RINGKASAN EKSEKUTIF
Sekuritisasi kredit merupakan sebuah proses yang memungkinkan bank untuk mendanai pertumbuhan aset dan khususnya menghilangkan risiko kredit maupun mengurangi tekanan pada kewajiban rasio permodalan. Sekuritisasi telah diimplementasikan a.l. di Amerika Serikat, Spanyol, China, Jepang dan Perancis dalam rangka (i) mengurangi masalah liquidity mismatch, (ii) meningkatkan kredit; (iii) melakukan transfer risiko kredit kepada pihak lain, (iv) membantu sektor keuangan menciptakan pilihan instrumen investasi, (v) mendorong pasar keuangan berjalan lebih efisien dan lebih dalam. Sekuritisasi aset kredit UKM di Spanyol dan Jepang dilatarbelakangi oleh mekanisme transmisi moneter yang kurang optimal, sedangkan di Perancis dilakukan untuk mengurangi ketergantungan bank kepada Bank Sentral untuk pemenuhan likuiditas pasca krisis keuangan global.
Di Perancis, Bank Sentral berperan besar dalam proses sekuritisasi aset kredit UKM dan sekuritisasi didukung oleh berbagai platform yang sudah ada untuk mendukung proses sekuritisasi menjadi lebih mudah dan murah, sehingga menjadi salah satu alternatif pembiayaan bagi UKM. Platform tersebut yaitu (i) Bank Sentral Perancis (BdF) melakukan rating terhadap perusahaan di Perancis termasuk UKM, (ii) Credit claim diterima sebagai agunan oleh Bank Sentral Perancis, dan (iii) BDF menginisiasi pembentukan SPV Euro Secured Notes Issuer (ESNI) pada tahun 2012. Di Indonesia sendiri, milestone penting dalam sekuritisasi aset dimulai sejak tahun 2009 melalui sekuritisasi tagihan KPR oleh Bank BTN. Namun aktivitas sekuritisasi aset saat ini belum berkembang karena masih terbatasnya jenis aset, volume dan pelaku pasar.
Untuk keberhasilan sekuritisasi aset kredit UKM, perlu dilakukan pemilihan underlying asset karena kinerja kredit UMKM berbeda-beda baik secara sektoral, jenis bank, kelompok BUKU bank, maupun wilayah. Berdasaran data historis, Bank yang banyak menyalurkan kredit UMKM adalah bank persero dan bank swasta nasional atau bank BUKU 3 dan BUKU 4. NPL bank BUKU 4 juga merupakan yang terendah. Karakteristik yang diperlukan agar suatu aset dapat dijadikan underlying assets yang ideal untuk sekuritisasi adalah jenis kredit yang homogen, sangat aman, memiliki stream cash flow yang stabil dan memiliki jangka waktu yang relatif panjang.
Berdasarkan hasil analisa, diperoleh informasi bahwa masih terdapat ketimpangan antara permintaan dan penawaran Kredit UMKM di Indonesia. Dari hasil kajian, terdapat proyeksi kesenjangan antara permintaan dan penawaran kredit UMKM pada akhir tahun 2019 sebesar Rp.771,86 triliun (skenario optimis). Dalam skenario normal dan pesimis, kesenjangan tersebut lebih besar, masingmasing sebesar Rp.1.258 triliun dan Rp.1.524 triliun pada akhir tahun 2019.
Dari FGD yang telah dilakukan, perbankan peserta FGD memandang sekuritisasi aset kredit UKM sebagai sesuatu yang baik dan menarik untuk memperoleh likuiditas, alat transfer risiko, dan alternatif dalam mencapai target portofolio penyaluran kredit UMKM. Namun perbankan belum melihat sekuritisasi aset kredit UKM sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, setidaknya dalam jangka pendek karena:
i. Bank perlu mempelajari lebih lanjut sekuritisasi aset kredit UKM yang akan dilakukan.
ii. Bank belum memiliki masalah likuiditas.
iii. Beberapa bank belum dapat memenuhi target rasio kredit UMKM.
Kedepan, kebutuhan sekuritisasi UKM diproyeksikan akan menguat, mengingat masih rendahnya penyaluran kredit UKM dibandingkan dengan total kebutuhan kredit dari sektor UKM, serta adanya dorongan kepada bank-bank untuk memiliki porsi penyaluran kredit kepada UMKM yang lebih besar di kemudian hari.
Adapun untuk mendorong terwujudnya sekuritisasi aset kredit UKM, terdapat setidaknya dua peran yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam skema sekuritisasi aset kredit UKM di Indonesia sbb :
Peran pertama, Bank Indonesia terlibat pada bagian akhir proses sekuritisasi yaitu berperan dalam melakukan transaksi surat berharga hasil sekuritisasi aset kredit UKM (EBA UKM) sebagai surat berharga yang di-repo-kan kepada BI dalam rangka lending facilities. Selain itu dapat memberikan insentif tambahan berupa tingkat diskonto yang lebih rendah apabila bank menggunakan EBA UKM. Terkait dengan peran pertama tersebut, PBI dan SE BI yang ada saat ini mensyaratkan bahwa dalam kondisi normal BI membatasi surat berharga yang dapat di-repo-kan hanya SBI, SDBI, dan SBN. Sementara bank sentral Negara lain, seperti Perancis, menerima beragam jenis instrumen keuangan yang dapat dijadikan eligible collateral.
Peran kedua, Bank Indonesia berperan dalam proses awal sekuritisasi melalui (a) peran tidak langsung berupa kebijakan dan peraturan yang dapat mendorong terciptanya penawaran dan permintaan produk EBA UKM atau (b) ikut terlibat langsung dalam proses persiapan dan sosialisasi sekuritisasi aset kredit UKM, a.l. mendorong terbentuknya pihak yang dibutuhkan dalam proses sekuritisasi aset kredit UKM seperti originator yang dapat menjadi pionir atau arranger/SPV. Dalam hal pembentukan SPV atau lembaga pemeringkat, maka BI perlu berkoordinasi dengan OJK selaku otoritas mikroprudensial. Selain itu, BI juga dapat berperan melalui penerbitan kebijakan dalam kerangka makroprudensial, dalam upaya meningkatkan akses keuangan kepada UMKM dan mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas.