RINGKASAN EKSEKUTIF
Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan instrumen perdagangan maupun keuangan yang memungkinkan komoditas yang disimpan dalam gudang memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa diperlukan jaminan lainnya sehingga dapat meningkatkan kredit/pembiayaan kepada petani, poktan, gapoktan, koperasi dan pelaku UMKM. Di samping itu SRG diterapkan untuk menyimpan hasil pertanian pada saat harga jual jatuh (tunda jual) sehingga dapat menjaga kestabilan harga/inflasi. Implementasi SRG di Indonesia dimulai sejak ditetapkannya UU No.9 Tahun 2006 kemudian diubah oleh UU No.9 Tahun 2011 dengan komoditas SRG meliputi gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, dan garam. Dalam perkembangannya, implementasi SRG dinilai belum cukup optimal. Sampai dengan tahun 2016, jumlah gudang pemerintah yang telah memperoleh izin dari Bappebti yaitu sebanyak 80 gudang di mana sebanyak 65 gudang telah diterbitkan Resi Gudang, namun hanya 59.3% dari total resi gudang yang diterbitkan yang memperoleh pembiayaan. (Bappebti, 2016).
Kendala utama belum optimalnya implementasi SRG di Indonesia antara lain, kurangnya pemahaman tentang SRG dan manfaatnya bagi pelaku usaha (petani, poktan, gapoktan, koperasi, dll), besarnya biaya penyimpanan di gudang SRG, serta perbankan yang memilih alternatif skema pembiayaan lain yang dianggap lebih menguntungkan misalnya kredit komersial. Untuk mendapatkan solusi dari permasalahan implementasi SRG, diperlukan program terstruktur yang menjadi komitmen dari seluruh pelaku/stakeholder SRG (petani, poktan, gapoktan, koperasi, Bappebti, pengelola gudang, Pemda, Kementerian/Lembaga terkait, perbankan, dan Bank Indonesia), dengan tujuan utama untuk meningkatkan pemanfaatan SRG di Indonesia.
Kajian ini dilakukan melalui pelaksanaan pilot project di dua daerah penghasil komoditas SRG, khususnya untuk komoditas volatile foods dan komoditas orientansi ekspor, yaitu gabah di Kuningan, Jawa Barat dan kakao di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sebagai representasi komoditas SRG.
Tujuan utama kajian adalah merumuskan faktor utama keberhasilan (key success factor) rekomendasi kepada stakeholder SRG dalam rangka peningkatan pemanfaatan SRG agar dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas sehingga menjadi referensi dalam menerapkan kebijakan SRG untuk meningkatkan pembiayaan pertanian. Sebagai langkah perumusan, pilot project dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam SRG serta analisis rantai nilai SRG di masing – masing lokasi. Di samping itu, kajian juga bertujuan untuk mendapatkan strategi dalam rangka memperkuat komitmen para aktor dalam rangka meningkatkan pemanfaatan SRG.
Berdasarkan hasil analisis pilot project di Kabupaten Kuningan, yang memperoleh profit terbesar dalam rantai nilai gabah (sampai dengan 51%) adalah pengumpul besar yang memiliki Rice Miling Unit (RMU) Sedangkan untuk Petani/ Kelompok Tani (Poktan) umumnya memperoleh profit rata –rata 4%. Oleh karena itu skema SRG yang paling menguntungkan bagi Petani/Poktan yaitu jika gabah disimpan di Gudang SRG dan selanjutnya diterbitkan resi sebagai jaminan untuk memperoleh pembiayaan dari bank. Sedangkan bagi pengelola gudang (koperasi) akan lebih menguntungkan jika gudang dilengkapi RMU untuk melakukan penggilingan gabah sendiri. Dengan demikian SRG tidak hanya melakukan skema tunda jual tetapi juga memotong mata rantai pemasaran karena setelah digiling beras tersebut dapat dijual langsung ke Pasar Induk Cipinang. Dari hasil simulasi, apabila skema ini berjalan, Petani diperkirakan dapat memperoleh profit sebesar 5% dan pengelola gudang (koperasi) dapat memperoleh profit optimal hingga mencapai 75%. Untuk meningkatkan kesejahteraan Petani dapat diusulkan skema profit sharing antara pengelola gudang (koperasi) dengan Petani.
Kendala utama pemanfaatan SRG di Kabupaten Kuningan beserta alternatif solusi yang direkomendasikan antara lain: (1) kendala pemenuhan syarat minimal volume gabah (10 ton) dapat diatasi dengan cara mengaktifkan peran poktan dan gapoktan, (2) anggapan rumitnya prosedur pengajuan kredit SRG oleh petani dapat difasilitasi oleh pengelola gudang sebagai mediator antara petani dan lembaga keuangan melalui sosialisasi dan edukasi finansial kepada para petani, (3) dalam rangka memperoleh pengelola gudang yang “ideal” perlu dilakukan Fit and Proper Test Calon Pengelola Gudang baik dari sisi kelembagaan (kecukupan aset, kesehatan lembaga, dll) maupun sisi individu pengelola gudang, (4) perlu diatur mekanisme transisi yang lebih detail untuk peralihan dari pendamping ke calon pengelola gudang yang ditunjuk selanjutnya agar dapat mengantisipasi terjadinya kekosongan posisi pengelola gudang yang terjadi di Kabupaten Kuningan.
Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis pilot project di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, bahwa saat ini Petani menjual kakao basah (belum dikeringkan/fermentasi) dengan profit yang relatif kecil. Sementara berdasarkan hasil analisis marjin dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang memberikan nilai tambah dari kakao basah menjadi kakao kering/fermentasi dapat meningkatkan profit yang diperoleh oleh Petani sampai dengan 70% – 80% dari seluruh profit yang diperoleh pelaku dari rantai nilai. Selain itu, diharapkan pengelola gudang (Koperasi Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera - LEMS) bertindak sebagai pedagang pengumpul sehingga akan memperpendek dan mengefisienkan saluran mata rantai komoditas kakao tersebut. Dengan demikian skema SRG yang paling menguntungkan baik bagi pengelola gudang (Koperasi LEMS) ataupun Petani yaitu jika Petani menjual biji kakao fermentasi ke Koperasi LEMS untuk disimpan di Gudang SRG, dan selanjutnya diterbitkan resi yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh pembiayaan dari bank. Setelah melunasi pembiayaan SRG, kakao tersebut langsung dijual ke industri pengolahan kakao. Dari hasil simulasi apabila skema ini berjalan, Petani diperkirakan dapat memperoleh profit mencapai 68%. Sedangkan profit yang diterima pengelola gudang adalah sebesar 32%. Jika skema ini dapat berjalan maka tujuan utama SRG untuk meningkatkan kesejahteraan Petani dapat tercapai.
Kendala utama dan alternatif solusi yang dapat direkomendasikan agar dapat mengoptimalkan implementasi SRG di Kabupaten Konawe Selatan di antaranya yaitu: (1) pemanfaatan gudang secara bertahap, dengan skema gudang biasa untuk penitipan sementara kemudian menjadi Gudang SRG, (2) tidak adanya insentif harga kakao fermentasi dapat direkomendasikan agar Koperasi LEM Sejahtera membeli kakao basah dan melakukan fermentasi melalui penyediaan sarana fermentasi standar (fermented center) di Gudang SRG, (3) kendala biaya SRG yang dirasa relatif mahal bagi petani dapat diakomodir dengan kerjasama antara Poktan dan LEM Sejahtera untuk menghimpun petani sehingga dapat memenuhi volume kakao untuk mencapai skala ekonomi, (4) diperlukan sosialisasi kepada perbankan mengenai SRG kakao serta peran Bappebti dalam melakukan pendampingan kepada perbankan agar dapat terdaftar di Kemenkeu sebagai bank pelaksana SRG.
Kendala peningkatan pemanfaatan SRG berbeda antara kedua lokasi pilot project karena terdapat perbedaan karakteristik komoditas, aset pengelola gudang, dan struktur pasar. Namun secara umum, key success factors implementasi SRG di kedua lokasi relatif identik antara lain: (1) keberhasilan pemanfaatan SRG ditentukan oleh kemampuan aktor utama (Poktan/Gapoktan) sebagai pemilik barang yang akan disimpan di gudang untuk dapat memenuhi kuota penyimpanan barang dalam gudang SRG, (2) pengelola harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan berjiwa entrepreneur sehingga mampu bersaing dengan pedagang pengumpul untuk memutus rantai pemasaran, (3) keberhasilan pemanfaatan SRG juga ditentukan oleh dukungan Pemda termasuk koordinasi antar stakeholders baik di tingkat daerah maupun pusat, (4) perlu dukungan sistem informasi resi gudang berupa sistem informasi harga, sistem informasi pengawasan barang, dan lainnya, (5) penyempurnaan mekanisme transisi dari pendamping pengelola gudang kepada calon pengelola gudang (koperasi) yang baru, (6) penyediaan anggaran untuk kegiatan pendampingan pengelola gudang, monitoring dan evaluasi, serta penyediaan sarana dan prasarana oleh Bappebti/Pemerintah Daerah.
Dari hasil kajian diperoleh beberapa rekomendasi yang terkait dengan tugas dan wewenang stakeholder terkait. Rekomendasi kepada Bappebti mengenai pemanfaatan gudang SRG dapat dilakukan secara bertahap mulai diperlakukan sebagai gudang penitipan sampai dengan penerapan gudang SRG, penyempurnaan mekanisme transisi pendamping pengelola gudang, penguatan pasar lelang online, sinergi dengan stakeholder lainnya terkait pemanfaatan gudang SRG, serta sosialisasi dan edukasi SRG. Rekomendasi kepada Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian mengenai percepatan implementasi peraturan bagi petani dan pelaku usaha untuk melakukan fermentasi kakao, dan kepada Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mengenai penguatan poktan dalam upaya pemenuhan syarat minimal volume gabah dan sinergi program lumbung pangan dengan SRG. Adapun rekomendasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yaitu dimungkinkannya pemberian subsidi bunga bagi petani/koperasi yang memperoleh pembiayaan SRG dan KUR di saat yang bersamaan serta rekomendasi agar SRG menjadi instrumen pendukung stabilisasi harga oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah.
Selanjutnya, hasil Kajian Peningkatan Pemanfaatan SRG di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dan Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan masukan lebih lanjut atas Petunjuk Pelaksanaan Implementasi SRG di daerah yang menjadi acuan dalam rangka pengembangan implementasi SRG dalam skala yang lebih luas.