Koordinasi BI dengan Lembaga/Otoritas Lain

Start;Home;Fungsi Utama;Stabilitas Sistem Keuangan;bukan default.aspx

Koordinasi BI dengan Lembaga/Otoritas Lain

Kerjasama dan koordinasi antar otoritas sistem keuangan dilakukan baik secara bilateral maupun trilateral, dalam rangka melakukan harmonisasi kebijakan, pertukaran data dan/atau informasi, serta kepentingan koordinasi lainnya. Sebagaimana amanat Pasal 10 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia menempatkan masing-masing satu orang ADG sebagai Anggota Dewan Komisioner (ADK) Ex-Officio di OJK dan LPS. Peran strategis ADG Bank Indonesia sebagai Ex-Officio di kedua lembaga ini turut mendukung pelaksanaan koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan antara Bank Indonesia dan lembaga penugasan. 

Selain penempatan ADK Ex-officio, kerja sama dan koordinasi antar otoritas tersebut dilakukan mulai dari level pimpinan lembaga hingga level teknis. Koordinasi BI-OJK dijalankan dalam kerangka Forum Koordinasi Makroprudensial – Mikroprudensial (FKMM), sedangkan kerjasama dan koordinasi BI dan LPS dilakukan dalam kerangka penjaminan dan resolusi bank. Koordinasi ini dipayungi oleh suatu Keputusan Bersama atau Nota Kesepahaman antar lembaga serta petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Selanjutnya untuk menjembatani kegiatan kerja sama dan koordinasi termasuk pertukaran data bilateral maupun trilateral antara BI dengan OJK dan LPS, dibentuklah Focal Point

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Bank Indonesia juga menjalin kerja sama dan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang akan disampaikan lebih detil pada Protokol Manajemen Krisis.

Keanggotaan BI Pada Forum Internasional

Merespons pengalaman krisis keuangan global tahun 2008, G20 mendeklarasikan komitmen untuk melakukan langkah reformasi sektor keuangan global dengan tujuan memperkuat stabilitas sistem keuangan dan mengurangi peluang serta dampak terjadinya krisis di masa mendatang. Inisiasi reformasi sektor keuangan global menjadi tonggak sejarah baru bagi penguatan koordinasi antar otoritas global melalui pembentukan Financial Stability Board (FSB) yang dimandatkan G20 untuk mengawal implementasi reformasi dimaksud. 

Disadari bahwa peran reformasi keuangan global dan koordinasi antar otoritas bagi penguatan resiliensi sistem keuangan domestik sangat penting. Oleh karena itu, Bank Indonesia ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai fora internasional yang strategis di bidang SSK, diantaranya FSB dan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).

1. Financial Stability Board (FSB)

Bank Indonesia telah menjadi anggota FSB sejak awal pendirian di 2009. Pada 2014, partisipasi otoritas sektor keuangan Indonesia dalam keanggotaan FSB diperluas dengan mengikutsertakan peranan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Partisipasi Bank Indonesia dan otoritas domestik dioptimalkan dalam berbagai tatanan struktur FSB baik di forum tingkat tinggi maupun tingkat teknis sesuai relevansi kewenangan otoritas dengan topik pembahasan di suatu forum. Koordinasi lintas otoritas juga diperkuat melalui pembentukan forum gugus tugas seiring dengan semakin pentingnya upaya mendorong implementasi rekomendasi FSB yang bersifat lintas sektor yang memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai otoritas. 


Secara garis besar, pembahasan topik reformasi sektor keuangan global mencakup empat agenda utama atau prioritas yaitu memperkuat ketahanan lembaga keuangan, mengurangi permasalahan lembaga keuangan yang “too big to fail”, memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan hingga mencakup market-based finance, serta reformasi pasar Over the Counter (OTC) derivatif. Di samping itu, topik lain juga dibahas seperti penguatan kebijakan makroprudensial, manajemen risiko, penjaminan deposito, dan penerapan standar akuntansi yang berkualitas. Pemantauan terhadap risiko baru yang berkembang juga terus dilakukan untuk mengakses serta memitigasi risiko dan dampaknya terhadap SSK, seperti risiko penurunan aktivitas correspondent banking, misconduct risk, perkembangan fintech, cyber risk dan cryptoasset serta di area sustainable finance.


2. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)

Keanggotaan Indonesia di BCBS diwakili oleh Bank Indonesia selaku otoritas makroprudensial dan OJK selaku otoritas mikroprudensial sektor keuangan di Indonesia. Forum ini merupakan standard setting body untuk regulasi prudensial perbankan dengan mandat untuk memperkuat pengaturan, pengawasan serta praktik perbankan global dalam rangka menjaga stabilitas keuangan. Secara garis besar, status adopsi kerangka Basel III oleh yurisdiksi anggota BCBS tergolong cukup baik dan tepat waktu. Elemen utama Basel III yaitu kerangka permodalan dan standar likuiditas Liquidity Coverage Ratio (LCR) telah diterapkan sebagian besar yurisdiksi anggota dalam regulasi domestik, termasuk Indonesia.  

 
Menyadari urgensi reformasi sektor keuangan, Bank Indonesia juga aktif dalam berbagai standing committee di dalam FSB dan forum regional, diantaranya:


  1. FSB Standing Committee on Assessment of Vulnerabilities (SCAV). SCAV beranggotakan bank sentral dari negara anggota FSB. Pembahasan pada forum ini fokus pada isu terkait aspek kerentanan dalam perekonomian global dan transmisinya ke sektor keuangan. 
  2. FSB Standing Committee on Supervisory and Regulatory Cooperation (SRC). SRC beranggotakan bank sentral, otoritas pengawas dan otoritas pasar dari negara G20 dan negara maju anggota FSB. Fokus tugas di forum ini terkait dengan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dan mikoprudensial sektor keuangan. 
  3. FSB Regional Consultative Groups (RCG) Asia. RCG Asia beranggotakan bank sentral, ototritas pengawas, dan kementerian keuangan dari negara anggota FSB dan Non-anggota FSB. Forum ini merupakan outreach kepada negara anggota non-FSB untuk mengkomunikasikan program kerja FSB kepada otoritas yang tidak menjadi anggota FSB dan memberikan landasan pemahaman yang sama bagi otoritas terkait di seluruh dunia terhadap isu strategis yang berkembang dan relevan di kawasan. 
  4. Executives Meeting of East Asia Pacific Working Group on Banking Supervision (EMEAP-WGBS). EMEAP-WGBS beranggotakan bank sentral dan otoritas pengawas dari wilayah Asia Timur dan Pasifik yang meliputi negara Australia, Tiongkok, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, New Zealand, Filipina, Singapura, dan Thailand. Forum EMEAP berperan penting dalam memperkuat kerjasama antar otoritas sektor keuangan di regional, termasuk mendiskusikan berbagai isu stabilitas keuangan yang menjadi perhatian bersama (common interest).


Lebih lanjut, untuk mendukung penguatan stabilitas dan pengembangan sistem keuangan, Bank Indonesia bersama otoritas keuangan terkait secara sukarela berpartisipasi dalam pelaksanaan Financial Sector Assessment Program (FSAP). Asesmen ini dilakukan rutin oleh International Monetary Fund (IMF) dan The World Bank yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi otoritas domestik dalam menjaga stabilitas dan menjaga akselerasi sistem keuangan, serta mengevaluasi kepatuhan implementasi terhadap standar/rekomendasi internasional.​

Baca Juga