Oleh Fatimah Zahratul Jannah
Teknologi keuangan (FinTech) terus berkembang pesat seiring dengan transformasi digital. Ini lantaran teknologi keuangan memudahkan masyarakat dalam melakukan transaksi dengan aman serta lebih efisien.
Selama pandemi Covid-19, transaksi digital tumbuh pesat. Ini sejalan dengan transaksi e-commerce yang juga melonjak. Dalam jumpa pers pasca Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) perdana di 2023 (19/1), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjoyo menyebut, nilai transaksi uang elektronik sepanjang tahun 2022 tumbuh 30,84% dibandingkan pada 2021 yang mencapai Rp 399,6 triliun. Bahkan di tahun 2023, nilai transaksi uang elektronik diproyeksikan meningkat 23,9% dibandingkan tahun lalu hingga mencapai Rp 495,2 triliun.
Adapun nilai transaksi digital banking sepanjang 2022 juga meningkat 28,72% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp 52.545,8 triliun. Proyeksi BI, nilai transaksi digital banking pada 2023 juga akan tumbuh hingga 22,13% mencapai Rp 64.175,1 triliun.
Geliat tren transaksi digital juga tergambar dalam Laporan Bank Indonesia Triwulan I dan II tahun 2021. Pada periode itu, nilai transaksi e-commerce dalam tren mengalami peningkatan dengan kenaikan 63,36% secara tahunan atau year on year (y-o-y) menjadi Rp186,75 triliun. Adapun electronic money (EU) juga meningkat 41,01% (y-o-y) menjadi Rp132,03 triliun, dan digital banking meningkat 39,39% (y-o-y) menjadi Rp17.901,76 triliun.
Data tersebut menggambarkan transaksi uang semakin diminati oleh masyarakat Indonesia. Bank Indonesia (BI) dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyelenggara Jasa Pembayaran mendefinisikan FinTech sebagai kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan yang dilakukan oleh penyelenggara jasa pembayaran yang melakukan kegiatan penatausahaan sumber pendanaan berupa pengeluaran uang elektronik dengan bekerjasama dengan pihak ketiga serta menggunakan teknologi dan perangkat berbasis mobile atau alat digital lainnya untuk ekonomi digital dan inklusi keuangan.
Dan, pembayaran digital adalah salah satu jenis Financial Technology yang berkembang di Indonesia. Hanya, karakteristik transaksi menggunakan pembayaran digital yang bersifat real-time, tidak tatap muka, dan borderless menimbulkan potensi risiko kejahatan keuangan. Potensi penyalahgunaan terjadi pada sektor pembayaran digital yang terdaftar dan berizin serta pembayaran digital ilegal yang tidak terdaftar di Bank Indonesia.
Kejahatan keuangan tersebut dapat berupa tindak pidana pencurian, penipuan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain di bidang keuangan, misalnya: pencurian akun, skimming ATM, penipuan kartu kredit, hingga undian palsu.
Pendanaan terorisme bahkan juga termasuk dalam kategori kejahatan keuangan, Selain itu menyembunyikan, melindungi asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana juga termasuk dalam kejahatan keuangan yang termasuk dalam pencucian uang.
Beberapa kasus pendanaan terorisme terbukti menggunakan pembayaran digital sebagai sarana pendanaan online. Pelaku tindak pidana korupsi juga terbukti menggunakan pembayaran digital untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.
Kondisi ini tentunya dapat mengancam stabilitas ekonomi dan integritas sistem keuangan. Oleh dari itu diperlukan kerangka hukum yang komprehensif melalui pembentukan undang-undang tentang Financial Technology yang perlu dikembangkan untuk menjaga integritas pembayaran digital dan memperkuat fungsi kontrol pemerintah.
Indonesia belum memiliki Undang-Undang (UU) yang secara khusus mengatur Financial Technology. Namun, peraturan perundang-undangan yang mengatur layanan keuangan, teknologi informasi, dan transaksi elektronik dapat menjadi dasar hukum pelaksanaan pembayaran digital Financial Technology. Peraturan tersebut antara lain :
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016;
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PTSE);
- Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Elektronik.
Meski begitu, kebutuhan dan kehadiran UU Financial Technology memiliki dua fungsi utama. Pertama sebagai kerangka hukum dalam mengatur dan mengawasi industri Financial Technology. Kedua, sebagai alat mitigasi risiko terhadap berbagai potensi risiko seperti kegagalan sistem, kejahatan keuangan, kesalahan informasi, kesalahan transaksi, keamanan data, penerapan prinsip Know Your Customer (KYC), klausula eksonerasi, dan mekanisme hingga penyelesaian sengketa antarpenyedia layanan dan pengguna.
Referensi
Wiwoho, J., Kharisma, D. B., Wardhono, D. T. (2022). Financial Crime In Digital Payments. Journal of Central Banking Law dan Institutions, 47-70. https://doi.org/10.21098/jcli.v1i1.7