Geografis. Provinsi
Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan provinsi yang terletak di kawasan paling
ujung dari bagian utara Pulau Sumatera yang sekaligus juga merupakan ujung
paling barat wilayah Indonesia. Prov. NAD berbatasan dengan prov. Sumatera
Utara di sebelah Selatan, sebelah barat dengan Samudera Indonesia sebelah
Timur dengan Selat Malaka dan sebelah Utara berbatasan dengan Teluk
Benggala. Sementara itu, satu-satunya hubungan darat adalah dengan prov.
Sumatera Utara. NAD terletak antara 20 – 60 LU dan 950 – 980 LS dengan
ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah NAD
seluas 57.365,57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra, yang
terdiri atas 119 buah pulau, 73 sungai yang besar dan 2 buah danau.
Sejarah. Aceh telah
dikenal sejak abad ke-6, sebagai kerajaan oleh pedagang Cina dan India.
Beberapa kerajaan Islam yang pertama dikenal antara lain Kerajaan Peurelak
dan Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh mulai menjadi besar ketika
Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada abad ke-16, dimana
perdagangan yang dulunya berpusat di Malaka pindah ke Kerajaan Aceh
Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah. Dalam perjalanannya
kerajaan tersebut mencapai puncak keemasan pada pemerintahan Sultan Iskandar
Muda pada abad ke-17, dengan wilayah kekuasaan mencapai pesisir Sumatera
Barat. Selain itu, Aceh juga telah menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan di dunia Barat termasuk Inggris, Ottoman dan Belanda.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami kemunduran yang ditandai
dengan terjadinya Traktat London pada 1924, yang menyerahkan kawasan
taklukan Inggris di Sumatera kepada Belanda. Meskipun mengalami kemunduran
namun Aceh mampu memberikan perlawanan kepada Belanda dalam perang terlama
yang dihadapi Belanda yakni Perang Aceh pada periode 1873 sampai 1942.
Sejalan terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia, Aceh dengan perannya
yang sangat besar pada perang kemerdekaan mendapat julukan daerah modal.
Namun dalam perjalanannya terjadi gejolak pemberontakan yang dimulai oleh
Tgk. Daud Bereueh. Pada tahun 1976, muncul Gerakan Aceh Merdeka yang
direspon pemerintah pusat dengan operasi militer yang berkepanjangan dan
menimbulkan masa suram bagi rakyat Aceh. Pada tahun 2001, terbit
Undang-undang no.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu
upaya untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Setelah berbagai upaya damai,
pada tahun 2005 tercapai MoU Helsinki yang mengakhiri konflik antara GAM
dengan Pemerintah yang ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) UU No.11 tahun 2006, yang memberikan kewenangan
yang luas bagi Aceh. Berakhirnya konflik tersebut, salah satunya merupakan
hikmah bencana gempa tsunami yang terjadi pada tahun 2004 yang menimbulkan
korban 130 ribu jiwa meninggal dan 37 ribu jiwa hilang. Serentak perhatian
dunia tertuju pada Aceh, yang berhasil memobilisasi bantuan dana yang sangat
besar mencapai US$3,5 miliar dari dalam dan luar negeri. Pemerintah RI
segera membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pada tahun
2005 yang dikepalai Kuntoro Mangkusubroto untuk mengkoordinir pembangunan
kembali Aceh. Pada April 2009, BRR Aceh-Nias menyelesaikan tugasnya dan
sejak itu dilanjutkan oleh pemerintahan Aceh.
Pemerintahan. Pasca
pemilihan kepala daerah secara langsung dengan calon independen yang pertama
di Indonesia, terpilihlah pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar pada
tahun 2006 sebagai Gubernur Aceh pertama pasca MoU Helsinki. Pasangan
tersebut merupakan calon independen dari unsur GAM dan SIRA yang sebelumnya
berseberangan dengan pemerintah RI. Pemerintahaan Aceh, saat ini membawahi
23 kabupaten/kota yang terdiri atas 242 kecamatan. Dengan UUPA, pemerintahan
Aceh memiliki keistimewaan wewenang yang antara lain kewenangan pemberlakuan
syariat Islam dan kewenangan luas lainnya kecuali dibidang politik luar
negeri, moneter dan fiskal, pertahanan dan keamanan, peradilan dan
kewenangan lainnya yang dipegang oleh pemerintah RI.
Penduduk. Jumlah
penduduk NAD berdasarkan hasil Sensus Penduduk Aceh dan Nias tahun 2005
sebanyak 2.005.763 laki-laki dan 2.025.826 perempuan, dengan 1.754.461 jiwa
angkatan kerja. Mayoritas penduduknya beragama Islam dengan persentase 98,87
persen. Sedangkan 0,87 persen beragama Protestan, 0,15 persen beragama
Budha, 0,09 persen beragama Katholik dan minoritas beragama Hindu sebesar
0,02 persen. Distribusi penduduk sebanyak 12,25 persen berdomisili di
Kabupaten Aceh Utara yaitu 493.670 jiwa, 11,77 persen berdomisili di Kab.
Pidie atau 474.539 jiwa dan sisanya tersebar di seluruh NAD. Sedangkan
sebanyak 28.597 jiwa berdomisili di Pulau Sabang, menjadikannya sebagai
daerah dengan populasi terkecil. Kota Sabang yang dahulu terkenal dengan
pelabuhan bebasnya (1980-an) masih mempunyai penduduk paling sedikit
dibandingkan dengan daerah lainnya. Status Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET)
dengan pelabuhan bebasnya ternyata belum mampu menarik penduduk pindah ke
daerah kepulauan tersebut. Kepadatan penduduk di Provinsi NAD tahun 2005
mencapai 68 orang/km2. Namun, penduduk yang menyebar di 23 Dati II berbeda
kepadatannya antar daerah. Daerah terpadat adalah kota Banda Aceh yang
rata-rata per kilometernya wilayahnya dihuni oleh sekitar 2.916 jiwa. Lalu
kota Lhokseumawe dan kota Langsa masing-masing 854 jiwa/km2 dan 525
jiwa/km2. Sebaliknya, daerah yang paling jarang penduduknya yaitu hanya 13
jiwa/km2 adalah Kab. Gayo Lues.