RINGKASAN EKSEKUTIF
Menurut data Global Findex World Bank (2014), jumlah masyarakat dewasa Indonesia yang sudah memiliki rekening di lembaga keuangan (banked people) baru mencapai 36% dari total penduduk dewasa. Berbagai macam alasan masyarakat tidak mau berhubungan dengan lembaga keuangan, salah satunya karena keyakinan/agama. Keberadaan lembaga keuangan syariah khususnya perbankan merupakan alternatif jasa perbankan bagi kelompok masyarakat tertentu yang berpandangan bahwa lembaga keuangan konvensional bertentangan dengan keyakinan/ agamanya. Hal ini dapat didukung dengan fakta bahwa di Indonesia, resistensi terhadap perbankan yang disebabkan oleh faktor agama yaitu sebesar 1,5% yang berarti mencapai ±2,1 juta penduduk.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mengurangi unbanked people atau meningkatkan jumlah masyarakat yang dapat mengakses lembaga keuangan (bankable) adalah melalui Kajian Peningkatan Akses Keuangan Kelompok Masyarakat atau Pelaku Usaha Melalui Pemanfaatan Produk/Jasa Layanan Keuangan Syariah. Dalam pelaksanaan kajian tersebut, terpilih Industri Batik Garut di Kabupaten Garut, Jawa Barat dan Industri Gerabah di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat sebagai objek kajian. Pertimbangan penetapan lokasi kajian antara lain karena i) terdapat basis organisasi masyarakat agamis yang mayoritas beragama Islam ii) sebagian besar kelompok masyarakat/pelaku usaha industri belum terhubung dengan produk/jasa layanan keuangan syariah dengan alasan keyakinan/agama iii) produk Batik dan Gerabah adalah produk lokal yang memiliki aspek ekonomis, seni serta kultural dan terdapat potensi usaha yang dapat berkembang.
Kajian ini bertujuan untuk i) mengidentifikasi dan menganalisis produk/jasa layanan keuangan syariah serta pola pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kelompok masyarakat/pelaku usaha di lokasi pilot project; ii) merumuskan strategi peningkatan akses layanan keuangan syariah; iii) mengidentifikasi faktor utama keberhasilan (key success factor) peningkatan akses layanan keuangan syariah kepada kelompok masyarakat/pelaku usaha yang masuk dalam kategori unbanked people.
Terdapat perbedaan karakteristik antara pelaku usaha di kedua lokasi pilot project. Secara umum, pelaku usaha batik di Kabupaten Garut sudah lebih maju secara finansial dibandingkan dengan pelaku usaha gerabah di Kabupaten Lombok Barat. Sebagian besar pelaku usaha batik di Kabupaten Garut telah memiliki rekening di bank konvensional walaupun pemanfaatan hanya sebatas untuk kepentingan transaksi dan kredit konsumtif, sementara pelaku usaha (perajin gerabah) di Kabupaten Lombok Barat belum tersentuh oleh layanan keuangan formal. Beberapa alasan pelaku usaha tidak memanfaatkan produk/jasa layanan keuangan formal (perbankan) antara lain karena alasan agama, adanya pesan orang tua untuk tidak meminjam dana dari bank, faktor ketakutan tidak bisa melunasi cicilan, keterbatasan agunan, dan tingginya tingkat suku bunga pinjaman, serta prosedur yang rumit.
Terdapat perbedaan skema pola pembiayaan yang dibutuhkan untuk meningkatkan akses keuangan di kedua lokasi pilot project. Untuk Garut, skala usaha masing-masing perajin relatif sudah besar sehingga tingkat literasi keuangan pun lebih maju. Namun demikian masih terdapat hambatan psikologis untuk memanfaatkan produk/jasa layanan keuangan syariah. Oleh karena itu peningkatan akses keuangan dari perbankan syariah agar dilakukan melalui skema pembiayaan dengan menghubungkan langsung perajin batik dengan perbankan syariah berdasarkan produk/ jasa layanan keuangan syariah masing-masing bank syariah. Layanan keuangan yang dapat meningkatkan akses pelaku usaha batik Garut terhadap lembaga keuangan (perbankan) syariah adalah: 1) produk tabungan; 2) produk pembiayaan jangka pendek (3-4 bulan) untuk pembiayaan modal kerja terutama ketika mendapatkan pesanan produksi. Adapun pembiayaan yang diberikan dapat menggunakan akad mudharabah/musyarakah/murabahah.
Sementara itu, untuk Lombok Barat, berdasarkan karakteristik umum, para perajin gerabah sebagian besar adalah masyarakat kurang mampu dan tidak dapat berhubungan langsung dengan perbankan. Terdapat peran yang signifikan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yaitu Koperasi Syariah Baitut Tamkin Lumbung Bersaing (BTLB) dalam melakukan pendampingan dan pelatihan sehingga program pemberdayaan masyarakat dapat berjalan secara berkesinambungan. Oleh karena itu peningkatan akses keuangan dari perbankan syariah agar dilakukan dengan pendekatan kelompok melalui perpanjangan tangan LKS setempat, dalam hal ini BTLB. Penyaluran pembiayaan kepada pelaku usaha dilakukan oleh BLTB dengan sumber dana yang berasal dari APBD (hibah) dan perbankan syariah (akad mudharabah). Dana yang disalurkan dibagi menjadi dua kategori, yaitu 1) sebagai dana kebajikan (akad qardh) yang digunakan untuk pembiayaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar pelaku usaha, 2) sebagai modal usaha yang bersumber dari perbankan. Model pembiayaan yang diusulkan adalah dengan jalinan kerja sama (linkage) antara perbankan syariah dengan LKS untuk menjangkau para perajin gerabah. Pembiayaan yang diberikan oleh LKS kepada pelaku usaha dapat menggunakan akad murabahah, salam, musyarakah, dan mudharabah, serta harus disertai dengan pendampingan yang mengandung unsur pemberdayaan sehingga dapat berjalan dengan efektif dan berkelanjutan.
Adapun strategi peningkatan akses keuangan khususnya perbankan syariah meliputi i) Peningkatan supply jasa keuangan syariah; ii) Peningkatan demand terhadap jasa keuangan syariah; dan iii) Peningkatan aksesibilitas dan dukungan kerja sama terhadap layanan jasa keuangan syariah. Peningkatan supply meliputi aspek ketersediaan dana untuk pembiayaan, pola pembiayaan dari LKS yang sesuai syariah compliance, kemudahan akses oleh pelaku usaha sehingga diperlukan dukungan kebijakan dan insentif (pengembangan produk jasa layanan keuangan syariah serta infrastruktur berupa sistem teknologi informasi). Peningkatan demand terhadap jasa keuangan syariah meliputi edukasi produk/jasa layanan keuangan syariah yang mendukung usaha serta pelatihan untuk meningkatkan kapasitas/kapabilitas produksi. Peningkatan aksesibilitas meliputi peningkatan produktivitas, inovasi dan pemasaran produk, serta dukungan sistem informasi dan database terpadu antara pelaku usaha, penyedia jasa keuangan syariah, dan instansi terkait.
Faktor utama yang menjadi kunci sukses dari pilot project yang ada di Garut adalah i) sosialisasi yang intensif, ii) produk/jasa keuangan syariah yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pelaku usaha, iii) dukungan yang kuat dari Pemerintah Daerah, dan iv) lokasi bank syariah yang strategis dan mudah dijangkau. Sementara itu, faktor utama yang menjadi kunci sukses dari pilot project yang ada di Lombok Barat adalah i) dukungan koperasi syariah, ii) pembinaan intensif yang dilakukan oleh koperasi syariah terhadap anggotanya dengan menggunakan sistem kelompok, iii) sosialisasi mengenai produk/layanan keuangan syariah, iv) keberadaan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki komitmen kontribusi, dan v) dukungan yang kuat dari Pemerintah Daerah.
Terdapat perbedaan skema pola pembiayaan yang dibutuhkan untuk meningkatkan akses keuangan di kedua lokasi pilot project. Untuk Garut, pola pembiayaan dengan menghubungkan langsung perajin batik dengan perbankan syariah berdasarkan produk/jasa layanan keuangan syariah masing-masing bank syariah. Pembiayaan yang diberikan dapat menggunakan akad mudharabah/ musyarakah/murabahah. Sementara itu, untuk Lombok Barat, pola pembiayaan melalui linkage perbankan syariah dengan LKS setempat, kemudian dari LKS kepada pelaku usaha. Pembiayaan yang diberikan oleh LKS kepada pelaku usaha dapat menggunakan akad murabahah, salam, musyarakah, dan mudharabah.
Strategi yang diperlukan untuk meningkatkan akses keuangan pelaku usaha, baik di Garut maupun di Lombok Barat memuat tiga target utama, yaitu: 1) peningkatan supply jasa keuangan, 2) peningkatan demand terhadap jasa keuangan syariah, 3) peningkatan aksesibilitas dan dukungan kerja sama terhadap layanan keuangan syariah. Atas dasar ini, fasilitasi yang dilakukan tidak sebatas kepada para pelaku usaha tapi juga terhadap lembaga keuangan syariah. Fasilitasi kepada para pelaku usaha berbentuk pelatihan/edukasi tentang pengetahuan perbankan syariah mulai dari teori hingga praktik. Selain itu, fasilitasi juga dapat dilakukan dalam bentuk mediasi dengan lembaga keuangan syariah dan pendampingan untuk pengelolaan usaha yang lebih baik.
Faktor kunci sukses (key success factor) pilot project di Kabupaten Garut dan Kabupaten Lombok Barat relatif sama, yaitu meliputi i) sosialisasi mengenai produk/jasa layanan keuangan syariah (disesuaikan dengan kebutuhan pelaku usaha), ii) lokasi bank syariah yang mudah dijangkau, iii) dukungan pemerintah daerah, iv) keberadaan koperasi syariah sebagai penghubung pelaku usaha gerabah dan bank syariah, serta v) pembinaan yang dilakukan oleh koperasi syariah kepada anggotanya yang mayoritas pelaku usaha melalui mekanisme kelompok.