Stabilitas sistem keuangan (SSK) terjaga pada 2023 di tengah ketidakpastian global yang masih berlanjut. Hal ini tecermin dari ketahanan sistem keuangan yang terjaga, diindikasikan oleh Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) yang berada pada zona normal sepanjang 2023 dengan intermediasi yang meningkat di tengah ketidakpastian global. Pada 2023, Bank Indonesia secara konsisten menetapkan bauran kebijakan yang diarahkan untuk menjaga stabilitas (pro-stability) melalui kebijakan moneter, serta mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) melalui kebijakan makroprudensial. Terjaganya SSK turut didukung oleh kebijakan sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau. Bauran kebijakan Bank Indonesia juga diperkuat dengan inovasi, sinergi, dan koordinasi Bank Indonesia baik dengan Pemerintah, otoritas terkait, dan mitra strategis lainnya.
Sistem keuangan domestik masih dihadapkan pada perlambatan ekonomi global dan divergensi pertumbuhan antarnegara. Optimisme pemulihan pada awal 2023 berangsur meredup sejalan dengan berlanjutnya efek luka memar (scarring effect) dan meningkatnya fragmentasi geopolitik-ekonomi. Kinerja ekonomi global pada 2023 juga diwarnai dengan divergensi pertumbuhan yang terjadi antarnegara. Ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India tetap kuat, sementara ekonomi Tiongkok melambat. Penurunan inflasi di negara masih berlanjut, namun masih berada di atas sasaran. Suku bunga kebijakan Fed Fund Rate (FFR) AS yang tinggi dikisaran 5,25-5,50% diprakirakan masih akan berlangsung lebih lama (high for longer) hingga paruh pertama 2024. Seiring dengan itu, tekanan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia menyebabkan depresiasi nilai tukar mata uang hampir seluruh mata uang dunia. Merespons hal tersebut, Bank Indonesia konsisten mengambil langkah-langkah stabilisasi sehingga nilai tukar Rupiah terapresiasi, lebih baik dibandingkan mata uang sejumlah negara di kawasan dan global. Di sisi lain, perekonomian domestik pada 2023 tetap kuat dan berdaya tahan ditengah tantangan terjadinya dampak rambatan dari perlambatan ekonomi dan tekanan kenaikan inflasi global dengan pertumbuhan sebesar 5,05%, terutama didorong oleh akselerasi belanja Pemerintah pada akhir tahun dan percepatan penyelesaian beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN).
Intermediasi perbankan melanjutkan pertumbuhan pada 2023 didukung oleh risk appetite yang terjaga dan likuiditas yang memadai. Kredit perbankan pada akhir 2023 tumbuh sebesar 10,38% (yoy), melambat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 11,35% (yoy), namun relatif membaik dibandingkan semester sebelumnya sebesar 7,76% (yoy). Perbaikan pertumbuhan kredit perbankan ditopang kredit produktif, baik Kredit Modal Kerja (KMK) maupun Kredit Investasi (KI), utamanya pada segmen korporasi. Membaiknya kinerja intermediasi terjadi di mayoritas sektor ekonomi, terutama didorong oleh sektor Perdagangan, Pengangkutan, dan Listrik, Gas, dan Air (LGA). Dari sisi permintaan, kinerja penjualan korporasi yang tumbuh positif, mendorong permintaan kredit korporasi terutama KMK. Peningkatan pembiayaan perbankan juga ditopang oleh peningkatan permintaan kredit konsumsi Rumah Tangga (RT) terutama kredit pemilikan rumah (KPR). Dari sisi penawaran, perbaikan intermediasi didukung risk appetite dan likuiditas perbankan yang memadai, tecermin dari Indeks Lending Standard (ILS) yang relatif stabil dan Indeks Lending Requirement (ILR) yang masih longgar. Sementara itu, kenaikan suku bunga kebijakan pada Semester II 2023 berdampak terbatas pada kenaikan suku bunga kredit Rupiah, sehingga turut berkontribusi pada terjaganya pertumbuhan kredit 2023. Sejalan dengan perbankan, intermediasi IKNB juga menunjukan perkembangan yang positif terutama pada perusahaan pembiayaan (PP) dan PT Pegadaian. Intermedasi IKNB turut didorong oleh maraknya inovasi pembiayaan berbasiskan ekosistem platform digital seperti e-commerce yang disalurkan PP dan financial technology (fintech).
Peningkatan intermediasi perbankan menghadapi tantangan kondisi funding gap, sehingga perlu penguatan pendanaan Non-DPK sebagai alternatif funding. Pada akhir 2023, DPK tumbuh sebesar 3,73% (yoy), lebih lambat dibandingkan pada 2022. Sejalan dengan pertumbuhan DPK yang lebih lambat dibandingkan kredit, funding gap pada akhir 2023 melebar hingga mencapai level tertinggi sejak 2010. Sementara itu, sumber dana non-DPK pada 2023 relatif stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan sumber dana non-DPK pada 2023 terjadi pada Pinjaman Yang Diterima (PYD) dan nilai penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk (EBUS), meskipun outstanding Surat-Surat Berharga (SSB) mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya tingkat pengembalian (yield) surat berharga. Di sisi lain, utang luar negeri (ULN) perbankan mengalami kontraksi pertumbuhan yang terjadi di hampir seluruh kelompok bank dipengaruhi kondisi suku bunga global yang lebih tinggi.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan intermediasi perbankan ditopang oleh pertumbuhan kinerja korporasi dan rumah tangga. Di tengah tantangan global yang masih berlanjut, kinerja penjualan korporasi sepanjang 2023 mencatat pertumbuhan positif sehingga mendorong permintaan kredit korporasi terutama KMK. Selain itu, pertumbuhan kredit turut didorong permintaan Kredit Investasi (KI) korporasi sejalan dengan pertumbuhan capital expenditure (Capex) yang positif meskipun investasi korporasi menghadapi tantangan dari kondisi high for longer dan perilaku wait-and-see menyikapi ketidakpastian menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Pertumbuhan pembiayaan perbankan juga ditopang oleh peningkatan permintaan kredit konsumsi RT seiring dengan terjaganya kinerja dan optimisme ekspektasi penghasilan RT. Disamping itu, kebijakan insentif fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) berdampak terhadap kenaikan pembelian properti residensial, sehingga mendorong meningkatnya permintaan KPR.
Ketahanan sektor keuangan terjaga seiring risiko yang terkendali mendukung pertumbuhan intermediasi. Ketahanan perbankan tecermin dari risiko kredit yang menurun, permodalan yang kuat, serta likuditas yang ample. Risiko kredit perbankan tetap terjaga dengan rasio Non Performing Loan (NPL) secara agregat sebesar 2,19% menurun dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,44%. Meski secara umum risiko kredit menurun, perbankan tetap memperkuat upaya mitigasi risiko ke depan dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang relatif tinggi, serta menjaga rasio permodalan Capital Adequacy Rasio (CAR) tetap tinggi. Likuiditas perbankan memperlihatkan ruang yang cukup untuk mendorong pertumbuhan kredit lebih lanjut. Rasio AL/DPK masih tercatat tinggi sebesar 28,73% pada 2023. Dari sisi IKNB, ketahanan Perusahaan Pembiayaan/PP, Fintech Lending, Pegadaian dan Modal Ventura tetap terjaga baik, tecermin dari kondisi permodalan yang baik dan risiko pembiayaan yang terkendali. Demikian juga Asuransi dan Dana Pensiun menunjukkan kinerja yang positif. Potensi spillover risiko dari IKNB ke perbankan relatif terbatas karena interkoneksi IKNB dengan sektor perbankan yang relatif kecil. Pesatnya perkembangan digitalisasi layanan keuangan baik oleh perbankan dan IKNB berpotensi meningkatkan kerentanan risiko siber. Penguatan ketahanan dan keamanan siber bagi penyelenggara layanan keuangan yang diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia menjadi krusial dalam mengantisipasi kerentanan dimaksud.
Ketahanan korporasi dan rumah tangga terjaga mendukung stabilnya repayment capacity. Ketahanan korporasi tecermin dari terjaganya repayment capacity dengan memadainya Interest Coverage Ratio (ICR) korporasi secara agregat yaitu sebesar 2,11 kali, membaiknya Probability of Default (PD), serta terjaganya rasio utang berisiko atau Debt at Risk (DaR). Namun demikian, penurunan excess saving korporasi di beberapa sektor yang dibarengi dengan pertumbuhan utang yang tinggi dan penjualan yang menurun perlu dicermati. Di sektor rumah tangga, risiko kredit tetap terjaga didukung kebijakan insentif fiskal dan peningkatan pendapatan yang mendorong terjaganya repayment capacity tecermin dari Debt Service Rasio (DSR) yang stabil.
Guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, Bank Indonesia konsisten berupaya meningkatkan inklusi ekonomi dan keuangan. Di sisi intermediasi, pembiayaan inklusif menunjukkan perkembangan yang positif. Pada 2023, kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tumbuh sebesar 8,03% (%yoy) dengan tingkat risiko yang terjaga, ditopang oleh dukungan program pemerintah Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta terjaganya kinerja usaha UMKM. Pembiayaan kepada UMKM turut didukung oleh peran IKNB, terutama PP dan fintech, untuk menangkap besarnya potensi pelaku UMKM yang unbanked, termasuk segmen Ultra Mikro. Semangat peningkatan inklusi ekonomi dan keuangan juga didorong melalui pembiayaan inklusif syariah yang tumbuh positif baik melalui sektor keuangan komersil syariah maupun keuangan sosial syariah. Bank Indonesia terus melakukan penguatan strategi pengembangan ekonomi dan keuangan inklusif, melalui empat pilar strategi, yaitu pemberdayaan ekonomi, perluasan akses dan literasi keuangan, peningkatan akses pembiayaan, serta pelindungan konsumen.
Kebijakan makroprudensial tetap diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (pro-growth) melalui konsistensi dan inovasi kebijakan. Kebijakan makroprudensial longgar terus diarahkan untuk mendorong pembiayaan kepada dunia usaha dan rumah tangga. Pada 2023, Bank Indonesia menetapkan stimulus kebijakan makroprudensial melalui implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong pembiayaan kepada sektor-sektor yang memberikan daya ungkit pertumbuhan yang besar. Kebijakan makroprudensial longgar diperkuat dengan melanjutkan pelonggaran Loan To Value/Financing To Value (LTV/FTV) serta kebijakan penurunan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan dalam penyaluran pembiayaan. Kebijakan makroprudensial pro growth lainnya dilakukan dengan mempertahankan Rasio Countercyclical Capital Buffer (CcyB), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), serta pendalaman kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Dalam rangka menjaga stabilitas makroekonomi dan SSK, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi dan koordinasi baik dengan Pemerintah, otoritas terkait, maupun mitra strategis lainnya. Koordinasi kebijakan nasional melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus diperkuat guna memitigasi berbagai risiko yang berpotensi menganggu SSK dan mendorong pembiayaan kepada dunia usaha, khususnya pada sektor-sektor prioritas. Sinergi dan koordinasi Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga dilakukan secara kontinu dalam rangka menjaga SSK.
Bank Indonesia terus melanjutkan dan memperkuat transformasi di area kebijakan sebagai pelaksanaan amanat dari Undang-undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Di area kebijakan makroprudensial, pada 2023 Bank Indonesia melakukan penguatan implementasi kebijakan makroprudensial longgar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan penerbitan dan implementasi KLM. Penyempurnaan ketentuan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Berdasarkan Prinsip Syariah (PLJPS) juga dilakukan dalam kerangka penguatan penanganan permasalahan bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Transformasi kebijakan Bank Indonesia juga mencakup penguatan berbagai ketentuan, seperti ketentuan pelindungan konsumen, ketentuan pasar uang dan pasar valuta asing, serta ketentuan penerbitan instrumen dan transaksi di pasar uang. Penguatan ketentuan akan terus dilakukan Bank Indonesia dengan pembentukan peraturan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam UU PPSK.
Ke depan, stabilitas sistem keuangan diprakirakan tetap terjaga dengan kinerja intermediasi yang membaik di tengah ketidakpastian global yang diprakirakan masih berlanjut pada 2024. Pengetatan kebijakan moneter negara maju yang berlangsung lebih lama (high for longer) serta inflasi yang masih tinggi menjadi tantangan bagi bank sentral secara global. Kondisi tersebut menyebabkan ekonomi global diprakirakan tumbuh sebesar 3,0% pada 2024. Di sisi lain, perekonomian domestik diprakirakan membaik dengan peningkatan pertumbuhan mencapai 4,7-5,5% pada 2024. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang meningkat, inflasi yang terjaga, suku bunga yang kondusif, serta berlanjutnya PSN mendorong optimisme peningkatan pertumbuhan kredit. Intermediasi perbankan ke depan juga didukung oleh ketahanan perbankan yang kuat, yaitu risiko kredit yang rendah dan permodalan yang tetap kuat. Dari sisi permintaan, pembiayaan korporasi diprakirakan meningkat seiring dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, konsumsi rumah tangga yang resilien turut meningkatkan permintaan kredit konsumsi. Dari sisi inklusi, kredit UMKM diprakirakan tumbuh meningkat seiring dengan perbaikan kinerja UMKM dan program KUR yang berlanjut di 2024. Dengan perkembangan tersebut, intermediasi perbankan diprakirakan tumbuh lebih tinggi menjadi sebesar 10-12% pada 2024 dan terus meningkat pada 2025 pada kisaran 11-13%.
Bank Indonesia akan melanjutkan arah kebijakan makroprudensial pro-growth didukung penguatan sinergi antarotoritas sistem keuangan, pemerintah, dan mitra strategis. Arah kebijakan makroprudensial longgar tersebut sejalan dengan siklus ekonomi dan keuangan yang masih dalam fase ekspansi. Seiring arah kebijakan makroprudensial pro-growth, Bank Indonesia melakukan pengawasan secara tidak langsung (surveilans) dan pengawasan langsung (pemeriksaan) secara tematik untuk memantau ketahanan sistem keuangan tetap terjaga. Guna mendukung arah kebijakan pro growth, Bank Indonesia senantiasa memperkuat sinergi lintas otoritas sektor keuangan dalam KSSK dan sinergi bilateral antara Bank Indonesia-OJK dan Bank Indonesia-LPS. Sinergi ditujukan sebagai antisipasi potensi rambatan ketidakpastian global dan domestik ke sistem keuangan domestik.