Edukasi

BI Icon
Tabloid Kontan (13 Maret 2009)
3/13/2009 10:58 AM
Hits: 4739

Kekhawatiran Bank Sentral oleh Junanto Herdiawan

Artikel
Penulis :  
Nomor :  

KEKHAWATIRAN BANK SENTRAL
Junanto Herdiawan
Peneliti Ekonomi

“The job of a central bank is to worry,” kata Alice Rivlin, mantan wakil ketua The Fed.

Saat ekonomi tumbuh pesat, bank sentral jadi pihak yang khawatir pada memanasnya ekonomi dan tingginya inflasi. Saat ekonomi dilanda resesi, bank sentral khawatir dengan melambatnya pertumbuhan.

Kekhawatiran demi kekhawatiran inilah yang menjadi bisnis bank sentral. Dalam istilah Epicurus, seorang filsuf Yunani Kuno, kekhawatiran adalah buah dari sikap prudence, atau kehati-hatian.

Kekhawatiran bank sentral yang paling tampak sekarang adalah menghadapi dampak krisis ekonomi global. Direktur Pengelola IMF Dominique Strauss-Kahn memprediksi krisis global telah menyebar dan merambah Negara-negara dengan pendapatan rendah. Namanya krisis gelombang ketiga. Itulah saat dampak ambruknya pasar financial dan pasar kredit menyentuh sektor konsumsi.

Padahal, dalam beberapa tahun belakangan, lebih dari 42 bank sentral di dunia, termasuk Inggris, menerapkan kerangka kebijakan moneter ITF (Inflation Targeting Framework). Dalam kerangka ini, kebijakan moneter ditargetkan mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang. Inflasi jadi satu-satunya kekhawatiran bank sentral dalam mewujudkan kredibilitas kebijakan moneter.

Namun, krisis global telah mengubah kredo ini. Inflasi bukan persoalan utama. harga komoditas dunia yang anjlok dan pertumbuhan ekonomi yang melambat telah menurunkan tekanan inflasi. Fokus bank sentral tak lagi pada inflasi, tapi mencari cara mengatasi menciutnya pertumbuhan ekonomi.

Dalam menyikapi kondisi tadi, kebijakan moneter seluruh bank sentral seragam: memangkas suku bunga.

Namun, langkah untuk memangkas suku bunga mulai kehilangan efektivitasnya di berbagai negara. Lebih lagi bila suku bunga kebijakan telah mendekati 0%, seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Pasalnya, perbankan tidak serta merta mengikuti penurunan itu pada bunga kredit mereka.

Lantas, bank sentral mencari alternatif kebijakan lain. ITF yang selama ini dipegang, untuk sementara, terlupakan.

Soal BI rate

Amerika Serikat telah menerapkan kebijakan quantitative easing money policy. Kebijakan ini dilakukan dengan intervensi langsung bank sentral di pasar keuangan dan perbankan dengan membeli utang korporasi dalam bentuk surat berharga. Tujuannya, selain menambah likuiditas, juga mengurangi spread antara biaya pinjaman perusahaan dan pemerintah. Cara ini memang tidak konvensional karena bank sentral bisa dianggap menciptakan uang dalam perekonomian. Namun di Inggris, cara ini mulai disosialisasikan Menteri Keuangan Alistair Darling, Bank Of England akan mengumumkannya dalam waktu dekat.

Kondisi fundamental ekonomi Indonesia, tentu, berbeda. Tapi, Bank Indonesia menyimpan kekhawatiran yang sama. Prediksi BI mengatakan bahwa ekonomi tahun 2009 diperkirakan tumbuh 4%, bahkan di bawah itu. melemahnya pertumbuhan kredit juga menjadi factor risiko yang perlu dicermati.

Maka, Bank Indonesia terus memangkas BI rate. sejak Desember 2008, BI rate sudah dipangkas sebesar 175 bps, dari 9,5% menjadi 7,75%.

Pertanyaan selanjutnya untuk BI rate adalah how low can you go? Pertanyan ini terkait keraguan banyak pengamat pada kondisi neraca pembayaran, tekanan pada nilai tukar rupiah, dan daya saing Indonesia di mata investor.

Kekhawatiran Bank Indonesia adalah semakin melemahnya perekonomian domestik. Sementara, upaya pengamatan dilakukan di sisi neraca pembayaran. Meski mengalami tekanan, posisi neraca pembayaran Indonesia masih pada batas aman. Jumlah utang luar negeri jatuh tempo pemerintah dan swasta diindikasikan masih terkendali.

Cadangan devisa, yang saat ini pada posisi US$ 50,56 miliar, mampu memenuhi 5,4 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumalah cadangan devisa ini juga bertambah dengan masuknya hasil penjualan global bond US$ 3 miliar. Dengan tingkat suku bunga sekarang, Indonesia pun dinilai masih menarik bagi investor. Tekanan inflasi tahun ini masih relative rendah.

Dalam kondisi perekonomian yang penuh turbulensi seperti saat ini, tantangan ekonomi Indonesia masih berat. Pemilu tahun ini akan menyita perhatian sebagian besar pengelola ekonomi negeri. Dalam kondisi itu, perlu tetap ada pihak-pihak yang berfungsi penuh mengelola ekonomi negeri.

Di sinilah perlunya kita tetap memiliki bank sentral yang khawatir.

Lampiran
Kontak
Junanto Herdiawan, email : iwan@bi.go.id
Halaman ini terakhir diperbarui 9/30/2020 8:10 PM
Apakah halaman ini bermanfaat?
Terima Kasih! Apakah Anda ingin memberikan rincian lebih detail?

Baca Juga