Oleh Danny Hermawan
Jurnal ini membahas tentang Undang-Undang Indonesia No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Teknologi informasi yang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, membawa kita untuk melihat kembali apakah undang-undang ini masih relevan untuk kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Perkembangan teknologi saat ini menghadirkan masalah baru tentang kurangnya regulasi uang elektronik (e-money) hingga penggunaan mata uang non Rupiah sebagai instrumen pembayaran. Kondisi-kondisi tersebut mendorong perlunya dilakukan amandemen undang-undang dan pentingnya membangun undang - undang yang jelas mengatur mengenai uang digital atau uang elektronik.
Rupiah merupakan mata uang dari Republik Indonesia dan semua ini telah diatur oleh Undang Undang, terutama UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UUMU). Undang- undang tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara wajib tunduk, patuh, dan bangga menggunakan Rupiah dalam bertransaksi sebagai salah satu simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Globalisasi telah menyebabkan terjadinya banyak perkembangan di dunia, terutama dalam teknologi informasi. Perkembangan ini mendorong terjadinya inovasi yang berjalan cepat, yang seringkali tidak dapat diantisipasi dengan baik. Akibatnya, terjadi ketidakselarasan antara perundang-undangan dengan perkembangan inovasi tersebut. Hal ini terlihat jelas di Indonesia sendiri, dimana ternyata terdapat beberapa celah yang belum dipenuhi oleh regulasi, sehingga menimbulkan terjadinya kekeliruan dalam penerapan norma di bidang mata uang.
Masalah pertama yang ditemukan adalah regulasi mengenai uang elektronik dan digital. Uang elektronik dapat didefinisikan sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik dimana nilai uang disimpan dalam suatu media elektronik tertentu. Seiring berjalannya waktu, uang elektronik semakin banyak digunakan sebab konsumen sekarang menginginkan kenyamanan, kecepatan, dan kepraktisan. Namun bila dilihat dari hukum yang sudah ada, Rupiah hanya dikategorikan secara sempit, yaitu sebagai uang kertas dan uang logam. Instrumen pembayaran elektronik yang sah pun tidak diatur dalam UUMU.
Walaupun uang elektronik telah diregulasi dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009, hal ini melanggar mandat dari Pasal 23B UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang - undang.", dalam hal ini bukan oleh PBI ataupun Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam penggunaan instrumen elektronik dalam pembayaran. Apakah penggunaan instrumen tersebut memiliki landasan hukum?. Selain uang elektronik dalam bentuk financial technology (fintech), cryptocurrency juga perlu untuk didefinisikan sebagai currency atau sarana untuk berinvestasi agar penggunaannya dapat diatur oleh peraturan otoritas moneter.
Berikutnya adalah penggunaan barang tertentu (non Rupiah) sebagai alat tukar pengganti mata uang. Di beberapa daerah di Indonesia, dilakukan barter menggunakan media tukar seperti bambu, kayu, kulit binatang, dan masih banyak lagi. Barter sendiri tidak melanggar UUMU sebab undang - undang tersebut hanya memerlukan Rupiah untuk digunakan dalam transaksi pembayaran, seperti pembelian, penjualan, dan penyewaan. Namun, barter tidak diregulasi dan diotorisasi oleh UUMU secara eksplisit. Jika dilihat secara ruang lingkup yang sempit, alat tukar barang tidak diakui menurut undang-undang. Tafsiran yang lebih luas melihat bahwa para pihak yang bertransaksi memiliki kebebasan untuk menentukan kewajiban berdasarkan kesepakatan mereka. Maka, sah saja jika kedua belah pihak sepakat untuk menggunakan barang sebagai alat tukar.
Jika ditinjau bahwa barter sendiri hanya sekedar kesepakatan dimana sistem barter dilakukan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang telah memenuhi ketentuan, maka barter tidak melanggar UUMU. Selain itu, barter bukanlah mata uang asing yang tidak diperbolehkan untuk digunakan menurut undang-undang dalam negeri. Barter pun masih digunakan di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Flores Market di Alor dan Pasar Terapung Lok Baintan di Kalimantan Selatan dan dalam dunia modern seperti akuisisi aset sebagai bentuk debt settlement atau pertukaran corporate debt ke shares. Menggunakan barter sebagai konteks dari kontrak atau sebagai perjanjian pertukaran barang yang dimiliki oleh pihak yang sah, jika alat tukar tersebut digunakan bukan sebagai mata uang, melainkan sebagai kupon atau voucher tidak dilarang. Dari sini, disimpulkan bahwa barter itu diperbolehkan jika (1) Konstruksi barang harus seperti yang digunakan dalam barter dan bukan mata uang; (2) Barang dapat dibeli atau ditukar dengan Rupiah sebagai voucher atau kupon makanan; dan (3) Hanya berlaku di wilayah tertentu dan tidak digunakan sebagai mata uang yang sah.
Selanjutnya adalah penggunaan mata uang non Rupiah di beberapa daerah Republik Indonesia. Melihat bahwa di beberapa daerah di Indonesia menggunakan mata uang asing untuk transaksi, hal ini jelas bertentangan dengan UUMU. UUMU juga menyatakan transaksi menggunakan forex (foreign exchange) juga melanggar undang - undang ini. Penggunaan forex hanya legal jika telah didahului dengan perjanjian, yang berarti bahwa UUMU berisi pengecualian yang memungkinkan penggunaan forex dalam keadaan terbatas. Realitanya, penggunaan non-cash dan forex dalam transaksi di dalam area - area seperti border areas tidak dapat dihentikan sebab mereka memenuhi kebutuhan dari komunitas. Walau demikian, adalah penting untuk melarang penolakan Rupiah guna menjaga kedaulatannya di wilayah Indonesia.
Permasalahan terakhir adalah proteksi konsumen terhadap isu pembayaran. Hal ini mengacu kepada isu dimana konsumen tidak dapat membayar sarana seperti jalan toll bila menggunakan uang kertas. Pada kondisi ini, seharusnya konsumen tetap diperbolehkan untuk membayar biaya toll menggunakan uang kertas. Perlu disediakan satu atau dua gerbang toll agar uang kertas tetap dapat diterima.
Uang elektronik dan cryptocurrency memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan kemudahan dan efisiensi yang diinginkan oleh market. Ketentuan yang ditetapkan oleh UUMU bersifat membatasi mengenai penggunaan Rupiah dalam transaksi di Indonesia. Oleh karena itu, undang - undang ini harus diubah dan disesuaikan untuk mengakomodasi penggunaan uang digital dalam negara Republik Indonesia. Oleh karena itu,perlu diajukan revisi / amandemen dari UUMU guna menjawab kebutuhan pengembangan masa depan, yaitu untuk (1) Memperluas pengertian Rupiah yang masih hanya meliputi uang kertas dan uang logam, dan menambahkan uang elektronik; (2) Memfasilitasi alat pembayaran berbasis elektronik/digital yang sah seperti yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat; (3) Mengakomodir inovasi alat pembayaran yang digunakan masyarakat untuk meningkatkan efisiensi bertransaksi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat; (4) Pengaturan yang lebih jelas mengenai barter atau barter dalam transaksi yang dikecualikan dari penggunaan Rupiah; (5) Relaksasi kewajiban penggunaan Rupiah di era masyarakat ekonomi global; (6) Perkembangan teknologi dan informasi yang menghadirkan uang digital yang juga akan mempengaruhi transaksi keuangan berbasis elektronik lainnya; (7) Penambahan ketentuan uang elektronik/digital meliputi pengertian, pelaksanaan, jenis, dan sifat uang elektronik/digital yang dapat menjadi substitusi mata uang; (8) Menambahkan pengaturan tentang pemberlakuan sistem barter pada wilayah tertentu dengan ketentuan bahwa sistem tersebut hanya berlaku pada masyarakat terkait; dan (9) Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran UUMU yang terjadi di masyarakat.
Referensi
Nefi, A., & Sardjono, A. (2021). The Urgent Need to Amend the Indonesian Law on Currencies to Face the Digital Age. Journal of Central Banking Law and Institutions, 1(1), 23–46.
https://doi.org/10.21098/jcli.v1i1.8