Oleh Mohammad Aly Fikry
Perkembangan globalisasi dan digitalisasi terbukti merombak lanskap pasar tenaga kerja antarnegara. Perkembangan supercepat teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT) bahkan telah merevolusi lapangan kerja. Revolusi ini secara bertahap ini bahkan menghilangkan sejumlah pekerjaan. Mesin-mesin menggantikan pekerjaan manusia. Namun, di sisi lain, kebutuhan pekerja dengan kemampuan ICT meningkat tajam.
Hasil riset Bank Indonesia terbaru membuktikan hal itu. Riset yang dilakukan Deniey A. Purwanto dan kawan-kawan (dkk) dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) dan didanai bank sentral dengan skema Research Grant Bank Indonesia (RGBI) menyebutkan pandemi Covid-19 telah mendisrupsi pasar pekerjaan secara fundamental, signifikan, dan sangat cepat.
Data dari World Bank menunjukkan pengangguran meningkat tajam sejak merebaknya pandemi Covid-19. Peningkatan terjadi sebesar 5,37% pada 2019, kemudian meningkat kembali menjadi 6,47% pada tahun 2020. Tingkat pengangguran ini berada pada level tertinggi, bahkan melompat tertinggi selama tiga dekade terakhir.
Kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat (lockdown) memaksa sektor publik, swasta, dan rumah tangga mengadopsi digitalisasi secara cepat. Bekerja jarak jauh (work from home), penggunaan articial intelligence (AI), robot, dan teknologi modern lainnya meningkatkan potensi hilangnya pekerjaan manual dengan proses otomasi.
Pergeseran kebutuhan keahlian pascapandemi adalah sebuah keniscayaan, tidak dapat dihindari. Namun, terdapat beberapa kategori pekerjaan yang memiliki prospek baik, bahkan tidak membutuhkan perubahan keahlian secara fundamental. Kategori pekerjaan tersebut berhubungan dengan administrasi, teknikal, dan manajerial. Hal ini karena kategori pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara jarak jauh alias remote. Jenis-jenis pekerjaan ini tidak terlalu terdampak penurunan pendapatan individu para pekerja.
Meskipun demikian, jumlah jam kerja pekerja remote ini menjadi lebih tinggi. Pekerjaan secara remote membawa konsekuensi bahwa pekerjaan tidak hanya dapat diselesaikan dari mana saja, namun juga dapat dilakukan kapan saja. Dengan teknologi, pekerja dan atasannya dapat terhubung dan berkomunikasi selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi untuk menurunkan produktivitas pekerja. Walhasil, kondisi ini membutuhkan kebijakan yang tepat untuk menurunkan tingkat pengangguran dan menjaga produktivitas pegawai.