oleh Arnita Rishanty
“Dek, abisin nasinya.. nanti nasinya nangis lho."
“Baju seragam Kakak masih bagus, masih bisa dipakai untuk Adek ya. Jadi nggak perlu beli lagi."
Sounds familiar? Mungkin sedikit dari kita yang menyadari, bahwa langkah-langkah sederhana tersebut merupakan langkah nyata untuk menyelamatkan anak cucu kita yakni dengan konsep ekonomi sirkular.
Populasi manusia yang jumlahnya terus meningkat di tengah pemanasan global adalah keniscayaan. Dan, praktik ekonomi sirkular memberikan pelajaran penting atas anti hedonisme.
Pasalnya, circular economy atau ekonomi sirkular tidak hanya sekadar daur ulang sampah. Ekonomi sirkular adalah konsep memaksimalkan nilai penggunaan suatu produk dan komponennya secara berulang, sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang (resource efficiency).
Efisiensi input dilakukan secara mendalam dengan cara memaksimumkan nilai penggunaan dari suatu produk/komponen secara berulang, memperpanjang umurnya sehingga tidak ada resource yang terbuang. Kegiatan sederhana bisa dilakukan, seperti tidak membuang-buang makanan atau dengan mengubah model baju-baju yang sudah membosankan. Cara lain dengan mendonasikan sehingga tidak perlu menunggu lusuh, atau lama tersimpan di lemari. Furnitur lama di-rejuvenate menjadi kembali baru dengan design baru.
Poinnya adalah menjadikan komponen berbagai macam produk dibuat interchangeable. Alhasil, suatu produk dapat dengan mudah diubah menjadi produk berbeda dengan manfaat berbeda sesuai keinginan konsumen. Yang membedakan dengan konsep ekonomi konvensional atau ekonomi linear, ekonomi sirkular mentargetkan hubungan yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (termasuk well-being) dan batas toleransi regenerasi alam alias ramah lingkungan.
Oleh karena itu, alur rantai pasok perlu dibuat berbentuk sirkular atau yang biasa disebut a closed-loop supply chain. Namun ini perlu dirancang secara mendalam (careful design). Sebab, dalam rantai pasok tersebut, produsen dari berbagai sektor ekonomi perlu berkooperasi menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan didasari transparansi dengan mutual objective yaitu zero-waste.
Demi menjamin resource efficiency, ekonomi sirkular tidak hanya terfokus pada sistem produksi. Tapi, sistem konsumsi juga dipandang sama pentingnya sebagai driver bagi terciptanya ekosistem ekonomi sirkular. Produsen dan konsumen perlu bekerjasama untuk menciptakan zero-waste system yang saling menguntungkan (mutual benefits). Untuk dapat memproduksi dan berkonsumsi secara sirkular (zero waste) dalam skala industri yang besar (scalable), dibutuhkan perencanaan dan inovasi yang memastikan seluruh output dari proses produksi terutilisasi secara optimal.
Beberapa contoh inovasi ekonomi sirkular adalah penggunaan kulit kopi untuk bahan tekstil. Inovasi tidak selalu membutuhkan biaya besar untuk memiliki manfaat luar biasa. Dengan begitu, penjualan output sampingan (yang biasa disebut byproducts) juga dapat menjadi sumber penghasilan sehingga produktivitas meningkat. Peningkatan produktivitas pada produsen yang menerapkan praktik ekonomi sirkular telah digambarkan secara empiris dalam salah satu riset hijau BINS[1].
Hasil riset yang dilakukan terhadap perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa praktik ekonomi sirkular secara positif mempengaruhi produktivitas perusahaan namun dengan tingkat yang berbeda antarsektor ekonomi. Selain itu, variabel penentu produktivitas lainnya menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan praktik ekonomi sirkular lebih resilient dibandingkan perusahaan lain pada umumnya sejalan dengan penerapan prinsip dan design circularity dan short supply chain.
Di sisi lain, ekonomi sirkular tidak hanya menawarkan zero-waste (carbon neutral), tapi juga menawarkan potensi penyerapan kembali polusi yang telah terlepas bebas di udara (carbon sequestration) serta perbaikan keragaman hayati (biodiversity) khususnya di sektor pertanian dan peternakan.
Belajar dari berbagai UMKM hijau binaan Bank Indonesia, motivasi penerapan praktik ekonomi sirkular oleh UMKM beragam. Kesulitan mendapat pupuk kimia bersubsidi (beras organik). Melihat adanya kesempatan mengubah sampah menjadi uang (enceng gondok, kulit kerang). Atau simply karena memang praktik tersebut merupakan praktik turun temurun dari nenek moyang. Nyatanya, kearifan lokal Indonesia sangat menghargai siklus natural ekosistem lingkungan. Sebut saja budaya libur menanam di suatu area tanam untuk memberikan waktu rehat bagi tanah, yang ada di masyarakat adat Papua maupun masyarakat adat di pulau-pulau lain di Indonesia.
Terlebih, munculnya isu ekonomi hijau mendorong banyak negara mulai menetapkan regulasi yang mensyaratkan aktivitas ekonomi termasuk kegiatan impor, ekspor dan investasi untuk menerapkan pola ekonomi hijau dan keberlanjutan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita akan tertelan arus ataukah kita akan mampu bermain di atas global green wave ini? Ekonomi sirkular menawarkan potensi dan new path untuk menghijaukan industri-industri utama Indonesia sehingga justru kita dapat riding the wave dengan memanfaatkan peluang yang ada melalui peningkatan daya saing ekspor Indonesia.
Temuan awal dari riset hijau BINS menyebutkan bahwa tingkat performance ekspor produk champion "made in Indonesia"[2] lebih didukung oleh kondisi permintaan global dan masih terbatasnya pasokan dari negara produsen pesaing, sementara tingkat daya saing Indonesia untuk produk-produk tersebut masih relatif rendah. Implikasinya, peningkatan daya saing menjadi sangat penting apabila Indonesia ingin meningkatkan dan mempertahankan performance ekspor nya.
Tentunya ini bukanlah perkara mudah. Dukungan pemerintah, komitmen politik serta berbagai stakeholder sangat dibutuhkan. Adanya lembaga green certificator yang reliable, diakui secara internasional dan murah (sehingga accessible bagi UMKM), is a must.
Dukungan Bank Indonesia dalam ekonomi dan keuangan hijau (termasuk UMKM hijau, digital farming dalam rangka adaptasi dan mitigasi menghadapi perubahan iklim) sejalan dengam visi BI untuk menjadi Bank Sentral digital terdepan yang berkontribusi secara nyata terhadap perekonomian nasional dan terbaik diantara negara emerging markets untuk Indonesia Maju.
Live small so we can live big. Untuk anak cucu kita.
[1] Arnita Rishanty & Asep Suryahadi, 2020. "Circular Economy And Productivity In A Large Developing Country: Empirical Evidence From Indonesia," Working Papers WP/10/2020, Bank Indonesia.
[2] Penentuan produk champion “made in Indonesia" menggunakan ranking berdasarkan Revealed Comparative Advantage (RCA), Trade Balance Index (TBI), Comparative Export Performance (CEP) serta Constant Market Analysis (CMS) yang meliputi growth effect on the global market, export destination market effect dan residual effect representing competitiveness