Koordinasi BI dengan Lembaga/Otoritas Lain

Start;Home;Fungsi Utama;Stabilitas Sistem Keuangan;bukan default.aspx

Koordinasi BI dengan Lembaga/Otoritas Lain

Kerjasama dan koordinasi antar otoritas sistem keuangan dilakukan baik secara bilateral maupun trilateral, dalam rangka melakukan harmonisasi kebijakan, pertukaran data dan/atau informasi, serta kepentingan koordinasi lainnya. Sebagaimana amanat Pasal 10 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia menempatkan masing-masing satu orang ADG sebagai Anggota Dewan Komisioner (ADK) Ex-Officio di OJK dan LPS. Peran strategis ADG Bank Indonesia sebagai Ex-Officio di kedua lembaga ini turut mendukung pelaksanaan koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan antara Bank Indonesia dan lembaga penugasan. 

Selain penempatan ADK Ex-officio, kerja sama dan koordinasi antar otoritas tersebut dilakukan mulai dari level pimpinan lembaga hingga level teknis. Koordinasi BI-OJK dijalankan dalam kerangka Forum Koordinasi Makroprudensial – Mikroprudensial (FKMM), sedangkan kerjasama dan koordinasi BI dan LPS dilakukan dalam kerangka penjaminan dan resolusi bank. Koordinasi ini dipayungi oleh suatu Keputusan Bersama atau Nota Kesepahaman antar lembaga serta petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Selanjutnya untuk menjembatani kegiatan kerja sama dan koordinasi termasuk pertukaran data bilateral maupun trilateral antara BI dengan OJK dan LPS, dibentuklah Focal Point

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Bank Indonesia juga menjalin kerja sama dan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang akan disampaikan lebih detil pada Protokol Manajemen Krisis.

Keanggotaan BI Pada Forum Internasional

Merespons pengalaman krisis keuangan global tahun 2008, G20 mendeklarasikan komitmen untuk melakukan langkah reformasi sektor keuangan global dengan tujuan memperkuat stabilitas sistem keuangan dan mengurangi peluang serta dampak terjadinya krisis di masa mendatang. Inisiasi reformasi sektor keuangan global menjadi tonggak sejarah baru bagi penguatan koordinasi antar otoritas global melalui pembentukan Financial Stability Board (FSB) yang dimandatkan G20 untuk mengawal implementasi reformasi dimaksud. 

Disadari bahwa peran reformasi keuangan global dan koordinasi antar otoritas bagi penguatan resiliensi sistem keuangan domestik sangat penting. Oleh karena itu, Bank Indonesia ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai fora internasional yang strategis di bidang SSK, diantaranya FSB dan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS).

1. Financial Stability Board (FSB)

Bank Indonesia telah menjadi anggota FSB sejak awal pendirian di 2009. Pada 2014, partisipasi otoritas sektor keuangan Indonesia dalam keanggotaan FSB diperluas dengan mengikutsertakan peranan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Partisipasi Bank Indonesia dan otoritas domestik dioptimalkan dalam berbagai tatanan struktur FSB baik di forum tingkat tinggi maupun tingkat teknis sesuai relevansi kewenangan otoritas dengan topik pembahasan di suatu forum. Koordinasi lintas otoritas juga diperkuat melalui pembentukan forum gugus tugas seiring dengan semakin pentingnya upaya mendorong implementasi rekomendasi FSB yang bersifat lintas sektor yang memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai otoritas. 


Secara garis besar, pembahasan topik reformasi sektor keuangan global mencakup empat agenda utama atau prioritas yaitu memperkuat ketahanan lembaga keuangan, mengurangi permasalahan lembaga keuangan yang “too big to fail”, memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan hingga mencakup market-based finance, serta reformasi pasar Over the Counter (OTC) derivatif. Di samping itu, topik lain juga dibahas seperti penguatan kebijakan makroprudensial, manajemen risiko, penjaminan deposito, dan penerapan standar akuntansi yang berkualitas. Pemantauan terhadap risiko baru yang berkembang juga terus dilakukan untuk mengakses serta memitigasi risiko dan dampaknya terhadap SSK, seperti risiko penurunan aktivitas correspondent banking, misconduct risk, perkembangan fintech, cyber risk dan cryptoasset serta di area sustainable finance.


2. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)

Keanggotaan Indonesia di BCBS diwakili oleh Bank Indonesia selaku otoritas makroprudensial dan OJK selaku otoritas mikroprudensial sektor keuangan di Indonesia. Forum ini merupakan standard setting body untuk regulasi prudensial perbankan dengan mandat untuk memperkuat pengaturan, pengawasan serta praktik perbankan global dalam rangka menjaga stabilitas keuangan. Secara garis besar, status adopsi kerangka Basel III oleh yurisdiksi anggota BCBS tergolong cukup baik dan tepat waktu. Elemen utama Basel III yaitu kerangka permodalan dan standar likuiditas Liquidity Coverage Ratio (LCR) telah diterapkan sebagian besar yurisdiksi anggota dalam regulasi domestik, termasuk Indonesia.  

 
Menyadari urgensi reformasi sektor keuangan, Bank Indonesia juga aktif dalam berbagai standing committee di dalam FSB dan forum regional, diantaranya:


  1. FSB Standing Committee on Assessment of Vulnerabilities (SCAV). SCAV beranggotakan bank sentral dari negara anggota FSB. Pembahasan pada forum ini fokus pada isu terkait aspek kerentanan dalam perekonomian global dan transmisinya ke sektor keuangan. 
  2. FSB Standing Committee on Supervisory and Regulatory Cooperation (SRC). SRC beranggotakan bank sentral, otoritas pengawas dan otoritas pasar dari negara G20 dan negara maju anggota FSB. Fokus tugas di forum ini terkait dengan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dan mikoprudensial sektor keuangan. 
  3. FSB Regional Consultative Groups (RCG) Asia. RCG Asia beranggotakan bank sentral, ototritas pengawas, dan kementerian keuangan dari negara anggota FSB dan Non-anggota FSB. Forum ini merupakan outreach kepada negara anggota non-FSB untuk mengkomunikasikan program kerja FSB kepada otoritas yang tidak menjadi anggota FSB dan memberikan landasan pemahaman yang sama bagi otoritas terkait di seluruh dunia terhadap isu strategis yang berkembang dan relevan di kawasan. 
  4. Executives Meeting of East Asia Pacific Working Group on Banking Supervision (EMEAP-WGBS). EMEAP-WGBS beranggotakan bank sentral dan otoritas pengawas dari wilayah Asia Timur dan Pasifik yang meliputi negara Australia, Tiongkok, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, New Zealand, Filipina, Singapura, dan Thailand. Forum EMEAP berperan penting dalam memperkuat kerjasama antar otoritas sektor keuangan di regional, termasuk mendiskusikan berbagai isu stabilitas keuangan yang menjadi perhatian bersama (common interest).


Lebih lanjut, untuk mendukung penguatan stabilitas dan pengembangan sistem keuangan, Bank Indonesia bersama otoritas keuangan terkait secara sukarela berpartisipasi dalam pelaksanaan Financial Sector Assessment Program (FSAP). Asesmen ini dilakukan rutin oleh International Monetary Fund (IMF) dan The World Bank yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi otoritas domestik dalam menjaga stabilitas dan menjaga akselerasi sistem keuangan, serta mengevaluasi kepatuhan implementasi terhadap standar/rekomendasi internasional.​

Financial Sector Assessment Program

Financial Sector Assessment Program (FSAP) adalah suatu mekanisme untuk menilai stabilitas dan kesehatan sektor keuangan suatu negara, serta potensi kontribusinya terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi secara komprehensif, khususnya potensi risiko sistemik (systemic risk) dan interkoneksitas (interconnectedness) antar sektor. FSAP digagas oleh IMF dan The World Bank pada tahun 1999, sebagai hasil pembelajaran dari krisis keuangan bahwa terdapat contagion effect dari kondisi sektor keuangan suatu negara kepada negara lainnya.

FSAP mengevaluasi stabilitas dan kesehatan sektor keuangan dengan memeriksa tiga area utama:​

  1. Risiko dalam Jangka Pendek: FSAP mengidentifikasi sumber, probabilitas, dan potensi dampak dari risiko utama terhadap stabilitas sistem keuangan dalam periode pendek.
  2. Kerangka Kebijakan Stabilitas Keuangan: FSAP mengevaluasi kerangka kebijakan terhadap ketahanan sektor perbankan dan sektor keuangan non-bank. Ini melibatkan stress test, analisis keterkaitan antar lembaga keuangan, dan serta cross borders spillover. Evaluasi juga dilakukan terhadap kerangka mikroprudensial dan makroprudensial, kualitas pengawasan lembaga perbankan dan non-bank, serta pengawasan terhadap infrastruktur pasar keuangan, dan kesesuaiannya dengan standar internasional.
  3. Kapabilitas Otoritas dalam Mengelola Krisis: FSAP menilai kemampuan otoritas, seperti pengawas, regulator, dan pembuat kebijakan, dalam menangani krisis keuangan jika risiko tersebut menjadi kenyataan. Ini termasuk fungsi financial safety net.

Selain itu, FSAP juga melakukan asesmen terhadap aspek pengembangan sektor keuangan, termasuk kebutuhan untuk mengembangkan institusi, pasar, infrastruktur, dan inklusi keuangan. Ini melibatkan evaluasi aspek hukum dalam sistem pembayaran, mengidentifikasi hambatan dalam daya saing, mengukur efisiensi sektor keuangan, menilai tingkat inklusi keuangan, serta mengevaluasi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi.

Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kerentanan utama dalam sistem keuangan lebih awal, terutama risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas sistemik dan keterkaitan antar sektor. Dengan cara ini, negara dapat lebih baik mengelola risiko ini dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Publikasi hasil asesmen FSAP juga membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kondisi sektor keuangan negara, memperkuat kepercayaan baik di dalam maupun luar negeri, serta meningktatkan investasi termasuk capital inflow dan aktivitas transaksi perdagangan antar negara.​

Partisipan FSAP

Setiap negara dapat mengajukan permintaan untuk dilakukan asesmen FSAP. Namun, pada tahun 2010, IMF telah menetapkan 25 negara, yang dianggap memiliki “systemically important financial sector" atau sektor keuangan yang memiliki dampak terbesar pada stabilitas keuangan global[1], sebagai negara yang wajib mengikuti FSAP secara rutin setiap 5 tahun. Dalam perkembangannya, di tahun 2013 jumlah negara yang wajib melaksanakan FSAP bertambah menjadi 29 negara[2]. Pemilihan negara-negara tersebut didasarkan atas sejumlah kriteria, terutama ukuran dari sektor keuangan dan keterkaitannya dengan sektor keuangan negara lain. Pasca-reviu kerangka FSAP di 2021, IMF telah memperluas cakupan negara yang wajib menjalani FSAP dari semula 29 negara systemically important financial sectors, menjadi 47 negara dengan rentang waktu pelaksanaan yang ditetapkan sesuai pendekatan berbasis risiko[3].

Meskipun tidak bersifat mandatory, mempertimbangkan manfaatnya yang besar bagi kepentingan nasional maupun global, banyak negara telah melalui asesmen FSAP. Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1999, sebanyak kurang lebih 150 negara telah menjalankan FSAP. Bahkan Sebagian dari negara tersebut telah melaksanakan asesmen sektor keuangan di bawah FSAP sebanyak 2 (dua) kali. Saat ini, negara-negara yang tergabung dalam G-20, termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk melakukan FSAP secara periodik.


Partisipasi Indonesia dalam FSAP

Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan FSAP secara reguler guna mendukung penguatan stabilitas dan pengembangan sistem keuangan domestik. Berdasarkan asesmen IMF atas “systemically important financial sector" pada tahun 2010 dan 2013, pelaksanaan FSAP Indonesia bersifat sukarela (voluntary), mengingat Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara dengan sistem keuangan yang berdampak sistemik. Namun, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan FSAP secara reguler setiap 5 (lima) tahun.

Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai manfaat dari pelaksanaan FSAP bagi suatu negara, diantaranya adalah identifikasi kerentanan utama di sektor keuangan, serta rekomendasi dalam rangka penguatan stabilitas sistem keuangan, khususnya terkait penguatan kualitas dan kapasitas dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, pendalaman pasar keuangan dan keuangan inklusif, serta dalam perumusan policy response yang tepat untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Pada perkembangannya, Indonesia masuk ke dalam negara yang wajib menjalani FSAP secara mandatory setiap lima tahun pasca hasil review IMF pada tahun 2021 yang memperluas cakupan negara negara “systemically important financial sectors" menjadi 47 negara.​

Manfaat FSAP

Hasil asesmen FSAP memberikan sejumlah manfaat bagi Bank Indonesia dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan dan perekonomian domestik yang berkelanjutan. Hasil asesmen FSAP yang mendalam terhadap sistem keuangan Indonesia mendukung penguatan kapabilitas Bank Indonesia, Pemerintah dan Otoritas keuangan lainnya secara komprehensif mengenai tantangan dan potensi risiko sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan serta kerentanan utama sektor jasa keuangan yang berpotensi menyebabkan krisis.

​Rekomendasi kebijakan yang konkret terkait penguatan regulasi perbankan, manajemen risiko, serta koordinasi otoritas mikro-makroprudensial, juga dapat menjadi referensi yang kredibel bagi Bank Indonesia, Pemerintah, dan otoritas keuangan lainnya dalam rangka mendukung sinergi kebijakan untuk memperkuat efektivitas kerangka kebijakan pengaturan, dan pengawasan sektor jasa keuangan, penguatan kerangka manajemen krisis dan financial safety nets, serta mendorong intermediasi dan meningkatkan inklusi keuangan.

 

Manfaat FSAP bagi Indonesia

FSAP dilaksanakan Indonesia untuk memperkuat sistem keuangan Indonesia sehingga dapat berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi. Publikasi hasil asesmen FSAP Indonesia diharapkan dapat meningkatkan pemahaman publik atas kondisi sektor keuangan domestik sehingga dapat memperkuat kepercayaan publik baik di level domestik maupun internasional terhadap sistem keuangan domestik. Penguatan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan domestik tersebut dapat turut mendukung peningkatan investasi termasuk capital inflow serta aktivitas transaksi perdagangan antar negara yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, berkesinambungan dan inklusif.​


Indonesia akan menjalani asesmen Financial Sector Assessment Program (FSAP) untuk ketiga kalinya pada periode 2023/2024 sebagai bagian dari reformasi sektor keuangan global. Pelaksanaan FSAP untuk Indonesia di periode ini berbeda dengan periode sebelumnya. Indonesia masuk ke dalam negara yang wajib menjalani FSAP secara mandatory setiap lima tahun, meski sebelumnya sudah secara voluntary mengikuti asesmen FSAP sebagai bentuk komitmen leading by example selaku negara anggota G20/FSB. 

Pada 8-11 Mei 2023, telah dilakukan Scoping Mission FSAP sebagai tahap awal untuk membahas ruang lingkup dan dan area pendalaman asesmen. Asesmen FSAP akan mencakup tiga pilar penting: analisis risiko, pengawasan, financial safety netdan pengelolan likuiditas sistemik. Selain itu, akan ada penilaian terkait infrastruktur keuangan, fintech, sistem pembayaran, dan risiko iklim. Evaluasi FSAP akan dilakukan dalam dua tahap yaitu pada Oktober 2023 dan Januari 2024.

​FSAP Indonesia 2023/2024 diharapkan dapat mendukung penguatan inovasi bauran kebijakan dalam menjaga ketahanan dan stabilitas sistem keuangan di tengah berbagai tantangan global. Hasil dari FSAP juga diharapkan dapat memperkuat sinergi kebijakan Pemerintah dan otoritas keuangan sejalan dengan penguatan mandat dan kewenangan masing-masing lembaga serta mekanisme koordinasi yang telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). ​


Sejalan dengan komitmen sebagai negara anggota G-20 untuk melaksanakan asesmen secara rutin, Indonesia telah menjalani asesmen FSAP yang kedua pada tahun 2016/2017. Untuk meningkatkan koordinasi nasional dalam rangka FSAP Indonesia yang lebih baik dan efektif serta memitigasi berbagai risiko, khususnya risiko reputasi dan risiko finansial, dibentuk Tim Kerja Nasional FSAP dengan koordinator OJK. Keanggotaan Tim Kerja Nasional FSAP berasal dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia, OJK, dan LPS. Asesmen FSAP tersebut mencakup tujuh area, yaitu Risk Analysis and Stress Testing, Macroprudential Policy, Liquidity Management, Microprudential Surveillance, Financial Safety Net, Crisis Management and Resolution, Financial Deepening, dan Financial Inclusion.

Hasil asesmen FSAP menunjukkan bahwa secara umum kondisi makroekonomi Indonesia dinilai kuat, ditunjang dengan sistem keuangan yang stabil dalam menghadapi volatilitas sistem keuangan global dan kerentanan domestik.  Sistem keuangan kuat ditengah perlambatan ekonomi, penurunan kredit, dan risiko dari sektor korporasi. Risiko sistemik dari sistem keuangan domestik dinilai rendah. Lebih lanjut, hasil stress test menunjukkan bahwa sistem perbankan resilien terhadap severe shocks, didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan profitabilitas yang tinggi.

​Sektor korporasi di Indonesia masih memiliki kerentanan, terutama karena meningkatnya risiko utang di beberapa sektor dan adanya risiko pendanaan dari luar negeri. Oleh karena itu, otoritas diminta untuk terus memantau risiko sistemik dan tetap waspada terhadap gangguan terhadap stabilitas keuangan.  Hasil asesmen FSAP telah dipublikasikan oleh IMF serta kementerian, otoritas, dan lembaga domestik. Tujuan publikasi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kondisi sektor jasa keuangan Indonesia, memperkuat kepercayaan baik di dalam negeri maupun internasional terhadap perekonomian Indonesia, yang pada akhirnya dapat meningkatkan investasi ke Indonesia. Selain itu, ini juga memberikan kemudahan bagi industri jasa keuangan untuk melakukan transaksi dengan pihak luar dan mengembangkan bisnis mereka di luar negeri.

Reformasi sektor keuangan di Indonesia telah memberikan kontribusi penting terhadap stabilitas dan perkembangan ekonomi. Beberapa pencapaian utamanya meliputi:

  1. Pendirian OJK pada tahun 2011 untuk memperkuat pengawasan sektor keuangan secara terintegrasi.
  2. Revisi kerangka manajemen krisis dan resolusi melalui Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) tahun 2016, yang membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan memberikan kewenangan resolusi lebih luas kepada LPS.
  3. Implementasi Basel III oleh OJK untuk memperkuat sektor perbankan.
  4. Pengembangan alat analisis untuk mengidentifikasi risiko sistemik.
  5. Implementasi berbagai instrumen kebijakan makroprudensial.
  6. Reformasi reformasi kerangka liquidity management oleh BI.

Performa perekonomian dan kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang baik tidak terlepas dari peran BI, khususnya didukung dengan intervensi BI dalam pasar valas dan obligasi, kebijakan moneter yang efektif merespon tekanan inflasi dan neraca pembayaran, kebijakan makroprudensial yang dapat mengatasi pertumbuhan kredit dan harga sektor properti yang signifikan. Lebih lanjut, kebijakan makroprudensial dinilai memadai dengan berbagai perkembangan yang telah dilakukan BI, meliputi: (i) penerbitan regulasi panduan kebijakan makroprudensial, (ii) perubahan organisasi, (iii) pengembangan tools analisis asesmen risiko sistemik, (iv) implementasi instrument makroprudensial yang secara langsung dikendalikan oleh BI melalui regulasinya seperti loan-to-value ratio dan loan-to-funding ratio-linked reserve requirement. Selain itu, peraturan hedging korporasi yang diterbitkan BI efektif menurunkan pertumbuhan utang luar negeri korporasi yang tinggi. Guna meningkatkan resiliensi sektor keuangan, serta mendukung pendalaman pasar keuangan dan keuangan inklusif, FSAP merekomendasikan otoritas untuk melanjutkan proses yang telah berjalan, serta melakukan penguatan mandat dan perlindungan hukum otoritas sistem keuangan, penguatan pengawasan sektor keuangan dan financialsafety net, serta melakukan pendalaman pasar dan inklusi keuangan.

​Ke depan, BI akan terus memperkuat Kerjasama dengan otoritas terkait untuk aktif memonitor tindak lanjut pemenuhan berbagai rekomendasi di area financial stability, financial safety net, pendalaman pasar keuangan dan inklusi keuangan serta penguatan regulasi dan pengawasan berbasis risiko di area AML/CFT khususnya untuk Penyelenggara Transfer Dana Bukan Bank dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank. Selain itu, BI juga mempersiapkan update perkembangan tindak lanjut yang akan dimonitor melalui pelaksanaan Article IV Consultation setiap tahunnya dan monitoring peer review oleh Financial Stability Board (FSB) yang dilaksanakan 2 (dua) tahun pasca pelaksanaan FSAP.

​Lampiran:

 

Pada tahun 2009/2010, Indonesia melakukan FSAP pertama kali untuk memperkuat stabilitas dan pengembangan sistem keuangan domestik setelah krisis keuangan global tahun 2008. Pada periode ini, pelaksanaan FSAP Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary), mengingat Indonesia belum termasuk dalam daftar negara dengan sistem keuangan yang berdampak sistemik. Asesmen FSAP mencakup empat standards dan codes yaitu: (i) Basel Core Principles (BCP); (ii) International Organization of Securities Commissions Principles of Securities Regulation (IOSCO); (iii) Core Principles for Systemically Important Payment Systems (CPSIPS); dan (iv) Monetary Policy Transparency (MPT).

​Hasil asesmen FSAP menunjukkan bahwa upaya penguatan kebijakan, terutama dalam kerangka kebijakan makroekonomi, pengawasan sektor keuangan, dan reformasi struktural, telah membantu Indonesia pulih dengan cepat dari krisis global tahun 2008. Sistem perbankan secara umum juga menunjukkan kondisi yang sehat. Perbankan memiliki permodalan yang kuat dan profitabilitas yang tinggi sehingga mampu menghadapi volatilitas makroekonomi. Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas keuangan dan mengembangkan sistem keuangan domestik.

​Penguatan sektor keuangan, terutama pasar modal, dianggap penting untuk mengurangi ketergantungan pada pendanaan perbankan. Meskipun pengawasan perbankan telah diperkuat, masih ada masalah dalam penanganan bank bermasalah dan manajemen krisis. Sejalan dengan hal ini, Indonesia merencanakan perubahan besar dalam regulasi sektor keuangan dengan pembentukan lembaga pengawas terintegrasi (OJK).

​Dalam hal kebijakan moneter, FSAP mengakui transparansi tinggi dalam kebijakan moneter Indonesia. Tujuan utama Bank Indonesia dalam kebijakan moneter telah tertuang dalam UU BI. Pada UU tersebut, BI memiliki kewenangan untuk menerapkan kebijakan moneter tanpa campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.  Keterkaitan antara kebijakan BI dan kebijakan fiskal juga didefinisikan dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, penerapan inflation targeted framework (ITF) pada tahun 2005 meningkatkan efektivitas kebijakan moneter BI secara signifikan dengan menyampaikan tujuan yang jelas kepada masyarakat luas guna menjaga ekspektasi inflasi. Dalam hal ini, BI telah memperkuat strategi komunikasi kepada masyarakat melalui berbagai media.

​Berdasarkan hasil asesmen tersebut, FSAP menyampaikan beberapa rekomendasi guna memperkuat resiliensi sistem keuangan Indonesia. Upaya penguatan regulasi perbankan dapat terus dilanjutkan antara lain terkait permodalan, eksposur pada pihak terkait, klasifikasi aset, dan pencadangan. Selain itu, otoritas dan perbankan dapat memperkuat kapabilitas dalam melakukan stress test. Di tengah upaya reformasi pengawasan sektor keuangan, otoritas dapat me-review kerangka pengawasan dan regulasi sektor keuangan untuk memastikan koordinasi mikro-makroprudensial berjalan dengan baik. Selanjutnya, otoritas juga perlu memperkuat mandat terutama terkait manajemen krisis dan perlindungan hukum otoritas sistem keuangan.

Lampiran:

Baca Juga