Oleh Danny Hermawan
Pandemi COVID-19 memukul kegiatan Unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kebijakan pembatasan aktivitas sosial untuk menghambat penyebaran Covid-19 membuat lesu kegiatan bisnis UMKM yang sebagian besar membutuhkan interaksi fisik dengan pelanggan. Model bisnis UMKM yang cenderung konvensional membuat mereka sulit beradaptasi dan bertahan di masa pandemi. Jika dibandingkan dengan usaha berskala besar, UMKM mengalami penurunan penjualan lebih dalam saat pandemi.
Tak pelak, banyak UMKM yang mengalami tutup usaha, kesulitan membayar cicilan kredit, gaji pegawai, biaya sewa tempat usaha, dan biaya listrik. Kerentanan UMKM ini semakin bertambah karena tingkat produktivitas yang masih rendah serta masih terbatasnya akses pasar dan akses pembiayaan. Respon kebijakan yang cepat dan tepat diperlukan untuk mendukung UMKM di masa pemulihan paska pandemi.
UMKM memiliki peran sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Tahun 2018, UMKM berkontribusi terhadap 57,24% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, nilai ini setara Rp 5.721,14 triliun. UMKM juga berperan sangat signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja Indonesia. UMKM mempekerjakan 97,05% pekerja di Indonesia, setara dengan 116,97 juta tenaga kerja. UMKM juga menyumbang ekspor Indonesia dengan besaran 14,37% dari total ekspor nonmigas. Angka ini setara dengan Rp 293,84 triliun.
Digitalisasi diyakini bisa menjadi solusi bagi UMKM untuk bangkit. Oleh karena itu, Bank Indonesia terus berupaya mempercepat akselerasi digitalisasi yang inklusif melalui perluasan ekosistem digital untuk mendorong peningkatan transaksi UMKM. Salah satunya lewat onboarding UMKM. Program ini membantu memberdayakan UMKM melalui digitalisasi pemasaran produk UMKM melalui platfrom digital dan marketplace.
Namun dalam pelaksanaannya, program onboarding UMKM ini masih menghadapi berbagai kendala, terutama pada UMKM yang berbasis budaya seperti di wilayah Yogyakarta dan Bali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mimba dan kawan-kawan (dkk) pada tahun 2021, hambatan digitalisasi pada UMKM berbasis budaya diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
- Permasalahan sumber daya manusia (human intelectual capital). Sebagian besar UMKM belum mempunyai kesiapan sumber daya untuk menggunakan teknologi informasi. Dengan mayoritas tingkat pendidikan masyarakat yang masih didominasi oleh tiga golongan: lulus SD, tidak lulus SD, dan tidak bersekolah, literasi digital UMKM merupakan hal mendasar yang harus segera diatasi (Nugroho, 2015). Tanpa kesiapan dalam sumber daya manusia dalam digitalisasi, UMKM akan tetap mengalami kesulitan dalam permodalan maupun dalam pemasaran, padahal peluang makin tinggi di era pandemi, terutama dalam hal kebiasaan menggunakan transaksi digital.
- Permasalahan infrastruktur dan sistem informasi (structural capital). UMKM belum semua memiliki infrastruktur yang diperlukan dalam rangka digitalisasi karena keterbatasan modal, mengingat sebaran infrastruktur digital seperti akses internet yang belum merata di Indonesia, bahkan di Pulau Jawa dan harga gawai pintar yang masih dirasa terlalu mahal untuk masyarakat menengah ke bawah.
- Permasalahan jejaring (relational capital). UMKM yang mampu memanfaatkan jejaring masih sangat sedikit. Mereka bahkan belum menyadari bahwa jejaring sangat penting, baik itu jejaring dengan sesama pengusaha, asosiasi profesi, pemerintah, maupun perbankan.
Permasalahan sosial dan perilaku (social capital). Pelaku UMKM memang sudah memiliki fasilitas internet, tetapi masih relatif jarang yang memanfaatkan untuk mendapatkan informasi yang berguna untuk kemajuan perusahaan. Sebagian besar penggunaan internet masih untuk media hiburan. Dalam hal ini, belum banyak UMKM yang dapat menangkap peluang digital.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif dalam penelitian tersebut lewat berbagai infomasi dan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), data-data dari UMKM, serta hasil kuesioner kepada UMKM.
Data kualitatif dalam penelitian dengan wawancara kepada UMKM. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui hambatan digitalisasi UMKM di Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber data primer berasal dari survei, baik dengan menggunakan kuesioner maupun data hasil wawancara.
Adapun sumber data sekunder berasal dari BPS. Sampel penelitian adalah seluruh UMKM yang ada di 57 kecamatan Provinsi Bali serta seluruh UMKM yang ada di 78 kecamatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu UMKM yang minimal didirikan awal tahun 2020 sehingga bisa memberikan informasi mengenai kondisi saat pandemi dan sebelum pandemi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan dari sisi human intelectual capital pada UMKM berbasis budaya dipicu oleh rendahnya karyawan dalam memberikan hasil yang maksimal bagi perusahaan, kurangnya kepuasan karyawan terhadap perusahaan, serta karyawan cenderung membuat keputusan yang terburu-buru. Karyawan belum mampu mengkombinasikan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya secara optimal yang dipicu rendahnya kepuasan karyawan terhadap perusahaan. Dengan demikian, upaya mendorong digitalisasi UMKM di Bali maupun Yogyakarta menjadi terhambat.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa rendahnya relational capital UMKM berbasis budaya terindikasi dari masih banyaknya UMKM yang mendapatkan kredit non Kredit Usaha Rakyar (KUR) yang berbunga tinggi dari perbankan. Padahal relational capital merupakan faktor penting terkait keberhasilan operasional UMKM. Relational capital akan memunculkan hubungan baik dengan pemangku kepentingan (stakeholders) seperti hubungan dengan UMKM lain secara vertikal dan horizontal, supply chain backward dan forward, serta dengan perbankan dan pemerintah daerah.