Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Februari 2021 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan
stabilitas nilai tukar Rupiah yang terjaga, serta sebagai langkah
lanjutan untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi nasional. Selain
itu, Bank Indonesia juga menempuh langkah-langkah kebijakan sebagai
tindak lanjut sinergi kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
dalam Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha
dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi sebagai berikut:
- Melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar;
- Melanjutkan penguatan strategi operasi moneter untuk mendukung stance kebijakan moneter akomodatif;
- Melonggarkan
ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling
sedikit 0% untuk semua jenis kendaraaan bermotor baru, untuk mendorong
pertumbuhan kredit di sektor otomotif dengan tetap memerhatikan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko, berlaku efektif 1 Maret 2021 sampai
dengan 31 Desember 2021 (Lampiran 1);
- Melonggarkan rasio Loan to Value/Financing to Value
(LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100% untuk
semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan), bagi
bank yang memenuhi kriteria NPL/NPF tertentu, dan menghapus ketentuan
pencairan bertahap properti inden untuk mendorong pertumbuhan kredit di
sektor properti dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko, berlaku efektif 1 Maret 2021 sampai dengan 31 Desember
2021 (Lampiran 2);
- Mempublikasikan “Asesmen Transmisi Suku
Bunga Kebijakan Kepada Suku Bunga Dasar Kredit Perbankan" untuk
mendukung percepatan transmisi kebijakan moneter serta memperluas
diseminasi informasi kepada konsumen baik korporasi maupun individu guna
meningkatkan tata kelola, disiplin pasar dan kompetisi di pasar kredit
perbankan (Lampiran 3);
- Memfasilitasi penyelenggaraan promosi
perdagangan dan investasi pada sektor-sektor produktif, sektor
pariwisata, serta melakukan sosialisasi penggunaan local currency settlement (LCS), baik di dalam maupun luar negeri, bekerja sama dengan instansi dan stakeholders
terkait. Pada Februari dan Maret 2021, serangkaian kegiatan promosi dan
sosialisasi akan diadakan di Jepang, Singapura, Malaysia, dan Thailand,
serta di Indonesia sebagai bagian dari Gerakan Nasional Bangga Buatan
Indonesia (Gernas BBI);
- Mendukung pengembangan ekosistem ekonomi
dan keuangan digital yang inklusif dan efisien khususnya UMKM dalam
rangka mendorong pemulihan ekonomi, termasuk Gernas BBI dan Gerakan
Bangga Berwisata Indonesia (GBWI) melalui:
- Memperpanjang MDR QRIS 0% bagi usaha mikro hingga 31 Desember 2021;
- Perluasan akseptasi QRIS 12 juta merchant dengan kolaborasi bersama PJSP, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
- Mendorong kolaborasi e-commerce, UMKM dan Pemerintah untuk memperkuat daya saing produk UMKM domestik baik untuk penjualan dalam negeri maupun ekspor
Ke depan, Bank Indonesia akan mengarahkan seluruh instrumen kebijakan
untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, dengan tetap menjaga
terkendalinya inflasi dan memelihara stabilitas nilai tukar Rupiah,
serta mendukung stabilitas sistem keuangan. Koordinasi kebijakan dengan
Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus diperkuat,
termasuk implementasi Paket Kebijakan Terpadu KSSK, dengan fokus pada
upaya untuk mengatasi permasalahan sisi permintaan dan penawaran dalam
penyaluran kredit/pembiayaan dari perbankan kepada dunia usaha pada
sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam rangka
pemulihan ekonomi nasional.
Pemulihan perekonomian global diprakirakan semakin membaik. Perkembangan tersebut sejalan dengan implementasi vaksinasi Covid-19 di banyak negara untuk membangun herd immunity dan
mendorong mobilitas, serta berlanjutnya stimulus kebijakan fiskal dan
moneter. Pemulihan ekonomi global yang lebih tinggi di negara maju
ditopang terutama oleh Amerika Serikat (AS), sedangkan di negara
berkembang didorong oleh perbaikan ekonomi Tiongkok dan India. Kinerja
positif sejumlah indikator pada Januari 2021 mengonfirmasi berlanjutnya
pemulihan ekonomi global tersebut. Purchasing Manager's Index
(PMI) manufaktur dan jasa di AS, Tiongkok dan India melanjutkan fase
ekspansi. Selain itu, penjualan ritel di Tiongkok dan keyakinan konsumen
di India juga terus meningkat. Dengan perkembangan tersebut,
pertumbuhan ekonomi global pada 2021 diprakirakan mencapai 5,1%, lebih
tinggi dari prakiraan sebelumnya sebesar 5,0%. Sejalan dengan perbaikan
ekonomi global tersebut, volume perdagangan dan harga komoditas dunia
terus meningkat sehingga mendukung perbaikan kinerja ekspor negara emerging, termasuk
Indonesia. Sementara itu, ketidakpastian di pasar keuangan global
diprakirakan menurun seiring dengan ekspektasi perbaikan perekonomian
dunia. Kondisi likuiditas global juga tetap besar dan suku bunga tetap
rendah sejalan dengan stimulus kebijakan moneter yang masih berlanjut.
Perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya aliran modal ke negara
berkembang dan menopang penguatan mata uang berbagai negara, termasuk
Indonesia.
Implementasi vaksinasi dan sinergi kebijakan nasional diprakirakan akan mendorong momentum pemulihan ekonomi nasional ke depan. Pada
triwulan IV 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 2,19% (yoy),
terutama karena masih lemahnya konsumsi swasta dan investasi bangunan
sebagai dampak masih terbatasnya mobilitas akibat pandemi Covid-19.
Meskipun lebih rendah dari perkiraan, ekonomi pada triwulan IV-2020
membaik dengan kontraksi yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya
sebesar 3,49% (yoy). Secara keseluruhan tahun 2020 ekonomi terkontraksi
2,07%. Ke depan, perbaikan ekonomi domestik diperkirakan akan berlanjut
sejalan dengan pemulihan ekonomi global dan akselerasi program vaksin
nasional oleh Pemerintah. Perbaikan kinerja ekspor terus berlanjut pada
beberapa komoditas, seperti CPO, batu bara dan besi baja, serta sejumlah
produk manufaktur seperti kimia organik, kendaraan bermotor, dan alas
kaki, yang kemudian akan mendorong kinerja sektoral. Perbaikan kinerja
ekspor tercatat di sejumlah wilayah, khususnya Sulampua (Sulawesi,
Maluku, Papua), Jawa, dan Sumatera. Sementara itu, untuk mendorong masih
lemahnya permintaan domestik, sinergi kebijakan ekonomi nasional terus
diperkuat. Sinergi kebijakan mencakup lima aspek yaitu: (i) pembukaan
sektor-sektor produktif dan aman, (ii) akselerasi stimulus fiskal, (iii)
penyaluran kredit perbankan dari sisi permintaan dan penawaran, (iv)
berlanjutnya stimulus moneter dan makroprudensial, serta (v) percepatan
digitalisasi ekonomi dan keuangan, khususnya terkait pengembangan UMKM.
Untuk keseluruhan tahun 2021, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada kisaran 4,3%-5,3%, lebih rendah dari perkiraan
sebelumnya pada kisaran 4,8%-5,8% sejalan dengan realisasi pertumbuhan
ekonomi pada triwulan IV-2020.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan tetap baik, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal.
NPI keseluruhan 2020 diprakirakan mengalami surplus, ditopang oleh
transaksi modal dan finansial yang meningkat dan defisit transaksi
berjalan yang menurun. Kinerja terkini menunjukkan aliran masuk modal
asing ke pasar keuangan domestik terus berlanjut, tercermin dari
investasi portofolio yang mencatat net inflows sebesar 8,5
miliar dolar AS dari periode Januari hingga 16 Februari 2021. Sementara
itu, neraca perdagangan pada Januari 2021 mencatat surplus sebesar 1,96
miliar dolar AS, melanjutkan surplus yang telah terjadi sejak Mei 2020.
Kinerja positif itu dipengaruhi oleh ekspor yang kembali mencatat
kenaikan sebesar 12,24% (yoy), ditopang terutama oleh permintaan dari
Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang, serta kenaikan harga komoditas
global. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2021
tercatat sebesar 138,0 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 10,5
bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar
3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap
rendah yaitu sekitar 1,0%-2,0% dari PDB pada tahun 2021, sehingga
mendukung ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia.
Nilai
tukar Rupiah menguat didukung langkah-langkah stabilisasi Bank
Indonesia dan berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan
domestik. Nilai tukar Rupiah pada 17 Februari 2021 menguat 0,22% secara rerata dan 0,07% secara point to point
dibandingkan dengan level Januari 2021. Penguatan nilai tukar Rupiah
didorong oleh peningkatan aliran masuk modal asing ke pasar keuangan
domestik seiring dengan penurunan ketidakpastian pasar keuangan global
dan persepsi positif investor terhadap prospek perbaikan perekonomian
domestik. Ke depan, Bank Indonesia memandang penguatan nilai tukar
Rupiah berpotensi berlanjut seiring levelnya yang secara fundamental
masih undervalued. Hal ini didukung oleh defisit transaksi
berjalan yang rendah, inflasi yang terjaga, daya tarik aset keuangan
domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun, serta
likuiditas global yang besar. Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan
stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan
bekerjanya mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi moneter dan
ketersediaan likuiditas di pasar.
Inflasi tercatat rendah sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang memadai.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Januari 2021 tercatat sebesar 0,26%
(mtm) atau 1,55% (yoy). Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh inflasi
inti yang terkendali pada level rendah sebesar 1,56% (yoy), sejalan
dengan pengaruh permintaan domestik yang belum kuat, kebijakan Bank
Indonesia dalam mengarahkan pembentukan ekspektasi inflasi, dan dampak
nilai tukar terhadap inflasi yang menurun. Inflasi kelompok administered prices
juga tercatat rendah, terutama didorong oleh normalisasi penurunan
tarif angkutan pascalibur akhir tahun. Sementara itu, inflasi kelompok volatile food
terkendali, meskipun terdapat tekanan dari kenaikan harga komoditas
pangan global dan tertahannya pasokan pada beberapa komoditas. Inflasi
pada tahun 2021 diprakirakan tetap terkendali dalam sasaran 3,0%±1%. Ke
depan, Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga stabilitas harga dan
memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah melalui Tim Pengendali Inflasi (TPI dan TPID), guna
mengendalikan inflasi IHK sesuai kisaran targetnya.
Sejalan dengan kebijakan moneter akomodatif Bank Indonesia dan sinergi dengan kebijakan fiskal Pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional, kondisi likuiditas di perbankan dan pasar keuangan tetap longgar. Sejak tahun 2020, Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing)
di perbankan sebesar Rp750,38 triliun (4,86% dari PDB), yang terdiri
dari Rp726,57 triliun pada tahun 2020 dan sebesar Rp23,81 triliun pada
tahun 2021 (per 16 Februari 2021). Sinergi ekspansi moneter Bank
Indonesia dengan akselerasi stimulus fiskal Pemerintah terus diperkuat
dengan pembelian SBN oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Setelah
pada tahun 2020 melakukan pembelian dari pasar perdana sebesar Rp473,42
triliun untuk pendanaan APBN 2020, pada 2021 Bank Indonesia melanjutkan
pembelian SBN dari pasar perdana untuk pembiayaan APBN Tahun 2021
melalui mekanisme sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, sebagaimana telah
diperpanjang tanggal 11 Desember 2020, hingga 31 Desember 2021. Besarnya
pembelian SBN di pasar perdana hingga 16 Februari 2021 sebesar Rp40,77
triliun, terdiri dari sebesar Rp18,16 triliun melalui mekanisme lelang
utama dan sebesar Rp22,61 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO).
Kondisi likuiditas yang longgar pada Januari 2021 telah mendorong
tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yakni
31,64% dan petumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tinggi sebesar 10,57%
(yoy). Dari besaran moneter, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada
Januari 2021 tetap tinggi, yakni sebesar masing-masing 18,7% (yoy) dan
11,8% (yoy).
Penurunan suku bunga kebijakan moneter dan
longgarnya likuiditas mendorong suku bunga terus menurun, meskipun
penurunan suku bunga kredit perbankan perlu terus didorong. Longgarnya likuiditas dan penurunan BI7DRR sebesar 125 bps sepanjang 2020 mendorong rendahnya rata-rata suku bunga PUAB overnight
sekitar 3,04%. Suku bunga deposito 1 bulan juga telah menurun sebesar
181 bps ke level 4,27% pada Desember 2020. Namun demikian, penurunan
suku bunga kredit masih cenderung terbatas, yaitu hanya sebesar 83 bps
ke level 9,70% selama tahun 2020. Lambatnya penurunan suku bunga kredit
disebabkan oleh masih tingginya suku bunga dasar kredit (SBDK)
perbankan. Selama tahun 2020, di tengah penurunan suku bunga kebijakan
BI7DRR dan deposito 1 bulan, SBDK perbankan baru turun sebesar 75 bps
menjadi 10,11%. Hal ini menyebabkan tingginya spread SBDK
dengan suku bunga BI7DRR dan deposito 1 bulan masing-masing sebesar
6,36% dan 5,84%. Dari sisi kelompok bank, SBDK tertinggi tercatat pada
bank-bank BUMN sebesar 10,79% diikuti oleh BPD 9,80%, BUSN 9,67% dan
KCBA 6,17%. Dari sisi jenis kredit, SBDK kredit mikro 13,75%, kredit
konsumsi non-KPR 10,85%, kredit konsumsi KPR 9,70%, kredit ritel 9,68%,
dan kredit korporasi tercatat 9,18%. Bank Indonesia mengharapkan
perbankan dapat mempercepat penurunan suku bunga kredit sebagai upaya
bersama untuk mendorong kredit/pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan
ekonomi nasional.
Ketahanan sistem keuangan tetap
terjaga, meskipun risiko dari berlanjutnya dampak Covid-19 terhadap
stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Desember 2020 tetap tinggi sebesar 23,81%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL)
tetap rendah, yakni 3,06% (bruto) dan 0,98% (neto). Di tengah kondisi
likuiditas yang longgar dan pertumbuhan DPK yang tinggi sebesar 10,57%
(yoy), perbaikan fungsi intermediasi dari sektor keuangan belum kuat,
tercermin dari kontraksi kredit pada Januari 2021 sebesar 1,92% (yoy)
dibandingkan dengan kontraksi 2,41% (yoy) pada Desember 2020. Dengan
perkembangan tersebut, Bank Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan
kredit/pembiayaan pada tahun 2021 dari semula pada kisaran 7%-9% menjadi
5%-7%. Sehubungan dengan itu, berbagai langkah terus diperkuat dengan
sinergi kebijakan KSSK, perbankan, dan dunia usaha untuk menjaga
optimisme dan mengatasi permasalahan sisi permintaan dan penawaran dalam
penyaluran kredit/pembiayaan dari perbankan kepada dunia usaha, dalam
rangka mendorong pemulihan ekonomi nasional. Sejalan dengan sinergi
kebijakan tersebut, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan makroprudensial
akomodatif melalui pelonggaran ketentuan kredit/pembiayaan di sektor
properti dan otomotif untuk mengakselerasi pemulihan intermediasi dengan
tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Bank
Indonesia juga mempublikasikan asesmen transmisi dari suku bunga
kebijakan ke suku bunga dasar kredit perbankan. Tujuan publikasi adalah
untuk memperluas diseminasi informasi kepada konsumen baik korporasi
maupun individu guna meningkatkan tata kelola, disiplin pasar dan
kompetisi di pasar kredit perbankan, di samping memperkuat transmisi
kebijakan moneter.
Transaksi Sistem Pembayaran baik tunai maupun nontunai termasuk digital payment tumbuh positif disertai pesatnya digitalisasi ekonomi dan keuangan. Uang
Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada Januari 2021 mencapai Rp803,2 triliun,
tumbuh 12,09% (yoy). Nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM,
Kartu Debet, dan Kartu Kredit pada Januari 2021 tercatat Rp621,7
triliun, mengalami kontraksi 1,95% (yoy) sejalan dengan masih
terbatasnya mobilitas dan lemahnya permintaan domestik akibat pandemi
Covid-19. Di sisi lain, transaksi ekonomi dan keuangan digital terus
tumbuh tinggi sejalan dengan meningkatnya akseptasi dan preferensi
masyarakat untuk berbelanja daring, meluasnya pembayaran digital dan
akselerasi digital banking. Pertumbuhan tersebut tercermin dari
nilai transaksi Uang Elektronik (UE) pada Januari 2021 sebesar Rp20,7
triliun, atau tumbuh 30,71% (yoy). Volume transaksi digital banking juga terus meningkat, pada Januari 2021 tumbuh 39,65% (yoy) mencapai 475 juta transaksi dan nilai transaksi digital banking
yang tumbuh 18,59% (yoy) mencapai Rp2.649,7 triliun. Bank Indonesia
memprakirakan tren digitalisasi akan terus berkembang pesat didorong
pesatnya digitalisasi, inovasi dan perluasan ekosistem baik secara
spasial dan sektoral. Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan sistem
pembayaran dalam rangka pengembangan ekosistem ekonomi dan keuangan
digital yang inklusif dan efisien, serta untuk mendorong penguatan
pemulihan ekonomi nasional, antara lain melalui perluasan akseptasi QRIS
berbasis komunitas dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi
nasional dan pengembangan UMKM termasuk UMKM syariah, pengembangan
infrastruktur ritel SP yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal untuk
mendorong efisiensi dan perluasan pasar keuangan serta elektronifikasi
bantuan sosial dan transaksi pemerintah. Untuk memperkuat penggunaan
Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di NKRI, Bank
Indonesia terus memperkuat komunikasi kepada masyarakat dalam bentuk
program Cinta Rupiah, Bangga Rupiah, dan Paham Rupiah.