Start;Home;Fungsi Utama;Stabilitas Sistem Keuangan;bukan default.aspx

Pengantar

Stabilitas Sistem Keuangan dan Peran Bank Indonesia

Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi sistem keuangan yang berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Dengan terjaganya stabilitas sistem keuangan, fungsi intermediasi dan layanan jasa keuangan lainnya di sistem keuangan dapat berjalan secara optimal untuk berkontribusi pada pertumbuhan perekonomian nasional. Oleh karena itu, stabilitas sistem keuangan memegang peran yang sangat penting untuk menjaga stabilitas perekonomian. 

Krisis ekonomi global 2008/2009 mengajarkan kepada kita bahwa dengan semakin menguatnya keterkaitan makrofinansial (macrofinancial-linkages), maka sistem keuangan yang tidak berfungsi dengan baik akan menurunkan efektivitas kebijakan moneter, mengganggu kelancaran kegiatan perekonomian, dan dapat berakibat pada perlambatan pertumbuhan hingga kontraksi ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya stabilitas sistem keuangan merupakan tanggung jawab bersama di antara berbagai otoritas sektor keuangan, termasuk Bank Indonesia.

Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan terkait dengan fungsi sebagai Lender of Last Resort (LoLR), yaitu otoritas yang berwenang menyediakan likuiditas pada saat krisis.
 
Dalam pelaksanaan mandat dan wewenang untuk menjaga SSK, Bank Indonesia memiliki beberapa payung hukum sebagai berikut:
  1. Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
  2. Undang-Undang No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
  3. Peraturan Bank Indonesia No.16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial​
  4. Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
  5. Undang-Undang No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).

Berdasarkan UU Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai Rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial. 

Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta meningkatkan inklusi ekonomi, inklusi keuangan, dan keuangan berkelanjutan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, UU memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk melakukan: 

  1. Pengaturan makroprudensial; 
  2. Pengawasan makroprudensial, termasuk pemeriksaan dan pengenaan sanksi; 
  3. Pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan keuangan berkelanjutan;
  4. Penyediaan dana untuk Bank dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last resort; 
  5. Reverse repo (repurchase agreement) dan/atau pembelian surat berharga negara yang dimiliki oleh LPS pada saat LPS memerlukan likuiditas; dan 
  6. Koordinasi dengan otoritas terkait.

Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan serta keuangan berkelanjutan. 

Intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan antara lain mencerminkan tingkat intermediasi yang sesuai dengan kapasitas perekonomian, memiliki kinerja yang baik, dan inklusif. Sementara itu, risiko sistemik merupakan potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size); kompleksitas usaha (complexity); keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness); serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Risiko sistemik tersebut senantiasa dikelola dan dimitigasi sebagai bagian dari upaya pencegahan krisis sistem keuangan. Di sisi lain, inklusi ekonomi dan keuangan serta keuangan berkelanjutan juga menjadi perhatian terkait dengan tujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

Implementasi kebijakan makroprudensial bersifat countercyclical terhadap siklus keuangan. Kebijakan makroprudensial ditetapkan dan diterapkan terhadap perbankan, baik yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan prinsip Syariah, dengan mempertimbangkan asesmen terhadap sistem keuangan secara keseluruhan dan keterkaitannya dengan kondisi perekonomian. Oleh karena itu, dalam rangka proses pengambilan keputusan kebijakan makroprudensial yang kredibel, diperlukan surveilans terhadap elemen-elemen sistem keuangan, yang mencakup sistem perbankan, industri keuangan non-bank, korporasi non-keuangan, rumah tangga, pasar keuangan, dan infrastruktur pasar keuangan. 

Dengan semakin berkembangnya sistem keuangan, Bank Indonesia terus mengembangkan instrumen-instrumen kebijakan makroprudensial sebagai bagian bauran kebijakan Bank Indonesia, bersama dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Selain itu, seiring dengan perkembangan tren perilaku finansial serta perhatian para pelaku di sektor keuangan, maka Bank Indonesia juga terus memperkuat inovasi dan sinergi kebijakan makroprudensial di aspek digital, inklusi keuangan, dan kebijakan berwawasan lingkungan (green central banking / green financing).

Pengawasan Makroprudensial

Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans terhadap sistem keuangan dan/atau pemeriksaan terhadap perbankan dan/atau pihak lainnya untuk memastikan pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Surveilans dilakukan mulai dari pemantauan perkembangan kondisi sistem keuangan hingga identifikasi, analisis, dan penilaian risiko. Dalam rangka pelaksanaan surveilans ini, Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan, serta bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

Sejak 2020, Bank Indonesia menempuh pendekatan pengawasan dengan menggunakan Dynamic Systemic Risk Surveillance (DSRS). DSRS merupakan kerangka surveilans risiko sistemik dari dimensi keterkaitan mikrofinansial (microfinancial linkages) yang bersifat forward looking dan terintegrasi dengan mempertimbangkan seluruh informasi pengawasan yang dimiliki  dan dapat diakses Bank Indonesia. DSRS dilakukan melalui asesmen terhadap risiko idiosyncratic individual bank beserta dampak rambatan (contagion effect) yang ditimbulkan, untuk kemudian menilai eskalasi risiko sistemik yang terjadi pada sistem keuangan.


Instrumen Kebijakan Makroprudensial

Protokol Manajemen Krisis

Koordinasi BI dengan Lembaga/Otoritas Lain

Pengembangan UMKM

Keuangan Inklusif

Baca Juga