Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan
sistem keuangan nasional berfungsi efektif dan efisien serta mampu
bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal, sehingga alokasi
sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan
dan stabilitas perekonomian nasional.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki kepentingan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka menopang stabilitas
perekonomian. Hal ini juga terkait dengan fungsi BI sebagai Lender
of Last Resort (LoLR), yaitu otoritas yang berwenang menyediakan
likuiditas pada saat krisis.
Di sisi lain, Bank Indonesia juga merupakan otoritas yang memegang
mandat moneter serta sistem pembayaran. Gejolak di sektor moneter dapat
mengganggu SSK, demikian juga sebaliknya. Sistem pembayaran yang
bermasalah pada akhirnya dapat menyebabkan instabilitas sistem keuangan,
begitu pula gejolak sistem keuangan dapat menghambat kelancaran sistem
pembayaran. Keterkaitan inilah yang melatarbelakangi kepentingan Bank
Indonesia untuk selalu berupaya menjaga SSK di Indonesia.
Dalam pelaksanaan mandat dan wewenang untuk menjaga SSK, Bank
Indonesia memiliki beberapa payung hukum sebagai berikut:
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, Bank Indonesia memiliki
mandat untuk melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial
terhadap sistem keuangan yang terdiri atas lembaga keuangan, perusahaan
non keuangan, rumah tangga, pasar keuangan, serta infrastruktur keuangan
yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan
pertumbuhan perekonomian.
Hasil asesmen sistem keuangan, repons kebijakan Bank Indonesia, serta
prospek SSK ke depan secara berkala dipublikasikan melalui
Kajian
Stabilitas Keuangan.
Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang bertujuan
memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui
pembatasan risiko sistemik. Risiko sistemik adalah potensi instabilitas
akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau
seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size),
kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/atau
pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang
berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus
perekonomian (procyclicality).
Pengalaman menunjukkan bahwa stabilitas moneter dan kesehatan
mikroprudensial saja tidak cukup untuk mencegah krisis, mengingat krisis
2008 terjadi di tengah kondisi makroekonomi yang sehat. Kebijakan
moneter cenderung tidak dapat menangkap sinyal pemupukan risiko yang
bersumber dari perilaku ambil risiko elemen sistem keuangan, misalnya
peningkatan mortgage loan secara massal di perbankan.
Sementara itu, kebijakan mikroprudensial yang melihat tingkat
kesehatan individual lembaga, juga belum mampu menangkap pemupukan
risiko dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, diperlukan penerapan
kebijakan makroprudensial yang dapat melengkapi kebijakan moneter,
mikroprudensial, dan fiskal untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Bank Indonesia melakukan pengawasan
makroprudensial melalui surveilans sistem keuangan dan pemeriksaan
terhadap bank dan terhadap lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan
dengan bank jika diperlukan. Surveilans dilakukan mulai dari pemantauan
perkembangan kondisi sistem keuangan hingga identifikasi, analisis, dan
penilaian risiko. Dalam rangka pelaksanaan surveilans ini, Bank wajib
menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan, serta
bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan.