Cetak Biru Pengembangan

Start;Home;Fungsi Utama;Moneter;Ekonomi dan Keuangan Syariah;bukan default.aspx

​Cetak Biru Pengembangan EKSyar


​Sebagai bentuk konsistensi Bank Indonesia untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, akan berdampak positif bagi penguatan stabilitas moneter, sistem keuangan, dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pada tanggal 6 Juni 2017, Bank Indonesia telah mengeluarkan Cetak Biru (Blueprint) Ekonomi dan Keuangan Syariah sebagai panduan internal Bank Indonesia maupun dengan pihak eksternal yang berhubungan dengan aktivitas dan pelaksanaan cetak biru tersebut.

Dengan cetak biru ekonomi dan keuangan syariah ini, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan stabilitas sistem keuangan, tetap berperan serta dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah bersama stakeholder terkait dengan mengacu kepada prinsip dan nilai-nilai ekonomi, keuangan syariah yang berdimensi keadilan, transparansi, produktivitas, dan tata kelola yang baik (governance).

Cetak biru ekonomi dan keuangan syariah ini secara garis besar memuat 4 hal utama yaitu:

  1. ​Nilai-nilai dasar dan prinsip dasar pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. 
  2. Kerangka dasar kebijakan pengembangan. 
  3. Strategi dan rencana aksi. 
  4. Kerjasama dan koordinasi, baik dengan pihak internal maupun pihak eksternal dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah.  



​​

Cetak Biru Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah

Fungsi Bank Indonesia adalah sebagai regulator pasar uang syariah. Di samping itu, dibutuhkan fungsi baru seperti fungsi akselerasi dan inisiasi, terutama saat pengembangan ekonomi dan keuangan syariah menerapkan pendekatan ekosistem. Ekosistem ekonomi dan keuangan syariah saat ini sudah ada, namun belum terbangun secara sistematis. Untuk itu, dalam konsep cetak biru ini, peran Bank Indonesia dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah meliputi fungsi sebagai Akselerator, Inisiator dan Regulator (AIR).

Upaya pengembangan ekonomi dan keuangan syariah tidak dapat dijalankan secara parsial. Sektor keuangan tidak dapat berkembang optimal tanpa pertumbuhan yang baik di sektor ekonomi. Peran riset, asesmen, dan edukasi menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Demikian juga, kerjasama yang erat antar institusi semakin dibutuhkan dalam menjalankan strategi dan program sehingga lebih efektif. Karena itu, cetak biru pengembangan ekonomi dan keuangan syariah dibangun dalam 3 (tiga) pilar yang meliputi:  

Saat ini, proses penyerapan kerangka dasar pengembangan ekonomi dan keuangan syariah ke dalam platform kebijakan ekonomi nasional telah berjalan. Salah satunya melalui forum Komite Nasional Keuangan Syariah. Komite yang telah terbentuk pada tanggal 3 November 2016 berdasarkan Peraturan Presiden No.91 tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).

Pada tahap selanjutnya, KNKS diubah menjadi KNEKS pada tanggal 10 Februari 2020 berdasarkan PP 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. Berdasarkan Pasal 7 PP KNEKS, KNEKS diketuai oleh Presiden Republik Indonesia dan berdasarkan Pasal 9 KNEKS beranggotakan 15 (lima belas) kementerian dan instansi terkait yaitu: (i) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; (ii) Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; (iii) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; (iv) Menteri Agama, Menteri Perindustrian; (v) Menteri Perdagangan; (vi) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; (vii) Menteri Badan Usaha Milik Negara; (viii) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; (ix) Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; (x) Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; (xi) Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan; (xii) Gubernur Bank Indonesia; (xiii) Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan; (xiv) Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia; dan (xv) Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri. Adapun peta kerjasama institusi terkait pengembangan eksyar di Indonesia secara lebih rinci dijelaskan pada Gambar berikut ini.

KNEKS_2020_WEB.PNG


​Urgensi Kebijakan Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah



Upaya pengembangan keuangan syariah telah berlangsung sejak awal tahun 1990. Namun, pertumbuhan keuangan syariah belum secepat yang diharapkan. Karena itu, dilakukan pembaruan pendekatan yang diawali dengan perubahan paradigma bahwa perkembangan sektor keuangan syariah sangat ditentukan oleh keberhasilan pengembangan sektor usaha dan perdagangan, yang selanjutnya kita seb​​ut sebagai sektor ekonomi syariah, mengikuti paradigma "money follow the trade".  ​​
  


 

Pemberdayaan Ekonomi Syariah

Konsep money follow the trade ini berangkat dari pemahaman bahwa uang memainkan peran sosial (social role) dan uang mesti diinvestasikan pada kegiatan yang bertujuan mendorong keadilan sosial dan ekonomi, serta memberi nilai tambah bagi kesejahteraan individu dan masyarakat. Berbeda dengan konsep konvensional yang memungkinkan uang dijual atau disewakan untuk mendapatkan nilai lebih (surplus value by itself). Uang dalam konsep syariah hanya dapat diperoleh dari investasi dan perdagangan yang halal (lawful) dan berprinsip berbagi risiko dan keuntungan (Ayub, 2002). Uang dalam Islam hanya bisa diperoleh dari hasil perdagangan barang maupun jasa, karena itu strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah harus diikuti strategi kebijakan pengembangan sektor ekonomi.  

Hal lainnya yang menyebabkan Bank Indonesia perlu melakukan penyusunan blueprint yang mencakup area ekonomi dan keuangan syariah secara komprehensif adalah mengantisipasi pengaruh volatilitas perkembangan perekonomian global terhadap stabilitas perekonomian domestik. Pendekatan baru ini dinilai strategis dalam mengoptimalkan potensi ekonomi secara internal sekaligus merespon secara terstruktur tantangan eksternal. Perekonomian global diwarnai siklus turmoil yang makin besar, terutama sejak Great Depression tahun 1930an dan keruntuhan Bretton Wood System tahun 1971 yang menghapus convertibility USD dengan emas.  

Kondisi ini akhirnya melahirkan kesimpulan Joseph A Schumpeter bahwa “economic progress in capital society means turmoil”. Kondisi turmoil ini terus berlanjut dan efeknya menyentuh perekonomian domestik. Pada dua dekade terakhir, Indonesia mengalami efek negatif secara langsung dari kondisi krisis di regional berupa krisis keuangan Asia tahun 1998 dan saat krisis keuangan global tahun 2008.  

Setelah krisis keuangan global 2008, perekonomian masih terkena dampak negatif. World Bank, dalam “World Economic Situation and Prospect 2017”, mengevaluasi perkembangan ekonomi global dan menilai masih terjebak dalam episode pertumbuhan yang tumbuh rendah secara berkepanjangan. IMF dalam World Economic Outlook 2017 menyampaikan sepanjang tahun 2016, ekonomi dunia hanya mampu tumbuh 3,1 persen dan diperkiraan akan tumbuh menjadi 3,5 persen di tahun 2017 dan 3,6 persen di 2018.  

Rendahnya pertumbuhan global ini disebabkan rendahnya investasi global yang mendorong melemahnya global productivity growth di berbagai negara, tingginya level hutang luar negeri secara agregat dan disertai turunnya secara gradual pertumbuhan perdagangan dunia, yang hanya mencapai 1,2 persen di tahun 2016. Ironisnya, ekonomi yang tumbuh lambat ini masih berlangsung meski negara-negara maju telah melakukan injeksi likuiditas secara overdosis senilai lebih dari US 4 triliun untuk menghindari resesi global.  

Menyikapi kelemahan sistem perekonomian global tersebut, Bank Indonesia menilai perlunya untuk semakin intensif dalam mengembangkan sistem ekonomi dan keuangan syariah. Hal ini didorong keyakinan sistem ini memiliki potensi sebagai sumber pertumbuhan baru, memperbaiki stabilitas ekonomi dan keuangan domestik sehingga dapat tumbuh secara lebih berkelanjutan dan lebih berkeadilan.  ​

​Nilai dan Prinsip Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah​


Hal yang membedakan sistem ekonomi dan keuangan Islam dengan sistem ekonomi lain adalah berangkat dari sejumlah nilai dan prinsip dasar yang menjadi panduan nilai moral dan etika. Dalam blueprint ekonomi dan keuangan syariah ini, nilai-nilai ekonomi syariah dijabarkan meliputi kepemilikian, berusaha dengan berkeadilan, kerjasama dalam kebaikan, dan pertumbuhan yang seimbang dengan penjabaran sebagai berikut:  

  1. Kepemilikan

    Dalam konsep Islam, segala sesuatu pada hakikatnya adalah absolut milik Allah (QS Yunus: 55,66; QS Ibrahim: 2). Adapun manusia berperan sebagai khalifah, yang diberi kepercayaan dalam mengelolanya (QS Al Baqarah: 195; QS Ali Imran: 180). Meskipun hakikatnya harta milik Allah, namun manusia mendapatkan hak atas kepemilikan pribadi terhadap hasil dari usaha, tenaga, dan pemikirannya, berupa harta, baik yang didapatkan melalui proses pemindahan kepemilikan berdasarkan transaksi ekonomi maupun hibah atau warisan. Islam sangat menghormati hak kepemilikan pribadi, sekaligus menjaga keseimbangan antara hak pribadi, kolektif, dan negara. Pemahaman bahwa hakikat harta milik Allah penting dalam Islam karena Islam sangat menganjurkan kegiatan kedermawanan. 

  2. Berusaha dengan Berkeadilan

    Dalam konsep Islam, manusia didorong untuk giat berusaha (QS Al Jumuah: 10; QS Al Isra: 12; QS An Nahl: 14;) dan mampu memanfaatkan segala sumber daya yang berlimpah yang telah diciptakan Allah untuk manusia (QS Al Baqarah: 29; QS Ibrahim: 34). 
    Sebaliknya, pengakuan atas kepemilikan pribadi tidak diperbolehkan untuk menjadi dasar dari aktivitas akumulasi atau penimbunan harta kekayaan yang berlebihan (QS Al Humazah: 1-3). Islam menyadari manusia mempunyai kecenderungan (inherent) cinta terhadap harta (QS Ali Imron: 14; QS Al Fajr: 20; QS Asy Syura: 27; QS Al-Fajr: 20). Oleh karena itu, maka kecenderungan manusia untuk menumpuk harta dikendalikan dalam Islam dan diarahkan untuk mendorong berkembangnya sedekah dan perniagaan (QS An Nisa: 29). 
    Sementara tujuan individual atas hasil usaha ekonomi dibatasi agar tidak berlebihan, tujuan sosial diupayakan maksimal dengan menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan bersama (QS Al Hadid: 7; QS An Nur: 33; QS Al Baqarah: 267-268).
     
  3. Kerjasama dalam Kebaikan

    Kegiatan ekonomi secara individu dan berjamaah semuanya didorong dalam Islam. Namun ekonomi yang dilakukan secara berjamaah yaitu yang dijalankan berdasarkan kerjasama dan dilandasi semangat tolong menolong dalam kebaikan (QS Al Maidah: 2) dan berkeadilan (QS Shaad: 24) adalah kegiatan ekonomi yang lebih mendapatkan perhatian luas dalam nilai-nilai Islam. Demikian juga, kompetisi tetap didorong namun tidak dalam bentuk yang negatif. Kompetisi dalam Islam berdasarkan kerjasama (co-operative competition) dengan semangat berlomba-lomba dalam menebarkan kebaikan (QS Al Baqarah: 148; QS Al Maidah: 48). ​

  4. Pertumbuhan yang Seimbang

    Pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah dalam Islam bertujuan mewujudkan keberadaan manusia di dunia yaitu beribadah kepada Tuhannya dan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada manusia dan alam semesta selaku rahmatan lil ’alamin (QS Al Anbiya 107, QS Al Ankabut: 51). Karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah penting, namun dengan menjaga keseimbangan dengan sisi kesejahteraan spiritual dan kelestarian alam (QS Al Baqarah: 11,12). 

cetak biru - ekonomi syariah.pngPemberdayaan Ekonomi Syariah
  

Prinsip Dasar Ekonomi dan Keuangan Syariah

Dalam pengembangan sistem ekonomi dan keuangan syariah, Islam meletakkan prinsip-prinsip dasar ekonomi dan keuangan syariah. Prinsip itu dijalankan dalam instrumen zakat, dilarangnya riba dan maysir, berkembangnya ISWAF, dan muamalah, dengan penjelasan sebagai berikut:  

  1. Zakat

    Zakat memiliki fungsi dalam menj​alankan dua prinsip, yaitu:

    1. Kewajiban membayar zakat untuk harta di atas batasan tertentu (nisab) yang tidak digunakan selama periode tertentu (satu tahun) berperan dalam memberikan efek pengendalian harta yang dimiliki secara individu agar mengalir menjadi kegiatan ekonomi yang produktif. 

    2. Kewajiban menyantuni orang yang kurang beruntung melalui sejumlah tertentu (2,5%) dari zakat distribusi pendapatan untuk menjamin inklusivitas seluruh masyarakat. ​

  2. Larangan Maysir

    Transaksi keuangan diwajibkan memiliki keterkaitan terkait erat sektor riil, melarang transaksi yang bersifat spekulasi dan tidak produktif.  ​

  3. Larangan Riba

    Riba membuat aliran uang terhambat. Jenis usaha yang memiliki keuntungan di bawah nilai suku bunga (riba) akan sulit berkembang dan membatasi lapangan kerja. Bersamaan dengan pelarangan riba, Islam mendorong optimalisasi bisnis (jual beli) dan menerapkan prinsip berbagi risiko.  ​

  4. Infak, Sedekah dan Wakaf (Iswaf)

    Islam mendorong partisipasi publik untuk terlibat dalam membangun ketahanan sosial melalui instrumen infak, sedekah, dan wakaf. Hal ini mendorong proses menjaga keseimbangan dan kestabilan secara sosial dan menurunkan tingkat ketimpangan secara ekonomi dapat berjalan secara  alami.  ​

  5. Muamalah

    Transaksi muamalat berdasarkan kerjasama berkeadilan. Tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar), tidak boleh menimbulkan pertaruhan/perjudian (gharar), tidak boleh tidak adil (dzalim), tidak memperdagangkan sesuatu yang diharamkan (muharramat), bebas dari asimetrik informasi dan moral hazard serta tidak menyimpang dari Medina Market Rules


​Prinsip Dasar Ekonomi dan Keuangan Syariah

Nilai-nilai ekonomi syariah yang telah dijelaskan sebelumnya dengan didasari oleh fondasi akidah, akhlaq, dan syariat (aturan/hukum) dapat disarikan lebih lanjut dan diformulasikan menjadi 6 (enam) prinsip dasar (guiding principles) ekonomi dan keuangan syariah beserta 5 (lima) perangkat instrumennya. Keenam prinsip dasar tersebut memiliki keterkaitan dengan perangkat instrumen ekonomi dan keuangan syariah, masing-masing instrumen memiliki fungsi yang mencerminkan penerapan keenam prinsip dasarnya.

Perangkat instrumen ekonomi dan keuangan syariah beserta masing-masing prinsip dasar sebagai fungsi yang terkait ialah sebagai berikut:

1. Instr​umen Zakat

Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratannya. Secara bahasa, zakat berasal dari kata dasar zaka yang berarti tumbuh, bersih, dan baik (Qaradawi, 1999). Menurut istilah fikih, zakat mengacu pada bagian kekayaan yang ditentukan oleh Allah untuk didistribusikan kepada kelompok tertentu, sehingga secara fikih makan zakat secara umum berarti pengeluaran yang diwajibakan atas harta tertentu kepada pihak tertentu dengan cara tertentu. Kajian akademik ini tidak akan menguraikan penjelasan aspek fikih zakat secara lengkap, namun hanya akan menjelaskan fungsi implementasi instrumen zakat dalam perekonomian secara makro. Instrumen zakat memiliki 2 fungsi yang menjadi prinsip dasar pertama dan kedua, yaitu:  ​

Prinsip Dasar-1: Pengendalian Harta Individu

Harta individu harus dikendalikan agar terus mengalir secara produktif. Prinsip dasar ini merupakan fungsi zakat yang tidak banyak dikemukakan secara eksplisit dalam pembahasan dan kajian lain. Namun, prinsip ini merupakan fungsi ekonomi yang paling penting yang diemban oleh instrumen zakat. Berdasarkan fungsi ini, zakat akan mendorong harta yang tertumpuk dan tidak produktif untuk keluar mengalir secara produktif ke dalam aktivitas perekonomian. Aliran harta yang dikeluarkan tersebut dapat berupa investasi produktif pada sektor rill, maupun berupa infaq, shadaqah, dan wakaf. Dengan mengalirnya harta secara produktif, kegiatan perekonomian akan terus bergulir secara terus menerus.​​

Prinsip Dasar-2: Distribusi Pendapatan yang Inklusif

Pendapatan dan kesempatan didistribusikan untuk menjamin inklusivitas perekonomian bagi seluruh masyarakat. Prinsip dasar ini merupakan fungsi instrumen zakat yang lebih dikenal secara umum. Berdasarkan prinsip ini, distribusi pendapatan dari masyarakat dengan harta di atas nisab kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat, dalam hal ini masyarakat yang memiliki harta di bawah nisab, dapat tercipta.

Zakat tidak hanya instrumen yang berfungsi sebagai mekanisme distribusi pendapatan, namun juga sebagai mekanisme distribusi kesempatan. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat miskin akibat zakat, maka kesempatan untuk berusaha dan bekerja secara produktif juga akan tercapai. Keutamaan penyaluran zakat ialah meningkatkan daya beli masyarakat yang tergolong dalam kelompok yang berhak menerima zakat, sehingga kegiatan konsumsi dapat terus berlangsung secara inklusif menopang permintaan, yang pada gilirannya akan mendorong penyediaan supply barang dan jasa konsumsi tersebut.  ​​

2. Instrumen Pelarangan Atas Riba

Riba merupakan tambahan yang dipastikan. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Dalam konteks ini, riba seringkali diartikan sebagai suku bunga, berfungsi sebagai hasil atau tambahan yang ditetapkan di muka (ex-ante) secara pasti/tetap atas utilitas sejumlah dana. Hal ini dimungkinkan karena ekonomi konvensional menganggap bahwa uang adalah komoditas tersendiri sehingga memiliki harganya sendiri, yaitu suku bunga.  

 
Di lain pihak, ekonomi syariah memandang uang sebagai alat tukar yang tidak dapat diperdagangkan dengan sendirinya, sehingga sejumlah dana hanya dapat dianggap dapat mendatangkan hasil hanya jika dikaitkan oleh kegiatan sektor riil. Hal ini menyebabkan riba memiliki hubungan dengan maysir/perjudian seperti yang akan diuraikan pada instrumen selanjutnya.  ​
 
Riba yang berupa tambahan yang dipastikan, memperlihatkan adanya transfer risiko dari suatu pihak ke pihak lain. Dalam hal kegiatan pinjam-meminjam dengan dasar suku bunga, pihak yang meminjamkan meminta tambahan atas dana yang dipinjamkan secara pasti di awal transaksi. Pihak yang meminjamkan sama sekali tidak perlu terlibat dan bahkan tidak perlu mengetahui untuk apa dana yang dipinjamkan tersebut digunakan. Di lain sisi, pihak peminjam menanggung penuh risiko yang mungkin terjadi atas penggunaan dana tersebut. Jika dana tersebut dipakai untuk usaha di sektor riil, maka apapun hasil yang didapatkan pihak peminjam harus mengembalikan dana dengan tambahan (suku bunga) yang sudah ditetapkan oleh pihak yang meminjamkan.

Berdasarkan hal tersebut, maka investasi sektor riil hanya dapat menguntungkan jika hasil yang didapatkan bernilai lebih tinggi dari suku bunga yang ditetapkan. Hal ini menyebabkan investasi yang memberikan hasil di bawah suku bunga tidak akan layak (Gambar 1). Selain riba melanggar prinsip keadilan, di mana hanya satu pihak yang menanggung risiko, riba juga dapat menghambat bergulirnya kegiatan perekonomian, khususnya di sektor riil. Fenomena ini bahkan mendorong beberapa negara menerapkan suku bunga negatif dengan tujuan untuk mendorong investasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka instrumen pelarangan atas riba terkait dengan prinsip dasar yang ketiga yaitu:  ​​

Prinsip Dasar-3​: Bertransaksi Produktif dan Berbagi Hasil ​​​​

Ekonomi syariah menjunjung tinggi keadilan dan menekankan berbagi hasil dan risiko (risk sharing). Pelarangan atas riba akan meniadakan tambahan atas modal yang dipastikan di awal sehingga pemilik modal turut menanggung risiko dari kegiatan usaha. Peniadaan riba juga dapat memperbesar wilayah kelayakan investasi menjadi lebih optimal. Dari Gambar 1 terlihat bahwa peniadaan riba atau dalam hal ini suku bunga (i%) akan memperbesar wilayah investasi yang akan hidup sehingga mendorong pergerakan perekonomian untuk terus aktif dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Penerapan prinsip dasar ini akan mendorong kreativitas and produktivitas usaha untuk berlomba-lomba membuka peluang investasi di sektor riil.  ​

3. Instrumen Pelarangan atas Maysir atau Perjudian 

Maysir atau perjudian yang dimaksud tidak hanya terbatas pada aktivitas perjudian yang secara umum diketahui seperti permainan judi di kasino, perjudian dengan bertaruh pada hasil suatu permainan atau perlombaan. Yang dimaksud dengan perjudian adalah suatu kegiatan yang bersifat spekulatif (mengandalkan probabilitas) dan bersifat tidak pasti dan tidak terkait dengan kegiatan produktif di sektor riil. Keterkaitan dengan sektor riil inilah yang membedakan suatu kegiatan dikatakan investasi atau perjudian.

Pada kegiatan investasi, maupun terdapat ketidakpastian terdapat kaitan antara penggunaan modal dan keuntungan/kerugian yang dihasilkan dengan kegiatan jual/beli barang dan jasa di sektor riil yang dapat bermanfaat untuk masyarakat lainnya. Sementara kegiatan perjudian juga melibatkan spekulasi yang mengandung ketidakpastian namun penggunaan modal dan keuntungan maupun kerugian yang dihasilkan tidak terkait dengan kegiatan sektor riil. Dalam hal ini, kegiatan spekulatif itu tidak mendatangkan manfaat bagi perekonomian dan hanya membawa hasil untuk pihak yang melakukan perjudian (Gambar 2).  ​

Perbedaan Investasi dan Perjudian

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka instrumen pelarangan perjudian memiliki fungsi yang terkait dengan prinsip dasar yang keempat, yaitu:  

Prinsip Dasar-4: Transaksi Keuangan Terkait Erat Sektor Riil  

Ekonomi syariah mensyaratkan bahwa setiap transaksi keuangan harus berdasarkan transaksi di sektor riil. Menurut prinsip dasar ini, transaksi keuangan hanya terjadi jika ada transaksi sektor riil yang perlu difasilitasi oleh transaksi keuangan. Sektor keuangan ada untuk memfasilitasi sektor riil, seperti ungkapan money follow the trade dan tidak sebaliknya. Penerapan prinsip dasar ini akan menghindari financial bubble yang kerap terjadi pada ekonomi konvensional. Bahkan, sektor keuangan dapat berkembang atas beban (crowd out) sektor riil itu sendiri, seperti yang dikemukakan dalam salah satu paper dari BIS oleh Checcetti dan Kharroubi (2015).  

4. Instrumen Infaq, Shadaqah, dan Wakaf 

Jika dilihat dari sifatnya, instrumen infaq, shadaqah, dan wakaf dibedakan dengan zakat. Zakat merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan dengan persyaratan tertentu, sedangkan infaq, shadaqah, dan wakaf memiliki sifat sukarela. Infaq merupakan sebagian harta yang dikeluarkan untuk suatu kepentingan. Infaq berasal dari kata nafaqa yang mempunyai arti keluar. Kata infaq artinya mengeluarkan sesuatu untuk kepentingan yang baik (seperti memenuhi kebutuhan keluarga) maupun kepentingan yang tidak baik.

Sementara shadaqah bersifat lebih luas yaitu mengeluarkan harta atau bantuan material maupun non material seperti menolong dengan tenaga dan pemikiran secara bersungguh-sungguh. Shadaqah berasal dari kata shidq yang berarti benar. Sedangkan wakaf merupakan benda bergerak ataupun tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas, seperti yang dituliskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002). Sama halnya dengan instrumen zakat, naskah akademik ini tidak akan menguraikan penjelasan aspek fikih infaq, shadaqah, dan wakaf, namun hanya akan menjelaskan dalam konteks perekonomian secara makro.
 
Instrumen infaq, shadaqah, dan wakaf yang dikeluarkan secara sukarela untuk kepentingan masyarakat secara umum dapat memberikan kemanfaatan yang besar bagi perekonomian jika dapat dikelola secara produktif dan optimal. Implementasi instrumen infaq, shadaqah, dan wakaf memiliki fungsi yang terkait dengan prinsip dasar yang kelima, yaitu:
 

Prinsip Dasar-5: Partisipasi Sosial Untuk Kepentingan Publik

Sesuai dengan nilai ekonomi Islam, di mana pencapaian tujuan sosial diupayakan secara maksimal dengan menafkahkan sebagian harta untuk kepentingan bersama (QS Al Hadid: 7; QS An Nur: 33; QS Al Baqarah: 267-268). Implementasi dari prinsip dasar ini, jika dikelola secara optimal dan produktif akan menambah sumber daya publik dalam kegiatan aktif perekonomian. Gambar 3 berikut memperlihatkan bagaimana pengelolaan dan implementasi zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf secara optimal dapat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah dicanangkan oleh PBB dalam rangka menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup masyarakat dunia secara menyeluruh.  ​

 

Optimalisasi ZISWAF sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs)

5. Instrumen Aturan Transaksi Muamalah ​​

Pada dasarnya, empat instrumen sebelumnya terkait dengan fungsi di dalam suatu sistem perekonomian, namun belum secara langsung terkait dengan aturan-aturan yang berlaku dalam setiap transaksi muamalah dalam ekonomi syariah. Kepatuhan pada aturan-aturan ini menjadi persyaratan atas terciptanya suatu perekonomian syariah yang didukung oleh keempat instrumen lainnya, karena tidak terpenuhinya persyaratan dari suatu transaksi akan mengganggu keseimbangan dan efektivitas implementasi prinsip dasar lainnya dalam suatu sistem perekonomian syariah. Perangkat aturan transaksi muamalah, khususnya transaksi dalam perdagangan dan pertukaran dalam perekonomian tersebut adalah: 
  1. ​​Pelarangan atas gharar atau ketidakjelasan, segala unsur dalam transaksi harus transparan. 
  2. Pelarangan atas dharar atau barang/hal yang membahayakan keselamatan, contoh: petasan, senjata (bukan milik negara). 
  3. Pelarangan atas muharammat atau barang yang mengandung zat haram, seperti mengandung babi, bangkai, minuman memabukkan, dll. 
  4. ​Pelarangan atas ke-dzalim-an atau ketidakadilan, transaksi tidak boleh merugikan atau mengeksploitasi satu pihak untuk keuntungan pihak lain. 
Kepatuhan atas instrumen aturan transaksi muamalah ini berkaitan dengan fungsi pada prinsip dasar keenam, yaitu: 

Prinsip Dasar-6: Bertransaksi Atas Dasar Kerjasama dan Keadilan​

Sejalan dengan nilai-nilai ekonomi Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kerjasama, dan keseimbangan, setiap transaksi muamalah, khususnya transaksi perdagangan dan pertukaran dalam perekonomian harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam syariat. Aturan yang lebih khusus dalam mengatur transaksi perdagangan telah ditetapkan langsung oleh Rasulullah SAW pada saat beliau mengatur perdagangan di pasar Madinah yang esensinya masih terus berlaku dan dapat diterapkan pada saat sekarang. Aturan transaksi pasar di Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW tersebut ialah antara lain (Iqbal dan Mirakhor, 2013): ​

  1. Kebebasan pertukaran; kebebasan agen ekonomi untuk memilih tujuan dan rekan dagang sesuai prinsip syariah, tidak ada paksaan dalam transaksi.  

  2. Pasar merupakan tempat pertukaran; infrastruktur pasar dan sarana pertukaran yang lengkap dengan informasi terkait kuantitas, kualitas, dan harga diberikan secara transparan. Menghindari ketidakjelasan/ambiguity (gharar); minimasi asymmetric information.  ​

  3. Campur tangan dalam proses penawaran (supply) sebelum berada di pasar tidak diperbolehkan karena dapat mengganggu kepentingan awal penjual maupun pembeli (tengkulak dilarang).  ​

  4. Pasar bebas; tidak ada batasan area perdagangan (antardaerah, antarnegara) tanpa tarif/pajak atau price control.  ​

  5. Kelengkapan kontrak transaksi; setiap kontrak harus memuat hak dan kewajiban, pertukaran kepemilikan dan aturan lainnya secara lengkap. Menaati kontrak dan menyampaikan kebenaran informasi merupakan suatu yang sakral.  ​  

  6. Kewenangan pihak otoritas dan penegak hukum ditegakkan untuk menjaga kepatuhan atas aturan maupun kontrak. 


​Keterkaitan antar Prinsip Dasar dan Cara Islam Menghidupkan Ekonomi

​​

Sama halnya dengan nilai-nilai ekonomi Islam yang merupakan turunan dari satu kesadaran bahwa segala sesuatu adalah absolut milik Allah, keenam prinsip dasar ekonomi syariah juga merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat diterapkan secara parsial dan bersandar pada keseluruhan nilai-nilai ekonomi Islam tersebut. Penerapan prinsip-prinsip dasar tersebut akan menghidupkan siklus perekonomian secara terus-menerus, bergulir sesuai dengan kehendak Allah. Interaksi antar kelima instrumen dan antar keenam prinsip dasarnya dapat dipetakan pada Gambar 4.  

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, interaksi dan implementasi Prinsip Dasar-1 sampai Prinsip Dasar-5 pada dasarnya mempengaruhi aliran harta dan sumber daya dalam menentukan jalannya sistem perekonomian, sementara Prinsip Dasar-6 mengatur interaksi tiap-tiap transaksi individu di pasar yang merupakan interaksi antara produsen dan konsumen, maupun interaksi antar masing-masingnya. Pada Gambar 4, hal ini digambarkan dengan garis putus-putus, di mana bagian yang di sebelah kiri memperlihatkan interaksi perekonomian secara sistem, sementara bagian di sebelah kanan memperlihatkan interaksi individu pelaku dalam transaksi muamalah dalam perekonomian.  

Dimulai dari implementasi Prinsip Dasar-1 melalui instrumen zakat, harta yang tidak produktif berupa tanah, rumah/properti, emas, uang dan lain sebagainya yang berada di atas nisab yang telah ditentukan, akan didorong untuk mengalir baik sebagai investasi komersial yang mendatangkan profit atau keuntungan, maupun melalui instrumen infaq, shadaqah, dan wakaf (ISWaf) seusai Prinsip Dasar-5 untuk kepentingan publik baik untuk mendukung kegiatan produktif maupun meningkatkan daya beli masyarakat miskin melalui penyaluran konsumtif. Penggambaran adanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) bersama dengan zakat harta, menunjukkan adanya kesamaan fungsi keduanya jika PBB dan PKB berlaku progresif dan tidak diberlakukan untuk rumah ataupun properti tempat tinggal yang pertama, dengan asumsi bahwa properti tersebut murni untuk memenuhi kebutuhan dasar.  ​​


 

 

Keterangan: nomor dalam bulatan merah menandakan urutan prinsip dasarnya.  

Konsep Cara Islam Menghidupkan Perekonomian  

Selanjutnya, harta yang telah didorong mengalir tersebut tidak akan mengalir secara optimal jika masih terdapat riba yang menunjukkan batas bawah investasi akan terjadi. Untuk itu pelarangan riba dengan fungsi sesuai Prinsip Dasar-3, akan membuka keran investasi secara maksimal. Namun demikian, fungsi Prinsip Dasar-3 masih tidak dapat menjamin bahwa seluruh harta yang didorong mengalir tersebut akan sampai pada kegiatan produktif di sektor riil tanpa adanya pelarangan atas maysir/judi melalui penerapan fungsi Prinsip Dasar-4, karena perjudian akan mengalihkan aliran harta tersebut kembali ke penumpukan awal. Hanya dengan fungsi Prinsip Dasar-4 lah seluruh transaksi di sektor keuangan akan mencerminkan transaksi di sektor riil baik untuk memfasilitasi kegiatan produksi maupun konsumsi.

Di sisi lain, aliran harta yang sudah mengalir dari pelaku ekonomi dengan pendapatan cukup atau tinggi, instrumen zakat yang menjalankan fungsi dari Prinsip Dasar-2 akan memastikan bahwa masyarakat miskin pun dapat turut serta dalam roda perekonomian melalui peningkatan daya beli akibat penyaluran zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar konsumsi masyarakat berpendapatan rendah tersebut. Selanjutnya, melalui pemanfaatan dana sosial ISWaf disertai dengan program pendampingan dan peningkatan kapasitas (capacity building) seperti pada Gambar 3, masyarakat penerima zakat (mustahik) akan mendapatkan kesempatan untuk turut berproduksi dan secara bertahap diharapkan akan dapat meningkat menjadi pembayar zakat (muzaki).

Peta perekonomian pada Gambar 4 juga memperlihatkan peran prinsip dasar ekonomi syariah pada komponen permintaan domestik, yaitu melalui konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) yang bersumber dari penerimaan pajak dan pendapatan asli daerah (PAD) dan bermuara pada total pendapatan (Y). Dalam penggambaran ini, sistem perekonomian yang dipetakan masih bersifat tertutup karena belum memperlihatkan komponen perekonomian terbuka seperti aliran ekspor (X) dan impor (M). Pada dasarnya pemetaan ini juga dapat mengakomodir perekonomian terbuka jika sebagian  permintaan domestik tidak dapat terpenuhi oleh produksi domestik, dipenuhi oleh barang impor. Sebaliknya, keunggulan produksi domestik yang sudah tidak dapat diserap lagi oleh permintaan domestik, dapat diperdagangkan ke luar negeri melalui ekspor.

Interaksi antara Prinsip Dasar-1, Prinsip Dasar-2, dan Prinsip Dasar-5 melalui instrumen ZISWaf, pada dasarnya akan meningkatkan pertumbuhan yang tercermin dari peningkatan Production Possibility Frontiers (PPF) melaui peningkatan kedua faktor produksinya yaitu barang modal (investasi) dan barang konsumsi (grafik pada Gambar 2-2). 

Secara umum, implementasi instrumen dan prinsip dasar ekonomi syariah tidak merubah arah aliran dana pada perekonomian. Peran dari implementasi instrumen dan prinsip dasar ekonomi syariah lebih kepada penguatan instrumen dan mekanisme yang sudah ada dan berjalan pada konsep ekonomi umum. Jika dilihat dengan pendekatan kerangka Financial Programming and Policies (FPP) yang memperlihatkan interaksi antarkomponen makroekonomi dan penggunannya dalam perumusan kebijakan pengembangan ekonomi, ekonomi syariah juga dapat menggunakan instrumen yang serupa namun berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Gambar 2-3).  


 

 

Peran Ekonomi dan Keuangan Syariah dalam Kerangka FPP

Sebagai contoh, ekonomi syariah juga memiliki konsep pembiayaan ekonomi melalui pembiayaan pemerintah maupun swasta melalui penerbitan sukuk pemerintah maupun sukuk korporasi. Di samping itu, pembiayaan sektor swasta juga dapat menggunakan beberapa akad pembiayaan sesuai kebutuhan seperti musyarakah maupun mudharabah untuk usaha bersama, ataupun ijarah dan murabahah untuk sewa dan jual beli. Lebih jauh lagi, penerapan prinsip syariah dengan perangkat instrumennya akan memperkuat instrumen yang sudah ada melalui instrumen ZISWaf yang mungkin selama ini termasuk dalam transfer antar rumah tangga. Namun demikian, mengingat ZISWaf memiliki fungsi yang telah dijelaskan sebelumnya melalui Prinsip Dasar-1, 2, dan 5, maka hasil interaksi yang terjadi akan lebih kuat dibandingkan dengan transfer antar rumah tangga biasa. Utilisasi ZISWaf akan mendorong aliran transfer tersebut menjadi lebih berkesinambungan dan menciptakan basis sumber daya yang lebih luas akibat pembentukan ​​aset produktif perpetual melalui wakaf. Hal inilah yang akan meningkatkan basis pembentukan barang modal yang lebih luas, mendorong kurva PPF keluar.

Di samping itu, penggunaan instrumen pembiayaan syariah juga akan memperkuat mekanisme pembiayaan ekonomi melalui penerapan Prinsip Dasar-3 dan Prinsip Dasar-4 yang menjamin stabilitas sistem akibat seimbangnya sektor keuangan dengan sektor riil, keseimbangan sektor produksi dengan sektor konsumsi, dan mekanisme berbagi risiko. Implementasi instrumen zakat melalui fungsi Prinsip Dasar-1 juga akan memperkuat mekanisme pembiayaan perekonomian dengan meminimasi penumpukan kekayaan ataupun aset yang tidak produktif untuk terus mengalir sebagai investasi di sektor riil.​

Baca Juga