Oleh Yenita Lisna
Pandemi Covid-19 mengubah secara drastis cara dunia bekerja, termasuk dalam melakukan adaptasi secara massif untuk mempertahankan kualitas hidup dan kehidupan. Keterbatasan ruang gerak yang sengaja diciptakan menjadi hambatan sekaligus sumber keterpurukan. Namun disisi lain, pembatasan mobilitas membuka peluang tidak terbatas bagi individu dan pelaku usaha untuk menangkap peluang dan mengubahnya menjadi tantangan yang menghasilkan uang.
Adalah sangat menarik untuk terlebih dahulu mengkaji dan melakukan identifikasi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha pada kondisi pandemi ini dan menelusuri lebih lanjut upaya-upaya solutif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan kinerja pelaku usaha tersebut. Inilah yang dilakukan oleh Rezzy Eko Caraka dan kawan-kawan (dkk) dari Universitas Indonesia dalam risetnya untuk melihat kembali kerentanan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan mengategorikan tantangan-tantangan UMKM di masa pandemi.
Penelitian Rezzy Eko Caraka dkk yang mendapatkan pendanaan dari bank sentral melalui skema Research Grant Bank Indonesia (RGBI) menemukan bahwa dari analisis kerentanan perdagangan, hampir semua UMKM di wilayah luar Pulau Jawa masuk kategori rentan. Sementara UMKM di Pulau Jawa khususnya wilayah Jabodetabek yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional, masuk kategori resilien alias tidak rentan.
Penelian ini sejalan dengan survei tahunan UMKM yang dilakukan oleh Pemerintah pada tahun 2019. Survei tersebut mencatat bahwa UMKM mayoritas ada di Pulau Jawa. Survei pemerintah tersebut menyebut, dari 4,3 juta pelaku UMKM di Indonesia, sebanyak, 62,26% terdapat di Pulau Jawa. Jawa Timur dan Jawa Barat menjadi dua provinsi dengan jumlah pelaku UMKM terbanyak, masing-masing lebih dari 500.000 pelaku UMKM. Jumlah ini sangat jauh dibanding dengan provinsi lainnya seperti Maluku dan Papua. Di dua provinsi tersebut, jumlah pelaku UMKM pada masing-masing provinsi tersebut kurang dari 30.000 usaha atau individu.
Banyak penelitian dilakukan untuk mengkaji daya tahan UMKM dalam menghadapi pandemi Covid-19. Salah satu yang menarik adalah penelitian yang mengombinasikan set data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Tenaga Kerja Nasional (Sukernas) yang diolah dengan menggunakan Nature-inspired spatial clustering: the naspaclust package, untuk mengidentifikasi lima tantangan utama yang dihadapi UMKM saat ini.
Menarik sekali memperhatikan hasil penelitian atas 503 klaster wirausaha pelaku UMKM yang dilakukan dimasa pandemi Covid-19 ini. Dikatakan menarik karena hasil Identifikasi faktor-faktor yang menjadi sumber kerentanan pelaku UMKM, akan menjadi poin titik balik untuk mengangkat potensi UMKM ke level yang lebih tinggi dan berperan lebih besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Faktor-faktor dominan yang menjadi sumber utama kerentanan UMKM di Indonesia saat ini disebutkan sebagai berikut :
- Teknologi yang digunakan, baik untuk proses produksi maupun penunjang pekerjaan seperti melakukan pembukuan kegiatan usaha. Faktor ini memberikan pengaruh sebesar 37% pada kerentanan UMKM. Semakin rendah akses pelaku UMKM ke teknologi, semakin rentan UMKM tersebut.
- Perluasan penggunaan teknologi dan kepemilikan aset. Faktor ini memberikan pengaruh sebesar 10% pada keretanan UMKM. Faktor-faktor yang diperhitungkan disini disini adalah kepemilikan dan penggunaan telepon seluler, kepemilikan tabungan pribadi dan penggunaan komputer untuk menjalankan kegiatan usaha. Semakin sedikit akses pelaku UMKM ke teknologi dan semakin sedikit tabungan yang dimiliki, semakin rentan UMKM tersebut.
- Pendidikan formal dan pengelolaan usaha, khususnya pada usaha mikro dan usaha rumah tangga. Kelompok ini memberikan pengaruh sebesar 7,26% pada kerentanan UMKM. Semakin rendah pendidikan formal pelaku UMKM semakin rentan UMKM tersebut. Disisi lain, pola pengelolaan usaha mikro dan usaha rumah tangga juga sangat berpengaruh pada kerentanan UMKM.
- Penggunaan kredit dan lokasi usaha. Kelompok ini memberikan pengaruh sebesar 5,67% pada kerentanan UMKM. Kredit yang diprioritaskan untuk dimanfaatkan oleh UMKM disini adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Semakin sedikit akses pelaku UMKM ke KUR atau sumber pembiayaan lainnya, semakin rentan UMKM tersebut. Demikian juga dengan lokasi UMKM, semakin sulit diakses, semakin rentan keberlangsungan UMKM tersebut.
- Pengalaman. Pengalaman pelaku UMKM dalam menjalankan usaha memberikan kontribusi sebesar 5,11% pada faktor kerentanan UMKM. Pengalaman tersebut dapat diperoleh dari pelatihan (training) atau dari pendalaman selama melakukan kegiatan usaha tersebut. Satu yang menarik disini, pelaku UMKM yang minim pengalaman dan minim akses ke sumber pembiayaan akan membawa UMKM tersebut pada posisi yang rentan. Namun demikian, UMKM yang tidak mendapatkan pelatihan apapun untuk meningkatkan keahliannya, belum tentu akan membawa UMKM nya pada posisi yang rentan.
- Sumber pendapatan lainnya. Ada tidaknya sumber pembiayaan lain untuk menopang biaya hidup pelaku UMKM memberikan kontribusi sebesar 4,77% pada kerentanan UMKM. Semakin rendah sumber pendapatan untuk biaya hidup pelaku UMKM akan semakin rentan keberlangsungan UMKM tersebut.
Dari keseluruhan faktor-faktor tersebut, faktor digitalisasi menjadi isu utama yang harus disikapi oleh pelaku UMKM. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa selama masa pandemi jumlah transaksi e-commerce meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dibandingkan periode sebelumnya, yaitu dari 80 juta transaksi pada tahun 2019 ke 140 juta transaksi pada bulan Agustus 2022. Kondisi ini menunjukkan adaptasi ke transaksi e-commerce yang berbasis teknologi digital menjadi keharusan bagi pelaku UMKM seiring terbukanya peluang pasar yang sangat besar.
Secara keseluruhan di Indonesia, terdapat perbedaan yang cukup menonjol antara kecepatan transmisi UMKM dari tradisional ke digitalisasi antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Hal ini terutama terjadi karena perbedaan ketersediaan infrastruktur, internet dan digital literacy masyarakat. Tentu, perbedaan kondisi geografis Indonesia menjadi salah satu kendala dalam pemerataan fasilitas yang sejatinya menjadi tanggungjawab negara ini.
Ditengah keterbatasan tersebut, satu hal positif yang perlu dicatat adalah bahwa selama masa pandemi pengguna internet di Indonesia meningkat 73,7% atau 196,7 juta pengguna atau pemilik akun. Angka ini setara dengan 71,79% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2021 sesuai data Kemendagri. Namun demikian, dari jumlah tersebut baru 13% UMKM yang sudah terhubung dengan marketplaces (seperti Tokopedia, Shopee, Blibli dll) dan digital markets.
Tantangan dan peluang selalu datang bersamaan, termasuk ditengah infrastruktur digitalisasi UMKM di Indonesia yang masih terbatas ini. Kominfo melalui Badan Aksestabilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) masih terus berupaya untuk meningkatkan pemerataan akses telekomunikasi dan informasi diseluruh wilayah Indonesia. Disisi lain, peluang sangat terbuka bagi pelaku UMKM untuk meningkatkan skala usahanya dengan memanfaatkan perkembangan digitalisasi saat ini dan meningkatnya tren perdaganan dan transksi online. Saatnya bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk bersinergi dengan UMKM. Pemerintah dengan pembangunan infrastruktur digital dan capacity building UMKM menuju cakap digital, dan UMKM dengan pengelolaan usaha yang lebih modern, melalui penggunaan teknologi, pengelolaan finansial dan meningkatkan keahlian (skil) baik melalui pendidikan formal, pengalaman atau pendidikan dan latihan.