebih kondusif. Sementara itu, permintaan kredit konsumsi diprakirakan kembali meningkat seiring membaiknya kemampuan membayar rumah tangga. Dari sisi inklusi, kredit UMKM diprakirakan tumbuh moderat dengan tren yang membaik, sejalan dengan perbaikan kinerja UMKM dan program KUR yang diprakirakan berlanjut di paruh kedua 2024.
Bank Indonesia akan melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif dan memberikan ruang bagi pembiayaan, serta penguatan sinergi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dengan tetap menjaga ketahanan sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial longgar masih akan ditempuh untuk mendukung akselerasi kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha dan rumah tangga dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian. Bauran kebijakan makroprudensial dilanjutkan melalui berbagai instrumen sesuai dengan sasaran kredit/pembiayaan yang optimal, ketahanan sistem keuangan, serta keuangan yang inklusif dan hijau. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bauran kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia juga melanjutkan pengawasan secara tidak langsung (surveilans) dan pengawasan langsung (pemeriksaan) secara tematik untuk memastikan pelaksanaan dan implementasi kebijakan makroprudensial. Bank Indonesia akan terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan otoritas di sektor keuangan dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan guna mendukung stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan.