Krisis ekonomi dan keuangan seringkali mengakibatkan munculnya bank gagal. Selaku pengawas bank, dalam kondisi seperti ini, BI selalu dituding tak mampu melakukan tugas pengawasan bank dengan baik. Padahal situasi yang ada tak seperti kondisi normal, sehingga persoalan yang dihadapi menjadi sedemikian kompleks. Masyarakat perlu tahu bahwa upaya penanganan dan pengawasan bank tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Inilah yang ingin dijelaskan BI melalui penerbitan buku mengenai pengawasan bank di Indonesia.
Membangun sebuah sistem pengawasan bank yang ideal adalah sebuah perjalanan sejarah yang memerlukan waktu dan upaya yang panjang. Melengkapi atau merombak tatanan yang telah ada untuk mendapatkan suatu bangunan terbaik sesuai dinamika jaman, seringkali harus dilakukan. Terkadang perjalanan sejarah itu ditoreh dengan tinta emas tatkala sistem pengawasan bank yang diberlakukan mampu menjaga kinerja bank tetap baik dan kondisinya sehat walafiat. Namun tatkala terjadi gonjang-ganjing di sektor perbankan seperti ketika krisis keuangan dan perbankan tahun 1997/1998 dan krisis global 2007/2008, seakan menjadi masa kelam dalam catatan sejarah pengawasan bank. Betapa tidak, sebagian besar orang di negara ini mencibir dan berpendapat bahwa pengawasan bank oleh BI payah.
Sebenarnya pasang surut dalam upaya membangun sistem pengawasan bank yang handal pun terus dilakukan. Perkembangan jaman dan teknik dalam mengawasi bank yang berlaku umum (best practice) ikut menjadi bahan referensi. Dinamika dalam proses pengawasan bank inilah yang coba dituangkan BI dalam sebuah buku kecil yang diberi judul “Dinamika Transformasi Pengawasan Bank di Indonesia”. Buku ini membahas berbagai isu mulai dari proses evolusi yang dilakukan BI untuk memperkuat pengawasan bank, penerapan 25 Banking Core Principless (BCP) dalam membangun sistem pengawasan bank yang lebih efektif, penerapan prinsip-prinsip cara mengenal perilaku bank yang diawasi, hingga bagaimana merencanakan suatu mekanisme pengawasan bank yang baik. Juga dikupas soal quality assurance, etika dalam budaya pengawasan bank hingga soal SDM dan organisasi pengawasan bank di Bank Indonesia.
Ketika Bank for International Settlement (BIS) yang bermarkas di Swiss merilis sistem pengawasan berbasis risiko (Risk Based Supervision/RBS) tahun 1997, Bank Indonesia pun mempertimbangkan juga untuk merujuk model baru pengawasan bank tersebut. Hal itu terlihat ketika dalam sistem pengawasan bank di dalam negeri mengimbuhi unsur “S” yang berarti sensitivitas pasar dalam perhitungan CAMEL bank sehingga menjadi CAMELS.
Elemen kunci RBS adalah ketika Pengawas Bank memahami betul profil dan potensi risiko yang dihadapi sebuah bank. Disinilah seorang Pengawas Bank dituntut mengenal lebih jauh bank yang diawasi. Segala aspek yang terkait dengan bank dan berpotensi akan membuat bank mengalami masalah di kemudian hari, menjadi unsur yang dicermati oleh Pengawas Bank. Dengan model pengawasan RBS, strategi pengawasan yang disusun dan dijalankan oleh Pengawas Bank menjadi komprehensif, atau boleh dibilang tidak ada hal yang terkait dengan bank yang lolos dari teropong pengawas.
Seiring perkembangan sektor perbankan dan pasar keuangan, model pengawasan RBS pun mengalami berbagai penyempurnaan di sana-sini. Inti dari RBS ini adalah agar Pengawas Bank lebih mengenal bank yang sedang diawasi (know your bank) sebelum membuat profil risiko yang menjadi bahan acuan dalam menyusun perencanaan pengawasan bank. Bank Indonesia pun menyadari bahwa perencanaan yang baik dan matang dalam pengawasan bank akan membantu terwujudnya pengawasan yang efektif dan tepat sasaran. Karena itulah perlu adanya ‘Pedoman Pengawasan Bank Berdasarkan Risiko Untuk Tahapan Perencanaan Pengawasan (Supervisory Plan)’. Pedoman yang dirilis 23 Desember 2009 ini secara umum menjabarkan perihal prinsip-prinsip dalam membuat perencanaan pengawasan bank berbasis risiko.
Selamat membaca.....!